Selasa, 28 Oktober 2008

Pentolan IPWP dan DAP Diperiksa




Dijerat Pasal Makar

Pentolan IPWP dan DAP Diperiksa

JAYAPURA - Setelah sempat gagal diperiksa pada 20 Oktober lalu, akhirnya Ketua panitia Internasional Parlement for West Papua (IPWP) Dalam Negeri Buchtar Tabuni, memenuhi panggilan penyidik Direktorat Reserse dan Kriminal Polda Papua, Senin (27/10) sekitar pukul 11.30 WIT, molor 1 jam lebih dari rencana semula pukul 10.00 WIT.
Menariknya, kedatangan Buchtar Tabuni ini, bersamaan Ketua Dewan Adat Papua (DAP), Forkorus Yoiboisembut dan Sekretaris DAP Leonard Imbiri di Polda Papua. Tidak lama, ketiganya masuk dan menjalani pemeriksaan sebagai saksi didampingi pengacaranya dari ALDP diantaranya, Latifah Anum Siregar, SH, Iwan Niode SH, Faizal SH dan Hulda Buara SH. Ketiganya diperiksa penyidik secara terpisah.
Buchtar Tabuni diperiksa terkait dugaan makar yang terjadi pada saat demo di depan Expo Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura pada 16 Oktober 2008 lalu. Begitu juga, Ketua DAP, Forkorus juga diperiksa sebagai saksi dalam kasus 16 Oktober tersebut dan kasus Wamena 9 Agustus 2008 lalu, terkait insiden penancapan bendera Bintang Kejora yang berbuntut tewasnya warga bernama Opinus Tabuni pada peringatan Hari Bangsa Pribumi se-Dunia.
"Jadi, ada 3 orang yang diperiksa. Yakni, Forkorus Yoboisembut selaku Ketua DAP diperiksa dalam kasus Wamena, 9 Agustus dan demo 16 Oktober. Sedangkan, Leo Imbiri, Sekretaris DAP diperiksa sebagai saksi terkait kasus Wamena 9 Agustus dan Buchtar Tabuni diperiksa kasus 16 Oktober, sebagai saksi sesuai panggilan penyidik dalam kasus dugaan makar sesuai pasal 106, 107 dan 110, selain itu pasal 212 KUHP yakni tentang melawan aparat yang sedang menjalankan tugas," jelas Iwan Niode, SH, pengacara dari ALDP yang mendampingi ketiganya.
Terkait dengan pemeriksaan kasus Wamena terhadap pentolan DAP ini, Iwan Niode mengaku tidak habis pikir, karena kasus Wamena itu sudah selesai, apalagi Forkorus sudah diperiksa sebagai saksi untuk diperiksa ketiga kalinya. " Kami kaget, ada surat panggilan untuk pak Forkorus Yoboisembut dan Leonard Imbiri dalam kapasitasnya sebagai saksi untuk kasus Wamena," ujarnya.
Sementara itu, pemanggilan Buchtar Tabuni ini, menurut Iwan Niode, terkait dengan demo yang dilakukan di depan Expo Waena, pada 16 Oktober 2008 lalu, sebagai saksi dalam kasus dugaan makar.
Ditanya kenapa terkait sebagai saksi kasus makar? Iwan mengaku masih mempelajarinya. "Ini masih kita pelajari, karena dalam demo ini berjalan damai, tidak ada teman-teman melawan aparat kepolisian atau menunjukan simbol-simbol yang dilarang, bahkan demo ini dilokalisir di Waena dan dijaga aparat. Jadi, tidak ada demo ini mengindikasikan sebuah tindakan makar," jelas Iwan yang mempertanyakan pemanggilan tersebut.
Untuk itu, lanjut Iwan, kliennya berkeinginan menjelaskan kepada kepolisian, hal tersebut merupakan demo damai, bukan peristiwa makar yang kemudian harus dibesar-besarkan.
Menyangkut kasus Wamena, ujar Iwan, kliennya menuntut tidak hanya adanya peristiwa penancapan bendera bintang kejora tetapi juga ada korban Opinus Tabuni yang menjadi korban, "Sejauh mana yang menjadi pertanyaan klien kami, sejauh mana sebetulnya penyelidikan kasus Wamena itu," terangnya.
Ditambahkan, Polda tidak bisa hanya mengatakan peluru itu bukan dari polisi yang bertugas saat itu, tetapi pihaknya menginginkan adanya penyelidikan yang tuntas.
" Jika (Kalau) bukan (dari) kepolisian, lalu siapa? Karena yang pegang senjata di lokasi hanya kepolisian dan TNI, sehingga kami minta kejujuran dan keberanian aparat kepolisian mengungkap kasus ini, tidak hanya sekedar memeriksa para saksi terkait dengan penancapan bendera bintang kejora saja," paparnya.
Apakah pemanggilan sebagai saksi kasus makar itu, terkait tuntutan untuk mereview Pepera? Iwan Niode mengaku tidak tahu secara persis. Hanya saja, ia menilai demo itu sah-sah saja, karena dijamin Undang-Undang RI No 9 Tahun 1998, sepanjang demo itu tidak anarkis, tidak menonjolkan simbol-simbol yang dilarang undang-undang, tidak mengibarkan bendera bintang kejora dan membacakan teks proklamasi yang menyatakan Papua sudah Merdeka.
Iwan Niode berharap ada kejujuran dalam kasus ini dan dilihat secara keseluruhan terkait demo itu. Apalagi, sudah diberitahukan sebelumnya sesuai dengan tahapan yang dituntut undang-undang dan undang-undang tidak menyatakan harus ada surat tanda terima pemberitahuan (STTP), tetapi harus memberitahukan kepada aparat kepolisian 3 hari sebelumnya. Berdasarkan itu, maka aparat keamanan bertanggungjawab mengamankan aksi tersebut, jika demo itu anarkis maka tugas dan tanggungjawab aparat kepolisian untuk membubarkan. "Jadi, makarnya dari mana?," ujarnya.
Iwan menilai tendensi politisnya sangat kuat sekali karena ada peristiwa yang terjadi di parlemen Inggris dan adanya reaksi dari Jakarta terhadap pertemuan itu, membuat ketakutan yang berlebihan atau paranoid.
" Ini menjadikan semacam paranoid. Setiap ada aksi apapun, terkadang kita bersikap sangat berlebihan dalam menyikapi. Ini kan wajar, aparat keamanan dalam menyikapi ini, bukan over acting tetapi menjadi paranoid," katanya.,
Ia juga menilai dilihat dari aksi unjuk rasa di Waena 16 Oktober lalu, seluruh kekuatan angkatan bersenjata turun melakukan pengamanan sangat berlebihan, termasuk demo kedua dimana seluruh kekuatan turun dan melakukan tindakan refresif. (bat)

Tidak ada komentar: