Senin, 29 Desember 2008

Dalam Kubangan Krisis Identitas

Agus Sudibyo

Runtuhnya rezim komunis tahun 1989 membawa kawasan Eropa Timur pada
situasi "krisis identitas".

Ketika komunisme tak lagi membangkitkan rasa segan, bangsa-bangsa
bekas Uni Soviet dan Blok Timur menggali kembali identitas lamanya
berdasar sensibilitas etnis, religius, dan nasionalisme.

Krisis menyadarkan, identitas nasional bukan sesuatu yang final dan
tak dapat dipertanyakan. Meminjam perspektif non-essentialist dalam
studi tentang identitas, identitas nasional bersifat relasional,
kontekstual, terbentuk melalui aneka perubahan sosial. Identitas bukan
sesuatu yang kodrati, tetapi hasil konstruksi sosial (Woodward, 2002).
Dalam terminologi Ben Anderson, identitas nasional adalah cultural
artefacts of a particular being.

Senjang dan tidak adil

Tanpa terkecuali di sini adalah identitas nasional Indonesia. Jatuhnya
rezim Orde Baru membuka lembaran sejarah baru di mana identitas
nasional terkoyak-koyak oleh konflik etnis, agama, dan nasionalisme.
Indonesia menanggung beban tak kalah berat dibanding Uni Soviet atau
Yugoslavia dalam menghadapi krisis identitas kebangsaan.

Letupan kekerasan yang masih terjadi di Poso, aksi teror atas etnis
Tionghoa, dan ketegangan seputar isu pemekaran dan otonomi khusus
Papua memberi sinyal, krisis tak akan berakhir dalam waktu dekat.
Jelas ini bukan kabar gembira bagi mereka yang meyakini NKRI sebagai
formulasi final bagi komunitas dari Sabang sampai Merauke. Namun,
letupan-letupan kekerasan itu amat berguna untuk mengingatkan, memang
ada yang salah dengan nasionalisme kita.

Apa yang salah? Tak mudah menjawabnya. Teori Ben Anderson tentang
"komunitas-komunitas terbayang" mungkin sedikit membantu. Menurut
Anderson, bangsa dan kebangsaan sebenarnya bukan sebuah kolektivitas
politik, tetapi "khayalan" tentang kolektivitas politik. Disebut
khayalan karena sebagai bangsa, kita tidak pernah saling mengenal satu
sama lain. Pada benak tiap anggota bangsa, hidup bayangan tentang
kebersamaan dan kesetiakawanan, tanpa peduli ketidakadilan,
ketimpangan, pengisapan terus terjadi dalam kerangka kebangsaan
(Imagined Communities, Insist Press, 2001).

Kesalahan kita mungkin tidak pernah membuktikan kesalahan teori
"komunitas-komunitas terbayang". Sebaliknya, relatif mudah
memverifikasi teori ini berdasar kondisi faktual. Sinisme terhadap
nasionalisme Indonesia tak akan reda sejauh kesuksesan demi
kesuksesan, kegagalan demi kegagalan, beban demi beban, dan peluang
demi peluang sebagai bangsa belum terdistribusi dengan adil. Faktanya,
hari ini peradaban modern mudah ditemukan di sudut-sudut Jawa,
sementara banyak saudara di pelosok Papua dan Kalimantan, yang
kekayaan alamnya terus dieksploitasi "orang Jawa", masih hidup dari
meramu dan berburu.

Sebagian besar orang Papua belum pernah ke Jawa, juga sebaliknya.
Lebih dari itu, kita cenderung mempersepsi Papua sebagai sesuatu yang
berjarak, yang ada di luar kosmologi kita. Apa yang ada di benak kita
tentang Papua kurang lebih gambaran budaya yang eksotik dan
pra-modern. "Orientalisme" dalam persepsi ini membuat kita kurang
sensitif terhadap perilaku-perilaku yang tanpa disadari diskriminatif
terhadap bangsa Papua.

"Orientalisme" ini paralel dengan prasangka rasial tentang etnis
Tionghoa. Kekerasan dan teror atas etnis Tionghoa hampir selalu
terlambat diantisipasi karena kita belum benar-benar menghampiri
mereka dalam kerangka "kekitaan". Ketika satu kelompok masih
dikonstruksi sebagai "mereka" (the others), maka solidaritas, rasa
kebersamaan sulit dibangkitkan. Sebagian dari kita masih membayangkan
diri sebagai pribumi saat berhadapan dengan etnis Tionghoa, meski
tidak jelas apa beda pribumi dan nonpribumi selain warna kulit dan
bentuk mata. Seperti kata Woodward, identitas membuat kita lebih
selidik atas berbagai perbedaan daripada kesamaan- kesamaan yang ada.

Politik identitas

Dalam konteks Papua diperlukan politik identitas yang mempertimbangkan
faktor geo-politis dan geo-ekonomis. Amat tidak memadai jika politik
identitas hanya diterjemahkan dengan kehadiran presiden dalam perayaan
Natal bersama rakyat Papua, atau keputusan membuat Majelis Rakyat
Papua. Wacana pengembalian otonomi khusus muncul karena persepsi,
pemerintah tidak membuat terobosan berarti guna mengurai ketidakadilan
yang dirasakan rakyat Papua.

Rakyat Papua kian imun terhadap bujuk-rayu, janji pembangunan dan
pemerataan. Mereka takkan berhenti menuntut bukti bahwa nasionalisme
Indonesia benar-benar membuat mereka senasib dan sejajar bangsa-bangsa
di Nusantara. Bukan "nasionalisme jang menjerang-jerang, jang mengejar
kepentingannya sendiri, dan nasionalisme perdagangan jang untung atau
rugi," seperti dijanjikan Soekarno.

Namun, sejauh ini belum ada gelagat pemerintah memikirkan politik
identitas. Politik identitas atau strategi kebudayaan mungkin dilihat
sebagai kerja jangka panjang yang berbelit-belit dan tidak praktis
karena pemerintah terbiasa mendekati masalah secara pragmatis:
militeristik berbasis kekerasan.

Pendekatan yang tidak pernah menurunkan tensi kebencian dan antipati.
Hasil polling Lingkaran Survei Indonesia menunjukkan, hanya 45 persen
orang Aceh yang merasa sebagai orang Indonesia. Jika pendekatan
kekerasan tetap ditonjolkan, fakta serupa mungkin juga terjadi pada
orang Papua, Tionghoa, dan lain-lain.

Agus Sudibyo Deputi Direktur Yayasan SET Jakarta

Yakin, Otsus Sejahterakan Rakyat



*Kalla: Tangguh Bintuni Jadi Pusat Industri Petrokimia
SORONG- Meski pemberlakuan Otonomi khusus (Otsus), dinilai sebagian orang belum memberikan manfaat berarti bagi kesejahteraan rakyat Papua, namun Wakil Presiden Jusuf Kalla, yakin kalau Otsus akan mensejahterakan rakyat Papua.
Hal itu antara lain diungkapkan dalam sambutannya pada acara Temu Alumni dan Seminar Nasional Meretas Jalan Otonomi Khusus Menuju Papua Damai dan Sejahtera yang digelar oleh IKAMAPA (Ikatan Alumni Makassar Asal Papua).di Sorong kemarin.
Seperti diketahui dengan menggunakan pesawat khusus Senin (29/12) kemarin sekitar pukul 14.00 WIT Wakil Presiden HM Jusuf Kalla beserta rombongan tiba di Bandara Domine Eduard Osok (DEO) Sorong. Turut dalam rombongan wapres yaitu Ny. Mufidah Jusuf Kalla, Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numbery, Menteri Pekerjaan Umum Ir Joko Kirmanto Dipl HE, Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, istri Mendagri Evi Mardianto, Istri Menteri Pertanian Rossy Apriantono.
Wapres megakui jika pemerintah telah mengalokasikan dana terbesar untuk Papua dan Papua Baru. Dikatakan, ada hal-hal pokok dalam pelaksanaan Otsus di Papua dan Papua Barat, yaitu pemerintahan dan aspek ekonomi. Semuanya ini menuju kesejahteraan. Dalam hal pemerintahan, bagaimana kuatnya otonomi itu yang paling besar adalah otonomi khusus. Ini yang membedakan otonomi di sini dengan tempat lain.
Sedangkan aspek ekonomi, kalau dihitung-hitung anggaran tertinggi adalah untuk di Papua, dimana tahun 2007 dana Otsus Rp 29 triliun, padahal penduduknya hanya 2,9 juta. Artinya dari bayi sampai orang tua dapat Rp 10 juta/tahun.
"Kalau itu dibagi-bagikan semua, maka tidak ada kelaparan, tapi kita tidak bikin jalan, pelabuhan. Makassar saja Rp 2 juta/orang/tahun, Jawa Rp 1,5 juta/orang/tahun. Sekarang kenapa belum cukup? Karena Papua wilayahnya luas, maka kita harus sama-sama menggunakan kemampuan yang ada itu untuk kesejahteraan rakyat,"tandasnya.
Kata Wapres kemakmuran itu hasil daripada nilai tambah. Kalau kita ingin berhasil, kita sama-sama mengajak masyarakat memberikan nilai tambah, karena kalau tidak ada nilai tambah, maka kesejahteraannya konstan. Karena apapun hak yang diberikan Otsus atau apapun kalau tidak ada nilai tambah, maka perubahan yang lebih baik akan lama. Kenapa infrastruktur di kawasan timur ini lambat, karena saat itu pemikirannya kalau dibangun jalan siapa yang akan lewat. Sekarang pemikirannya harus dibalik yaitu kalau tidak dibangun bagaimana saya lewat.
Tapi ia minta jangan Otsus yang hanya bicara hak bukan kewajiban. Jangan karena tidak jadi bupati lalu bikin kabupaten baru. Kalau kita bicara kewajiban dulu, maka apa yang kita cita-citakan yaitu Papua yang maju tentu dapat kita capai. Kalau Otsus ini dilaksanakan secara konsisten akan mensejahterakan rakyat.
"Kami mengucapkan terima kasih kepada rakyat Papua yang menerima orang dari mana saja untuk mencari rejeki dan turut membangun di sini. Kultur masyarakat Papua adalah kultur yang paling sportif di dunia. Kalau diterapkan di sistem ekonomi maka tidak ada monopoli, karena ada aturan yang berjalan. Spirit sportivitas kalau dikombinasikan dengan nilai tambah dan ilmu pengetahuan untuk membangun daerah ini, sehingga apa yang dicita-citakan bersama ini dapat tercapai,"ujarnya.
Setelah menghadiri kegiatan Temu Alumni IKAMAPA, malam harinya sekitar pukul 20.00 WIT Wapres hadir dalam acara Resepsi Natal Kenegaraan Wakil Presiden Bersama Masyarakat Kabupaten Sorong di Gedung DPRD Kabupaten Sorong, Km 18.
Tangguh Pusat Industri Petrokimia
Pemerintah memproyeksikan Kabupaten Teluk Bintuni di Papua Barat menjadi pusat industri petrokimia. Rencana tersebut berkaitan dengan mulai berproduksinya proyek gas alam cair Tangguh di Kabupaten Teluk Bintuni.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, dirinya mendapat tugas khusus dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono guna menilai potensi mendirikan industri petrokimia di Tangguh. Selain memaksimalkan potensi gas, industri tersebut juga digunakan untuk mengantisipasi penurunan harga minyak internasional.
''Kita mencari nilai tambah dari gas di Tangguh. Kalau hanya jualan gas, ketika harga minyak turun, pendapatan (bagi hasil migas) pemerintah ikut turun,'' ujar Kalla ketika menjadi pembicara kunci di seminar tentang otonomi khusus Papua di Sorong, Papua Barat, kemarin (29/12).
Wakil Presiden Jusuf Kalla hari ini memang dijadwalkan berkunjung ke Teluk Bintuni untuk melepas kargo ekspor perdana gas alam cair Tangguh. Kalla juga dijadwalkan meresmikan pengeboran perdana lapangan minyak hasil kerja sama operasi Pertamina dan Petrochina di Kabupaten Sorong.
Proyek gas alam cair Tangguh adalah megaproyek yang dikerjakan konsorsium yang dipimpin perusahaan migas Inggris BP Plc. Dengan pengapalan perdana kargo gas hari ini, proyek senilai USD 5 miliar itu bisa memenuhi komitmen pengapalan gas kepada semua pembeli.
Sesuai kontrak, pembeli LNG dari Tangguh adalah CNOOC untuk pengiriman ke terminal Fujian sebesar 2,6 metrik ton per tahun. Pembeli lain adalah Sempra Energy LNG Corporation untuk pengiriman ke receiving terminal di Costa Azul, Mexico, seberat 3,7 metrik ton per tahun. Gas yang dikirim ke Sempra dipasarkan di Amerika Serikat dan Meksiko.
Gas alam dari Tangguh juga dikirimkan ke POSCO, K-Power, dan SK Corporation dari Korea Selatan. Pembeli yang juga telah antre adalah Tohoku Electric dari Jepang. Proyek LNG Tangguh akan mengolah gas yang berasal dari tiga ladang gas di Papua Barat. Yaitu, blok Berau, blok Muturi, dan blok Wiriagar.
Cadangan gas terbukti dari ketiga ladang itu adalah 14,4 triliun kaki kubik. Untuk tahap awal, Tangguh direncanakan memproduksi 7,6 metrik ton LNG per tahun dari dua unit pemurnian dan pencairan gas (train). Dengan beroperasinya lapangan gas Tangguh dan Petrochina, ujar Kalla, dana bagi hasil yang diperoleh rakyat Papua Barat dipastikan meningkat.
Sebab, sesuai UU Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat, provinsi berhak mendapatkan 70 persen alokasi dana bagi hasil yang diterima pemerintah. ''Apalagi, dana bagi hasil migas untuk Papua dan Papua Barat sangat besar. Jauh lebih besar dibandingkan dengan provinsi lain yang hanya memperoleh 15 persen dari dana bagi hasil migas yang diterima pemerintah," katanya.
Kalla yakin, tambahan dana bagi hasil migas tersebut akan mempercepat pembangunan di Papua dan Papua Barat yang infrastrukturnya sangat tertinggal dibandingkan dengan provinsi lain. Namun, sebelum dana bagi hasil tersebut terealisasi, Wapres meminta pemerintah provinsi dan DPR Papua mengoptimalkan pemanfaatan dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana otonomi khusus yang tahun ini mencapai Rp 29 triliun.
Bila dihitung dari sisi keuangan, alokasi anggaran pemerintah dibagi jumlah penduduk di Papua dan Papua Barat jauh melebihi provinsi lain. Dengan jumlah penduduk hanya 2,9 juta jiwa, setiap kepala di kedua provinsi mendapatkan alokasi dana Rp 10 juta per orang per tahun. ''Kalau dibagikan, per keluarga bisa mendapat Rp 40 juta per tahun. Bandingkan dengan Sulawesi Selatan yang hanya Rp 2 juta per kepala, atau Jawa Barat yang hanya Rp 1,5 juta per kepala,'' kata dia.
Karena itu, Wapres meminta pemerintah dan DPRD tidak hanya menuntut hak dan melupakan kewajiban otonomi khusus. Kedua lembaga diminta saling mendukung, sekaligus saling mengkritik kebijakan yang salah secara konstruktif. ''Kalau bupati terlalu lama di Jakarta, DPRD harus mengkritik. Sebaliknya, kalau DPRD terlalu rajin studi banding, bupati juga harus teriak. Semua pihak harus bekerja sebaik mungkin untuk rakyat,'' tegasnya.
Kalla juga membantah bahwa pemerintah pusat tidak adil. Sebab, dana yang ditransfer ke kedua provinsi jauh lebih besar dibandingkan dengan dana yang diterima dari royalti PT Freeport, yakni Rp 17 triliun per tahun. ''Mengapa manfaatnya belum terlihat? Itu terjadi karena wilayah Papua sangat luas dan penduduknya terpencar sehingga susah membangun infrastruktur. Lagi pula, biaya pembangunan infrastruktur di Papua dua hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan Jawa,'' terangnya.
Meski demikian, Kalla mengakui bahwa pemerintah terlambat membangun infrastruktur di Papua dan Papua Barat. Ketika itu, pemerintah berpikir tidak efisien membangun infrastruktur bila hanya melayani penduduk yang sedikit dan tersebar. Namun, pemerintah kini membalik paradigma tersebut. ''Kalau infrastruktur tidak dibangun, mereka mau lewat mana,'' jelasnya. (akh/jpnn)

Sekjen DPP - Ketua DAP Diperiksa Polda Papua

Ditulis Oleh: Islami/Papos
Senin, 22 Desember 2008

http://papuapos.comJAYAPURA (PAPOS)- Setelah Bucktar Tabuni dan Sebi Sembom, giliran Sekjen Dewan Presedium Papua (DPP) Taha AL-Hamid dan Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yaboisembut, diperiksa Polda Papua.

Pemeriksaan terhadap Taha dan Forkorus baru sebatas saksi terkait aksi demo pendukung International Parlement for West Papua (IPWP), pada 16 Oktober lalu di depan Uncen dan Eks Expo Waena.

Didampingi 31 pengacara yang tergabung dalam Persatuan Advokasi seluruh Indonesia (Peradi) di Papua, Taha Al-Hamid dan Forkorus Yaboisembut mendatangi Mapolda Papua untuk menjalani pemeriksaan.

Salah satu kuasa hukum Iwan Niode SH mengatakan, surat panggilan kepada Ketua DAP Forkorus Yaboisembut dilayangkan Minggu (21/12) sore, dan kepada Sekjen Dewan Presedium Papua Taha Al-Hamid Sabtu (20/12) kemarin.

“Hari ini (kemarin-red), Pak Taha dan Pak dipanggil Polda Papua untuk diperiksa sebagai saksi, sehubungan dengan aksi 16 Oktober 2008 lalu, hari ini kami seluruh advokasi bersama keduanya datang ke Polda untuk memenuhi panggilan itu,” ujarnya kepada wartawan disela-sela pemeriksaan di Mapolda Papua.

Menurut Iwan, kehadiran 31 orang advokat bukan hanya untuk mendukung keduanya, tetapi memberi dukungan juga kepada kedua tersangka lain yang telah terlebih dahulu ditangkap yaitu Bucktar Tabuni dan Sebi Sembom.

Kedepannya diperkirakan akan ada sekitar 70 orang advokat yang akan bergambung mendukung serta mendampingi kedua tersangka Bucktar dan Sebi, bukan hanya ditingkat Polisi melainkan hingga ke Pengadilan Negeri Jayapura, bahkan hingga tingkat kasasi.

“Seluruh advokat yang berpartisipasi dalam kasus ini, akan mendampingi Forkorus dan Taha serta kedua tersangka hingga ketingkat kasasi,” terang Iwan.

POLDA PAPUA AKAN DIGUGAT

Disisi lain kuasa hukum lainya, Paskalis Letsoin SH menyebutkan, berdasarkan kesepakatan bersama, pihaknya akan mempraperadilankan Polda Papua, karena dinilai terlalu arogatif terhadap berbagai pemeriksaan yang dilakukan selama ini.

“Jika ada hal-hal yang merugikan klien kami, maka Polda Papua akan siap dipraperadilankan atau digugat sambil melihat proses pemeriksaan yang berlangsung,” papar Paskalis.

Hari Maturbongs SH menambahkan, selaku pengacara kedua tersangka Bucktar Tabuni dan Sebi Sembom, pihaknya meminta kepada Polda Papua, agar pemeriksaan dipending untuk sementara, menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru.

“Kami harap tidak akan ada lagi penangkapan terhadap orang-orang yang dinilai melakukan tindakan makar. Sedangkan menjelang Natal dan tahun baru ini, diharapkan pemeriksaan kedua tersangka dipending, karena mereka ingin merayakan Natal,” tegasnya Maturbongs.

HADIAH NATAL

Dalam kesempatan itu juga, Ketua DAP Forkorus Yaboisembut mengungkapkan bahwa pemeriksaan dan ditangkapnya Bucktar dan Sebi oleh Polda Papua, merupakan hadiah Natal yang diberikan Polda.

“Kami tidak akan lari karena ini tanah kami, makanya kami minta agar pemeriksaan dipending hingga tahun baru nanti,” ujarnya.(islami)

Senin, 15 Desember 2008

2009, Papua Bebas Biaya Pendidikan

Khusus Untuk Pendidikan Dasar SD dan SMP

JAYAPURA - Memasuki tahun 2009 mendatang, sepertinya bakal menjadi tahun yang istimewa bagi masyarakat di Papua. Bagaimana tidak, mulai awal tahun 2009 mendatang Pemprov Papua mengeluarkan kebijakan untuk membebaskan masyarakat di Papua dari biaya pendidikan. Wakil Gubernur Alex Hesegem, SE kepada Cenderawsih Pos Senin kemarin mengungkapkan hal itu. "Iya mulai Januari tahun anggaran 2009 nanti, kita akan membebaskan orang - orang asli Papua yang miskin dari semua beban dan ongkos - ongkos pelayanan pendidikan," akunya.
Dikatakan, biaya pendidikan yang dibebaskan itu sementara ini masih difokuskan pada jenjang pendidikan dasar yakni SD dan SMP. Artinya siswa SD dan SMP ini tidka dipungut biaya sepeserpun selama duduk di jenjang pendidikan itu. Bahkan seragam hingga buku - bukunya semua dibiayai oleh pemerintah.
Hanya saja, kata Wagub pembebasan biaya pendidikan itu diutamakan pada orang asli Papua dan non Papua yang miskin di seluruh Provinsi Papua.
" Jadi bukan hanya pada orang asli Papua program ini diberlakukan tetapi juga pada anak anak non Papua dari
Keluarga miskin atau kurang mampu juga dibebaskan dari biaya pendidikan dasar ini," ujarnya.
Wagub menegaskan bahwa program ini sudah pasti akan dilekasanakan sebab sudah disampaikan di depan sidang paripurna dewan dan Pemprov juga sekarang ini sedang menghitung besaran anggaran yang disediakan untuk program ini. "Ini benar - benar akan direalisasi dalam awal tahun 2009 nanti, karena sudah diumumkan dalam sidang resmi," katanya.
Hanya saja, berapa alokasi atau bagaimana mekanisme pembagiannya dan berapa besar atau jumlah alokasi anggarannya masih akan diatur lagi dalam suatu petunjuk pelaksaanaan yang sedang disusun dan dibahas. "Tetapi yang pasti, bulan Januari ini program ini sudah harus diberlakukan karena peraturannya sudah disiapkan dalam masa sidang ini," terangnya.
Sementara ini menurut Wagub Hesegem, anggarannya akan disiapkan oleh Pemprov Papua melalui Dinas Pendidikan dan Pengajaran (P dan P). Selain itu, bagi semua kabupaten dan kota juga diwajibkan harus menyediakan anggaran secukupnya untuk mendukung dan menanggulangi Program ini melalui APBD-nya masing-masing.
"Ini adalah program besar yang membutuhkan keseriusan dan kesungguhan dalam pengelolaannya, yang ingin kita perbaiki dan tingkatkan secara signifikan adalah pelayanan pendidikan dasar bagi masyarakat miskin kita yang jumlahnya cukup besar itu," katanya.. Masyarakat miskin itu hampir sleuruhnya adalah orang asli Papua yang bermukim di kampung - kampung terpencil, rawa - rawa, gunung - gunung , lembah, pesisir dan pulau - pulau terpencil.
Di satu sisi kata Wagub Hesegem, pembebasan biaya pendidikan dasar ini harus dibarengi dengan memastikan bahwa guru - guru yang ada juga harus memadai dan benar - benar bertugas di tempatnya. "Disinilah pentingnya peranan pemerintah kabupaten dan kota untuk memastikan bahwa pelayanan ini benar - benar terwujud," tandasnya.
Ditanya bagaimana dengan biaya pendidikan SMA, Wagub Hesegem mengatakan, sementara ini berjenjang, jika nanti program untuk pendidikan dasar ini berjalan baik dan PAD Provinsi Papua terus meningkat, maka kedepannya akan Pemprov Papua akan mengupayakan pembebesan biaya pendidikan untuk SMU bahkan Perguruan Tinggi.(ta)

Rabu, 10 Desember 2008

PBHI dan Front PEPERA Papua Barat Deklarasikan “Tanah Papua Zona Darurat

PBHI dan Front PEPERA Papua Barat  Deklarasikan “Tanah Papu Zona Darurat

PBHI dan Front PEPERA Papua Barat Deklarasikan “Tanah Papu Zona Darurat

Jakarat -PBHI desk Papua dan Front PEPERA Papua Barat menyerukan mulai 6 Desember 2008, Tanah Papua dalam kondisi darurat. Mereka mendesak pemerintah SBY-JK selesaikan masalah Papua secara Konprehensif, demokratis dan bermartabat.

“PBHI desk Papua dan Front PEPERA PB merasa situasi telah mengancam hak hidup orang Papua, oleh karenanya perlu dilakukan sebuah Deklarasi Kemanusia. Solidaritas tanpa batas diperlukan bagi penyelamatan dan tuntutan hak hidup Rakyat Papua,” ujar juru bicara KANRPB, Viktor Kagoya kepada Opiniindonesia.com usai koprensi pers di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Sabtu (6/12).

Menurut Viktor, para pemuda dan mahasiswa Papua yang berada di Jakarta, Bali, dan Jawa serta PBHI desk Papua menuntut pemerintah SBY-JK untuk meninjau kembali pelaksanaan Papera tahun 1969, karena dianggap cacat hukum, tidak demokratis dan melanggar HAM.

“Kami menuntut pemerintah SBY-JK untuk melakukan peninjauan ulang atas Papera tahun 1969, karena tidak diikuti oleh seluruh rakyat Papua Barat,” ujar Viktor.

Menurut aktifis mahasiswa Papua ini, Papera yang waktu itu diadakan hanya melibatkan sedikit perwakilan rakyat Papua, tidak melibatkan seluruh rakyat. Akibat tidak tuntasnya Papera waktu itu, menurut dia, rakyat Papua mengalami ketidakadilan yang terus-menerus hingga sekarang. (yn)

Mahasiswa dan Pemuda Papua Merasa Terancam

Mahasiswa dan Pemuda Papua Merasa Terancam

Mahasiswa dan Pemuda Papua Merasa Terancam

Jakarta - Para mahasiswa Papua yang sedang menimba ilmu di Bali, Jawa, Jakarta, dan Bandung merasakan dirinya tidak aman. Setiap hari selalu ada tekanan dan intimidasi dilakukan oleh pihak aparat keamanan terhadap para mahasiswa dan pemuda Papua..

Peristiwa penangkapan salah seorang aktifis di Papua, Otinus Tabuni 9 Agustus, disusul kemudian panangkapan terhadap 16 aktivis mahasiswa dan pemuda Papua di Jayapura pada 20 Oktober 2008. Kasus terakhir, penangkapan Buktar Tabuni oleh aparat Polda Papua, 1 Desember.

“Semua tindakan itu menunjukan pola kekerasan masih dilakukan dalam mengakhiri konflik vertical antara rakyat Papua versus pemerintah Ri,” ujar Juru Bicara KANRPB. Wens Deowai kepada Opiniindonesia.com usai konprensi pers dan deklrasi “Tanah Papua: Zona Darurat” di TIM Jakarta, Sabtu (6/12).

Menurut pengakuan mahsiswa Papua yang kuliah di Universitas Udayana ini, kasus-kasus kekerasan yang dilakukan aparta kemanan terhadap mahasiswa dan pemuda Papua, menunjukan represi dan intimidasi serta terror terus berlangsung, terutama pasca deklarasi Internasional Parliamentarians for West Papua di London Inggris.

“Pola lama model Orde Baru diperlihatkan kembali oleh regime SBY-JK untuk mengamankan posisi politik mereka sambil mengorbankan rakyat Papua Barat,” tandas Wens Deowai.

Tindakan represi dan intimidasi dirasakan oleh para pemuda dan mahasiswa, baik yang ada di Papua maupun di Jawa dan Bali. Intimidasi dilakukan oleh pihak-pihak aparat keamanan, setelah para pemuda dan mahasisa Papua melakukan aksi pada 15 – 17 OKtober 2008 lalu. “Perlakuan intimidasi, represif dan terur kami rasakan di setiap kota tempat kami kuliah,” ujar Wens Edowai.

“Kami juga merasakan tindakan refresir terjadi pada teman-teman di Bandung, mahasiswa asal papua selalu diawasi dan diikuti oleh aparat keamanan,” ujar Heni Lani, mahasiswa yang kuliah di Bandung.

“Pasca reformasi 1998 penguatan demokrasi tidak terjadi dengan sempurna sehingga Pemerintah RI kembali pada pola-pola fasisme negera seperti yang dilakukan para zaman Orde Baru,” tandas Wens Edowai. (yn)

Selasa, 09 Desember 2008

Tragedi Abe Berdarah Diperingati Dengan Orasi

JAYAPURA-Puluhan massa yang tergabung dalam Solidaritas untuk Korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), Minggu (7/12) memperingati Kasus Abepura berdarah yang terjadi 7 Desember 2000,

Peringatan yang berlangsung di lingkaran Abepura yang berlangsung dari pukul 16.00 hingga 18.15 WIT, diisi dengan orasi serta penyalaan obar yang dilakukan oleh 8 orang. Dalam orasi yang dilakukan secara bergantian, pada intinya mereka menyayangkan belum adanya keadilan terhadap para korban tragedi 8 tahun yang lalu.

Sementara itu pnanggungjawab kegiatan Penehas lokbere dalam orasinya menyatakan, dalam dalam putusan sidang di Makassar (8-9) 2005, majelis hakim mengabaikan hal-hal subtansial dalam upaya penegakan keadilan dan tidak mengakomodir hak-hak korban untuk mendapatkan keadilan.

Dalam kesempatan itu massa yang tergabung dalam Solidaritas Untuk Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) menyampaikan 4 poin pernyataan sikap yaitu pertama mendesak DPRP bersama Gubernur segera membuat Perdasus tentang hak reparasi dan perlindungan bagi korban pelanggaran HAM di Tanah Papua. Kedua segera membentuk pengadilan HAM di Papua.

Ketiga mendesak pemerintah pusat untuk memberikan kewenangan penuntutan kepada perwakilan Komnas HAM di Papua dan Keempat mendesak DPRP dan MRP untuk mendorong sebuah evaluasi resmi atas kebijakan keamanan di Papua, menolak pasukan organik dan non organik serta rasionalisasi jumlah Aparat organic (TNI/Polri) di tanah Papua.

Setelah membacakan pernyatakan sikapnya, sekitar pukul 18.15 WIT, massa meninggalkan lingkaran Abepura. (cr-153).

Sabtu, 06 Desember 2008

Waspadai Kepulangan ‘Eks Separatis’

Ditulis Oleh: Ant/Papos
Sabtu, 06 Desember 2008

http://papuapos.com
TIBA : Yunus Wanggai bersama Putrinya Anike Wanggai tiba di bandara Soekarno Hatta - Cengkareng, Sabtu (29/11) lalu
Jakarta (PAPOS)– Tiga aktivis mahasiswa dari Kelompok Cipayung, mengingatkan pemerintah mewaspadai gelombang kepulangan para eks separatis atau orang-orang yang pernah minta suaka politik di luar negeri, karena dikuatirkan jangan sampai kepulangan mereka merupakan bagian dari skenario asing untuk merusak kondisi di tanah air dari dalam.

Ketiga aktivis tersebut, masing-masing mantan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Kenly Poluan, mantan Sekjen Presidium Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Donny Lumingas, dan mantan Ketua Umum DPP Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Emmanuel Tular. Selain itu juga mereka, mengingatkan para pihak tertentu, agar jangan menjadikan para 'eks separatis' Papua sebagai alat untuk naik pangkat atau mendapatkan proyek tertentu.

"Dalam dua bulan terakhir, kami memonitor adanya pengumuman di berbagai media massa mengenai kembalinya warga Papua yang sempat 'lari' ke negara tetangga Papua New Guinea (PNG) atau yang sempat minta suaka politik ke Australia," ujar Kenly Poluan seperti dirilis dari Antara, tadi malam (Jumat 5/12).

Ia dan Donny Lumingas menyorot kritis kegiatan tersebut, karena ada indikasi, atau dugaan kuat, 'proyek' ini dulu sempat dijadikan alat untuk cari keuntungan pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab.

"Bagi kelompok tertentu, ini biasa dipakai untuk mendapat kenaikan pangkat, karena dianggap berhasil menjalankan operasi di wilayah perbatasan RI-PNG. Tetapi di pihak yang lain, ini proyek dengan nilai rupiah bahkan dolar menggiurkan. Itu indikasi kuat yang kami nilai," kata Donny Lumingas.

Sementara itu, Emmanuel Tular juga mengingatkan, agar kepulangan para 'eks separatis' atau mereka yang terlanjur minta suaka politik di luar negeri, harus ditangani lebih cermat, jangan sampai hal ini hanya akan dimanfaatkan pihak-pihak tertentu sesuai skenario dan agenda asing.

Ketiganya juga minta pemerintah bersama instansi berkompeten, agar tidak mudah percaya atas berbagai kejadian itu, tetapi tidak pula bersifat kaku untuk menerima kembali warga yang sungguh-sungguh mau bergabung dengan Republik Indonesia.(nas/ant)

BMP Kecam Pendiskreditkan NKRI

Ditulis Oleh: Lina/Papos
Sabtu, 06 Desember 2008

http://papuapos.com
Ramses Ohee
JAYAPURA (PAPOS) –BMP (Barisan Merah Putih), mengecam ulah pihak-pihak yang mengatasnamakan organisasi seperti DAP (Dewan Adat Papua), KNPB (Komite Nasional Papua Barat), ONPB (Ototitas Nasional Papua Barat) yang selama ini mendiskreditkan NKRI dan memprovokasi masyarakat.

“Kami minta tindakan sekelompok organisasi yang telah memprovokasi masyarakat agar segera dihentikan, karena itu adalah upaya untuk memisahkan Papua dari NKRI,” kata Ketua BMP Ramses Ohee kepada wartawan usai acara pembacaan pernyataan BMP kepada wartawan kediamannya, Jumat (5/12).

Sekelompok organisasi tersebut lanjut dia, telah memutarbalikan fakta dengan pernyataannya seakan pemerintah negara Vanuatu, Newzeland dan anggota parlemen dan lain-lain sebagainya mendukung untuk penentuan nasib bagi Papua Barat.

Menurutnya, pernyataan itu pernyataan yang menyesatkan karena sampai saat ini pemerintah Newzeland, tidak pernah mengeluarkan surat dukungan secara resmi kepada organisasi Papua Merdeka (OPM).

Bahkan pelaksanaan Pepera 1969 yang dinyatakan cacat, dan meminta PBB mengakui kemerdekaan Papua Barat pada tanggal 1 Desember 1961, oleh sekelompok organisasi tersebut juga merupakan pernyataan yang salah, karena pada tahun 1969 rakyat Papua telah memutuskan untuk bergabung dengan NKRI.

Ramses mengatakan, pernyataan bahwa Papua Barat merupakan tanah darurat adalah pembohongan publik yang cenderung tendensius, karena status tanah Papua berstatus tertib sipil dan situasi Papua hingga saat ini aman dan kondusif.

Untuk itu BMP sebagai barisan yang peduli terhadap tanah Papua dan juga NKRI meminta kepada TNI/Polri agar menindak tegas tokoh perorangan maupun kelompok yang selama ini telah mengeluarkan statement anti republik Indonesia, yang menyatakan suatu pernyataan pilitik dalam memisahkan diri dari NKRI.

“Aksi sekelompok massa yang berlangsung pada tanggal 1 Desember di makan Theys juga merupakan aksi Makkar,” terang Ranses lagi.

Dikatakan, BMP dalam situasi apa pun siap mempertahankan Papua agar tetap bersatu dengan NKRI, meski ada upaya sekelompok orang yang ingin memisahkan Papua dari NKRI.

“Silahkan jika ada organisasi-organisasi yang mau menentang NKRI, atau mau memisahkan Papua dari NKRI, kami BMP siap melawan mereka,” ucap Ramses Ohee.

Sebagai anak-anak Papua, BMP, kata Ramses telah bertemu sekelompok organisasi tersebut membicarakan tentang keinginan mereka memisahkan diri dari NKRI, namun mereka tetap pada pendapatnya yang menginginkan Papua tetap merdeka.(lina)

Bucthar Tetap Diperiksa

Ditulis Oleh: Islami/Papua Pos
Sabtu, 06 Desember 2008
JAYAPURA (PAPOS)- Ketua International Parlement for West Papua (IPWP) Dalam Negeri, Bucthar Tabuni yang diperiksa Jumat (5/12) kemarin, menolak saat diperiksa penyidik terkait kasus penghasutan massa pada demo di Expo Waena 16 Oktober lalu. Penyidik Direktorat Polda Papua telah menetapkan Bucthar sebagai tersangka dalam kasus tersebut. "Bucthar sudah diperiksa sebagai saksi dalam demo 16 Oktober lalu di Expo Waena dan sekarang sudah ditingkatkan statusnya sebagai tersangka. Sayangnya hingga saat ini belum mau diperiksa,"kata Kabid Humas Polda Papua Kombes Polisi Agus Rianto ketika ditemui wartawan di Mapolda Papua, kemarin.

Kombes Rianto menyampaikan, mau tidaknya atau bicaranya saat diperiksa penyidik telah menjadi hak Bucthar, hanya saja penyidik tetap membuat berita acara yang menerangkan bahwa Bucthar Tabuni tidak mau diperiksa penyidik Polda Papua terkait kasus penghasutan massa dalam demo 16 Oktober lalu.

Padahal masyarakat Papua meminta agar Polda Papua segera mengusut tuntas kasus di Papua."Katanya Polda suruh mengusut tuntas kasus di Papua, tapi Bucthar sendiri tidak mau diperiksa dan itu sudah menghambat tugas polisi dalam mengusut kasus,"terang Kabid Humas.

Walaupun demikian, jelas Agus, Polisi tetap menindaklanjuti kasus tersebut hingga tuntas dan apapun alasannya Polisi telah menyiapkan pasal 106 KUHP tentang penghasutan massa "Kita tetap akan mengusut tuntas kasus tersebut," ujarnya.(islami)

Pedagang Asli Papua Menanti Jawaban

Ditulis Oleh: Islami/Papos
Sabtu, 06 Desember 2008

JAYAPURA (PAPOS)- Mama-mama pedagang asli Papua, kini menanti jawaban soal kepastian mengenai tempat yang layak dan permanen untuk berjualan di tengah Kota Jayapura, namun hingga kini kepastian itu belum juga diberikan oleh pemerintah Kota Jayapura maupun Provinsi Papua.

Pemerintah dinilai tidak ada kebijakan nyata dan sistematis yang memihak, melindungi dan memberdayakan mama-mama pedagang asli Papua tersebut, baik dalam hal permodalan, keterampilan, berwirausahan dan infrastruktur pasar yang memadai.

Dalam konfrensi persnya bersama perwakilan 479 mama-mama Papua yang sering berjualan di Pasar Ampera dan Galael, Ketua Kontras Papua Harry Maturbongs SH mengatakan, tindakan pemerintah terhadap mama-mama pedagang asli Papua tersebut seakan-akan memperlihatkan tidak adanya keberpihakan terhadap orang asli Papua di bidang ekonomi, marjinalisasi dan diskriminasi terhadap orang asli Papua.

“Mama-mama Papua ini seakan-akan disengaja untuk disingkirkan dari aktivitas ekonomi perkotaan selama ini. Bahkan, mama-mama ini berkali-kali mengalami pergusuran dan dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lainnya dengan alasan merusak pemadangan kota,” ujar Harry Maturbongs kepada wartawan dalam konfrensi pers di Keuskupan Jayapura, Jumat (5/12) kemarin.

Menurutnya, permasalahan yang dialami mama-mama pedagang asli Papua yang berjualan di Kota Jayapura ini telah disampaikan kepada pemerintah Kota Jayapura maupun Provinsi Papua.

Namum hingga kini belum ada kebijakan yang nyata dari pemerintah. Maka dari itu, dirinya berharap agar antara pemerintah Kota Jayapura dan Provinsi Papua dapat saling berkoordinasi.

Hal senada dilontarkan Laurina Monim salah satu mama yang sehari-harinya berjualan di Pasar Ampera, dimana ia bersama pedagang lainnya selama ini kesulitan mendapatkan bantuan dari pemerintah khususnya melalui bidang perbankan.

Selain tidak memiliki akses, juga tidak ada perhatian dari pemerintah.

Begitu juga dengan Juliana Douw yang sehari-hari berjualan di depan Swalayan Galael Jayapura mengatakan, dirinya bersama pedagang lainnya pernah mengambil modal usaha di Koperasi Provinsi Papua, namum pengambilan tersebut dipotong tanpa adanya penjelasan.

“Kami ajukan Rp.200.000 dan dipotong 10 persen menjadi Rp.180.000, sehingga kami tidak mengajukan pinjaman ke koperasi lagi,” ucapnya.(islami)