Selasa, 28 Oktober 2008

Saluran Demokrasi di Papua Jangan Diblokir

Sabtu, 25 Oktober 2008 - 02:13 AM

Jayapura, Ketua Umum Badan Pelayanan Pusat Persektuan Gereja-Gereja Baptis Papua, Socrates Sofyan Yoma prihatin dengan situasi yang sedang terjadi beberapa hari terakhir ini di Tanah Papua khususnya Jayapura.

Pihaknya mendengar dari pemerintah Indonesia melalui duta besar Indonesia di London, Inggris dan pihak kepolisian di Papua bahwa peluncuran International Parlements For West Papua (IPWP) tanggal 15 Oktober 2009 di House Of Cummons merupakan suatu acara yang tidak signifikan.

Pasalnya acara tersebut bukan merupakan acara resmi dan terjadwal dari parlemen Inggris, tapi acara itu hanya dihadiri oleh 2 anggota parlemen saja dan pertemuannya berlangsung di ruang tertutup. Sebab itu pemerintah telah menghimbau masyarakat Indonesia termasuk di Papua untuk tidak terpancing.

" Kami para pimpinan gereja di Jayapura merasa prihatin karena sekalipun acara peluncurannya diakui tidak signifikan tetapi pihak keamanan bertindak represif terhadap orang Papua, " kata Socrates.

Diungkapkan, pada 16 Oktober gabungan dari Polisi, TNI dan Angkatan Laut memblokir jalan raya di Waena untuk menghalangi ribuan orang Papua yang hendak menyampaikan pendapatnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di Jayapura. Menghadapi rencana demonstrasi damai ini, pihak keamanan melakukan siaga di seluruh sudut Kota Jayapura.

Pemblokiran jalan oleh pihak keamanan tersebut, menurutnya merupakan suatu tanda yang mengindikasikan adanya pemblokiran saluran demokrasi, karena ribuan orang Papua tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya tentang acara peluncuran IPWP yang diakui tidak signifikan itu. Aparat keamanan tidak hanya memalang jalan raya tapi juga saluran demokrasi.

" Kami melihat bahwa ruang demokrasi sengaja ditutup bagi orang Papua, kami merasa prihatin karena orang Papua yang mau demonstrasi tidak diberikan kesempatan untuk melaksanakan haknya yakni kebebasan berekspresi. Tentunya hal ini mencoreng wajah Indonesia yang sedang berkembang menjadi Negara demokratis, " ujarnya.

Menurutnya, pemerintah masih melanjutkan tindakan represifnya. Ketika orang Papua ingin melaksanakan demonstarsi di Kota Jayapura. Pada 20 Oktober 2008 suasana di Kota Jayapura mencekam. Aparat keamanan disebar di Kota jayapura. Tindakan yang kelebihan dari pihak keamanan ini memperlihatkan bahwa pemerintah Indonesia masih salah dalam melihat orang Papua.

" Orang Papua yang mempunyai aspirasi dan pendapat yang berbeda dipandang sebagai orang-orang jahat yang melakukan tindakan criminal. Demokrasi damai dipandang sebagai suatu kegiatan yang melakukan tindakan criminal.

Menurut dia, orang Papua berada di tengah dua pendapat yang berbeda, di satu pihak orang Papua mendengar IPWP mambahas tentang penentuan pendapat rakyat (PEPERA) yang dilaksanakan tahun 1969. Dimana IPWP mengatakan bahwa PEPERA sudah final. Hal ini tentunya membiarkan orang Papua bingung diantara dua pendapat yang berbeda dan terus menjadi korban.

Dia menambahkan, masalah pro dan kontra terhadp pelaksanaan PEPERA tidak akan diselelsaikan dengan cara pemblokiran jalan, penangkapan, penahanan, pemukulan yang dilakukan aparat keamanan. Menangkap, mengadili dan memenjarakan semua orang Papua pun tidak akan menyelesaikan persoalan PEPERA. Pihaknya percaya bahwa kekerasan sebesar apapun tidak pernah akan menyelesaikan persoalan PEPERA ini.(lia)

(sumber: cepos)

Tidak ada komentar: