Senin, 13 Oktober 2008

Kami Bangga Hitam dan Keriting

Oleh: Putu Fajar Arcana
12 September 2008

Ungkapan Kami memang hitam dan keriting, tetapi kami bangga jadi orang Papua ibarat ritual pembebasan di tanah Papua.

Pesta Budaya Papua 22-27 Agustus 2005 di Taman Budaya Papua di distrik Abepura, kira-kira satu jam perjalanan dari Jayapura, adalah bukti paling konkret tentang ungkapan itu.

Perhelatan ini baru berhasil digelar secara massal dan berkesinambungan sejak tahun 2002, dua tahun setelah mantan Presiden Abdurrahman Wahid meresmikan penggantian Irian Jaya menjadi Papua. Sebelum itu pemerintah selalu beranggapan, segala hal yang berbau Papua subversif.

Bahkan, menurut penuturan dosen Sekolah Tinggi Teologi IS Kijne, Dr Benny Giay, tahun 1980-an anak-anak muda yang memakai baju kaus dan menyenandungkan lagu-lagu Papua ditangkap dan ditembak.

Ia menyebut bagaimana pemerintah Orde Baru (Orba) menembak Arnold C AP, seorang dosen yang menjadi pemimpin kelompok musik Mambesak. Saya lebih senang kesenian diurus oleh masyarakat, jangan oleh negara, karena itu adalah jiwa kehidupan masyarakat. Seni itu akan jadi instrumen pembebasan. Kalau ini diambil oleh pemerintah, dia akan menindas dan membungkam, kata Giay, doktor lulusan Belanda itu.

Sederhana

Pesta Budaya Papua memang senantiasa berlangsung dalam kesederhanaan, yang terkadang memilukan. Kalau di tanah Jawa, mungkin beranalog dengan layar tancap. Ribuan penonton yang begitu antusias dan berdatangan dari pelosok Papua harus rela berjubel, saling menghalangi, dan bahkan berkali-kali diusir para juru rekam yang kesetanan.

Di sisi lain para peserta yang datang dari berbagai suku di pelosok pedalaman Papua tak kalah semangat menyemarakkan pesta tahunan ini. Yos Ayomi (45) tak pernah merasa rugi datang ke Abepura bersama 100 orang lainnya dari Waropen. Kami harus jalan kaki dari kampung sehari, terus naik kapal selama dua hari untuk sampai kemari, tuturnya.

Kehadirannya, demikian juga sebagian besar peserta yang tahun ini berasal dari 11 suku, tak muluk-muluk. Kami hanya ingin bertemu, berbicara, dan melihat suku lain sesama orang Papua, kata Tina Yelemaken (16) dari suku Hubla, Kabupaten Yahukimo, di pegunungan Tengah tanah Papua.

Di situlah apa yang dikatakan Benny Giay benar adanya. Seni bagi orang Papua adalah ritual pembebasan. Mereka ingin beranjak dari kehidupan sehari-hari yang monoton: keluar masuk hutan, berburu, dan mengumpulkan makanan. Satu-satunya kehidupan mereka yang selama ini cukup menghibur adalah jika digelar pesta adat seperti bakar batu. Di situ mereka bisa berekspresi, seperti menari, berteriak, atau berloncatan sembari merentangkan busur seolah membidik binatang buruan.

Sangatlah masuk akal kemudian apabila Pesta Budaya Papua dianggap sebagai medium kultural terbesar bagi rakyat Papua selama ini. Dan, sesungguhnya pesta budaya ini memang menjadi yang terbesar sepanjang sejarah penyelenggaraan perhelatan kesenian tradisi.

Setidaknya hal itu bisa dibuktikan dari jumlah keterlibatan peserta. Tahun ini pesta hanya mampu menampung 11 suku dari 253 suku yang sementara teridentifikasi di Papua. Artinya, kalau pesta ini terus berlangsung selama 25 tahun, barulah seluruh suku yang ada bisa ditampilkan. Tidak ada suku yang sama hadir di sini setiap tahun, kata Kepala Taman Budaya Papua Aloysius Nafurbenan.

Namun, kebesaran pesta ini tidak diikuti penyediaan infrastruktur serta pengelolaan manajemen pertunjukan yang memadai. Itu jugalah gambaran umum yang terdapat hampir di seluruh Papua. Taman Budaya Papua baru didirikan tahun 1996 dan tiga tahun lalu disusul dengan pembentukan Sekolah Tinggi Seni Papua (STSP), yang gedungnya saja sampai kini masih morat-marit. Padahal, dua institusi ini adalah pilar utama untuk terus mendorong pencarian jati diri orang Papua, karena itu akan menjadi kebanggaan di tengah pemiskinan yang terjadi di sana-sini.

Selama ini orang Papua merasa pemerintah pusat selalu mengeksploitasi mereka. Segala kebijakan yang menyangkut hak hidup dan martabat mereka senantiasa diputuskan di Jakarta. Sementara kami di sini seperti dibiarkan hidup telantar, ujar seorang dosen STSP.

Itulah rupanya alasan mengapa Pesta Budaya Papua hampir selalu disambut dengan gegap gempita oleh masyarakat setempat. Mereka seperti menemukan ruang baru untuk menyatakan diri tanpa takut dituduh subversif. Kebanggaan lokal bagi mereka sungguh penting untuk mengambil kembali jati diri yang telah dirampas selama bertahun-tahun. Karena itu, ungkapan Kami memang hitam dan keriting, tapi kami bangga jadi orang Papua hadir menjadi sesuatu yang sakral, sebuah mantra pembebasan dari keterkungkungan.

Penulis:

Source:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/10/UTAMA/2 037276.htm

Tidak ada komentar: