Selasa, 21 Oktober 2008

Kapan Papua Membangun?

Ditulis Oleh: Yorrys Th Raweyai
Rabu, 22 Oktober 2008

http://papuapos.com
Yorrys Th Raweyai
Rakyat Aceh patut berbahagia dengan apa yang terjadi dalam setahun terakhir ini, utamanya menyangkut resolusi damai dan politik ketatanegaraan terkait kasus Aceh. Khususnya dalam hubungan propinsi tersebut dengan Jakarta.

TEPAT satu tahun yang lalu, satu terobosan bernama Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dan GAM ditandatangani di Helsinki setelah sebelumnya dilakukan 5 kali perundingan informal.

Bagai lokomotif kereta api, MoU mampu menarik rangkaian gerbong perubahan yang manfaatnya segera dapat dirasakan oleh warga Aceh, yakni penghentian kekerasan, penyerahan senjata GAM dan penarikan pasukan TNI/Polri non-organik dari Aceh, amnesti dan kompensasi untuk mantan anggota GAM, dan terakhir pengesahan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UU PA) yang akan menjadi pengawal proses lebih lanjut.

Ratusan ribu warga yang memadati halaman Masjid Baiturrahman Banda Aceh memperingati setahun MoU beberapa waktu lalu mengekspresikan kebahagiaan yang juga ikut kita rasakan.

Meskipun masih terdapat kekurangan di sana-sini, namun situasi Aceh berangsur membaik tahap demi tahap. Akhir tahun ini provinsi ini akan menggelar pilkada-hampir bersamaan untuk propinsi dan kabupaten-kabupaten-yang akan menjadi momentum politik terpenting bagi Aceh di masa depan. Eksponen GAM kemungkinan akan mengikuti momentum tersebut, dan hal ini akan menjadi batu ujian bagi resolusi damai di Aceh.

Dengan semua prestasi membanggakan ini, tidak salah sebutan beberapa kalangan setahun lalu bahwa MoU Helsinki telah menjadi kado bagi untuk ulang tahun Indonesia yang ke-60 (tahun 2005). Dan jika kita mengikuti perkembangan Aceh selama setahun ini, tidak salah pula menyebut bahwa hingga peringatan proklamasi kemerdekaan RI yang ke-61 di tahun 2006 ini, kado masih berasal dari Aceh.

Ingatan kita melayang ke belahan NKRI yang paling timur, wilayah penerima otonomi khusus yang lain, yakni Papua. Sama dengan Aceh, wilayah inipun memiliki masa lalu yang kelam.

Namun berbeda dari Aceh yang telah menunjukkan perubahan yang signifikan, proses penataan Papua nampaknya lebih banyak jalan di tempat. Hubungan Jakarta dan Papua masih didominasi oleh mis-interpretasi dan distrust yang sangat mengganggu pemulihan dan pembangunan Papua.

Saat disahkannya UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua pada tanggal 21 November 2001, masyarakat Papua menyambut masa depannya dengan suka cita. Namun dalam perjalanannya, bayangan indah itu seolah sirna secara perlahan. Otonomi khusus dijalankan setengah hati sehingga menafikan kaidah lex-specialis yang mendasarinya.

Hal ini masih diperparah oleh minimnya dialog antara Jakarta dan Papua. Masing-masing berdiri pada posisinya sendiri dengan persepsinya sendiri-sendiri. Jakarta dan Papua ibarat dua kelompok manusia yang sibuk bermonolog dan saling mencurigai niat satu sama lain.

Moratorium Politik Papua

Kentalnya nuansa politik adalah salah satu penghalang utama dari pelaksanaan Otsus dan pembangunan kembali Papua. Nuansa politik ini berkembang di kedua pihak, Jakarta dan Papua, bahkan menjangkiti seluruh stake holder.

Pemerintah pusat misalnya masih menyimpan ketakutan tentang bahaya separatisme Papua dan sangat sering terjebak dalam ketakutannya sendiri.

Di sisi lain berbagai kalangan pemimpin Papua, termasuk DPRP dan MRP, terlalu sering menggunakan kaca mata politik mencurigai setiap langkah pemerintah pusat. Kondisi ini- lah sesungguhnya yang membuat kemacetan pelaksanaan Otsus selama ini.

Nuansa politik yang terlalu kental juga menyebabkan minimnya produk Perdasi/Perdasus. Padahal Perdasi/ Perdasus adalah instrumen yang seharusnya menjabarkan implementasi UU Otsus.

Akibatnya pemerintah daerah tidak memiliki aturan yang memadai dalam melaksanakan pembangunan dalam kerangka UU Otonomi khusus. Pemerintah daerah merasa tidak memiliki panduan yang cukup sekaligus standar evaluasi pelaksanaan pembangunan. Tidak mengherankan apabila kebocoran dana Otsus diperkirakan sangat besar. Faktanya, sejak pelaksanaan UU Otsus kesejahteraan masyarakat Papua tidak mengalami peningkatan berarti.

Dari sinilah pentingnya semua pihak menurunkan tensi politik dalam setiap langkahnya. Moratorium politik dibutuhkan agar setiap pihak dapat mengurus tugasnya masing-masing secara benar dan bertanggungjawab.

Depdagri dapat mengelola urusan nasionalnya, Pemda Papua dapat berkonsentrasi mengelola pembangunan yang bisa menyentuh rakyat, DPRP dapat memfokuskan diri pada pembuatan rancangan Perdasi dan Perdasus, sekaligus mengawasi kinerja Pemda, MRP segera meningkatkan kinerjanya dalam meng- kaji dan menyetujui Perdasi dan Perdasus.

Adalah sangat ironis kita menyaksikan move politik demikian gencar dilakukan, sementara sektor-sektor pembangunan terbengkalai. Dana Otsus senilai 12 triliun rupiah yang dibagi-bagi kepada pemerintahan provinsi dan kabupaten tanpa mempertimbangkan urgensi pembangunan, dan lebih didominasi oleh biaya birokrasi dan aparatur pemerintah.

Di masa depan seluruh stakeholder Papua harus dapat memastikan bahwa sebagian besar dana Otsus dapat menyentuh langsung kepentingan rakyat Papua.

Pandangan

Terhadap hal ini, penting dikutip di sini pandangan Gubernur Papua Barnabas Suebu yang kurang lebih terdiri dari dua hal. Pertama, yang lebih dibutuhkan di Papua saat ini adalah sebuah audit atau evaluasi menyeluruh atas penyelengggaraan Otonomi Khusus di Papua selama ini.

Audit ini tentunya bukan hanya ditujukan kepada pejabat dan birokrat di Papua, tetapi juga di Jakarta (Departemen Dalam Negeri). Melalui audit inilah kita bisa mengetahui sejauhmana capaian Otsus selama ini dan dimana letak penyimpangannya.

Kedua, seluruh stake holder menyangkut masalah Papua harus bersedia duduk bersama baik dalam kerangka evaluasi Otsus maupun revisi Otsus (seandainya diperlukan). Stake holder ini adalah: pemerintah pusat (Depdagri), DPR, DPD, Pemda Papua, Pemda Irjabar, DPRP, DPRD Irjabar, MRP, DAP, representasi pemimpin agama, LSM, dan unsur perguruan tinggi di Papua. Kesediaan untuk duduk bersama akan menguji sejauhmana seluruh stake holder dapat membangun trust dan kebersamaan.

Pandangan Barnabas untuk melibatkan banyak pihak dalam membicarakan masalah Papua sudah selayaknya diperhatikan karena ketidakpercayaan sudah mulai menyebar, bukan saja antara masyarakat Papua dengan pemerintah Pusat, tetapi juga antara masyarakat Papua sendiri.

Dengan melibatkan seluruh stake holder Papua, rasa keprihatinan atas kondisi masyarakat Papua dapat dibangkitkan. Pada saat itu pembangunan yang sesungguhnya dimulai.(disadur dari Suara Pembaharuan)

Tidak ada komentar: