Senin, 29 Desember 2008

Dalam Kubangan Krisis Identitas

Agus Sudibyo

Runtuhnya rezim komunis tahun 1989 membawa kawasan Eropa Timur pada
situasi "krisis identitas".

Ketika komunisme tak lagi membangkitkan rasa segan, bangsa-bangsa
bekas Uni Soviet dan Blok Timur menggali kembali identitas lamanya
berdasar sensibilitas etnis, religius, dan nasionalisme.

Krisis menyadarkan, identitas nasional bukan sesuatu yang final dan
tak dapat dipertanyakan. Meminjam perspektif non-essentialist dalam
studi tentang identitas, identitas nasional bersifat relasional,
kontekstual, terbentuk melalui aneka perubahan sosial. Identitas bukan
sesuatu yang kodrati, tetapi hasil konstruksi sosial (Woodward, 2002).
Dalam terminologi Ben Anderson, identitas nasional adalah cultural
artefacts of a particular being.

Senjang dan tidak adil

Tanpa terkecuali di sini adalah identitas nasional Indonesia. Jatuhnya
rezim Orde Baru membuka lembaran sejarah baru di mana identitas
nasional terkoyak-koyak oleh konflik etnis, agama, dan nasionalisme.
Indonesia menanggung beban tak kalah berat dibanding Uni Soviet atau
Yugoslavia dalam menghadapi krisis identitas kebangsaan.

Letupan kekerasan yang masih terjadi di Poso, aksi teror atas etnis
Tionghoa, dan ketegangan seputar isu pemekaran dan otonomi khusus
Papua memberi sinyal, krisis tak akan berakhir dalam waktu dekat.
Jelas ini bukan kabar gembira bagi mereka yang meyakini NKRI sebagai
formulasi final bagi komunitas dari Sabang sampai Merauke. Namun,
letupan-letupan kekerasan itu amat berguna untuk mengingatkan, memang
ada yang salah dengan nasionalisme kita.

Apa yang salah? Tak mudah menjawabnya. Teori Ben Anderson tentang
"komunitas-komunitas terbayang" mungkin sedikit membantu. Menurut
Anderson, bangsa dan kebangsaan sebenarnya bukan sebuah kolektivitas
politik, tetapi "khayalan" tentang kolektivitas politik. Disebut
khayalan karena sebagai bangsa, kita tidak pernah saling mengenal satu
sama lain. Pada benak tiap anggota bangsa, hidup bayangan tentang
kebersamaan dan kesetiakawanan, tanpa peduli ketidakadilan,
ketimpangan, pengisapan terus terjadi dalam kerangka kebangsaan
(Imagined Communities, Insist Press, 2001).

Kesalahan kita mungkin tidak pernah membuktikan kesalahan teori
"komunitas-komunitas terbayang". Sebaliknya, relatif mudah
memverifikasi teori ini berdasar kondisi faktual. Sinisme terhadap
nasionalisme Indonesia tak akan reda sejauh kesuksesan demi
kesuksesan, kegagalan demi kegagalan, beban demi beban, dan peluang
demi peluang sebagai bangsa belum terdistribusi dengan adil. Faktanya,
hari ini peradaban modern mudah ditemukan di sudut-sudut Jawa,
sementara banyak saudara di pelosok Papua dan Kalimantan, yang
kekayaan alamnya terus dieksploitasi "orang Jawa", masih hidup dari
meramu dan berburu.

Sebagian besar orang Papua belum pernah ke Jawa, juga sebaliknya.
Lebih dari itu, kita cenderung mempersepsi Papua sebagai sesuatu yang
berjarak, yang ada di luar kosmologi kita. Apa yang ada di benak kita
tentang Papua kurang lebih gambaran budaya yang eksotik dan
pra-modern. "Orientalisme" dalam persepsi ini membuat kita kurang
sensitif terhadap perilaku-perilaku yang tanpa disadari diskriminatif
terhadap bangsa Papua.

"Orientalisme" ini paralel dengan prasangka rasial tentang etnis
Tionghoa. Kekerasan dan teror atas etnis Tionghoa hampir selalu
terlambat diantisipasi karena kita belum benar-benar menghampiri
mereka dalam kerangka "kekitaan". Ketika satu kelompok masih
dikonstruksi sebagai "mereka" (the others), maka solidaritas, rasa
kebersamaan sulit dibangkitkan. Sebagian dari kita masih membayangkan
diri sebagai pribumi saat berhadapan dengan etnis Tionghoa, meski
tidak jelas apa beda pribumi dan nonpribumi selain warna kulit dan
bentuk mata. Seperti kata Woodward, identitas membuat kita lebih
selidik atas berbagai perbedaan daripada kesamaan- kesamaan yang ada.

Politik identitas

Dalam konteks Papua diperlukan politik identitas yang mempertimbangkan
faktor geo-politis dan geo-ekonomis. Amat tidak memadai jika politik
identitas hanya diterjemahkan dengan kehadiran presiden dalam perayaan
Natal bersama rakyat Papua, atau keputusan membuat Majelis Rakyat
Papua. Wacana pengembalian otonomi khusus muncul karena persepsi,
pemerintah tidak membuat terobosan berarti guna mengurai ketidakadilan
yang dirasakan rakyat Papua.

Rakyat Papua kian imun terhadap bujuk-rayu, janji pembangunan dan
pemerataan. Mereka takkan berhenti menuntut bukti bahwa nasionalisme
Indonesia benar-benar membuat mereka senasib dan sejajar bangsa-bangsa
di Nusantara. Bukan "nasionalisme jang menjerang-jerang, jang mengejar
kepentingannya sendiri, dan nasionalisme perdagangan jang untung atau
rugi," seperti dijanjikan Soekarno.

Namun, sejauh ini belum ada gelagat pemerintah memikirkan politik
identitas. Politik identitas atau strategi kebudayaan mungkin dilihat
sebagai kerja jangka panjang yang berbelit-belit dan tidak praktis
karena pemerintah terbiasa mendekati masalah secara pragmatis:
militeristik berbasis kekerasan.

Pendekatan yang tidak pernah menurunkan tensi kebencian dan antipati.
Hasil polling Lingkaran Survei Indonesia menunjukkan, hanya 45 persen
orang Aceh yang merasa sebagai orang Indonesia. Jika pendekatan
kekerasan tetap ditonjolkan, fakta serupa mungkin juga terjadi pada
orang Papua, Tionghoa, dan lain-lain.

Agus Sudibyo Deputi Direktur Yayasan SET Jakarta

Yakin, Otsus Sejahterakan Rakyat



*Kalla: Tangguh Bintuni Jadi Pusat Industri Petrokimia
SORONG- Meski pemberlakuan Otonomi khusus (Otsus), dinilai sebagian orang belum memberikan manfaat berarti bagi kesejahteraan rakyat Papua, namun Wakil Presiden Jusuf Kalla, yakin kalau Otsus akan mensejahterakan rakyat Papua.
Hal itu antara lain diungkapkan dalam sambutannya pada acara Temu Alumni dan Seminar Nasional Meretas Jalan Otonomi Khusus Menuju Papua Damai dan Sejahtera yang digelar oleh IKAMAPA (Ikatan Alumni Makassar Asal Papua).di Sorong kemarin.
Seperti diketahui dengan menggunakan pesawat khusus Senin (29/12) kemarin sekitar pukul 14.00 WIT Wakil Presiden HM Jusuf Kalla beserta rombongan tiba di Bandara Domine Eduard Osok (DEO) Sorong. Turut dalam rombongan wapres yaitu Ny. Mufidah Jusuf Kalla, Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numbery, Menteri Pekerjaan Umum Ir Joko Kirmanto Dipl HE, Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, istri Mendagri Evi Mardianto, Istri Menteri Pertanian Rossy Apriantono.
Wapres megakui jika pemerintah telah mengalokasikan dana terbesar untuk Papua dan Papua Baru. Dikatakan, ada hal-hal pokok dalam pelaksanaan Otsus di Papua dan Papua Barat, yaitu pemerintahan dan aspek ekonomi. Semuanya ini menuju kesejahteraan. Dalam hal pemerintahan, bagaimana kuatnya otonomi itu yang paling besar adalah otonomi khusus. Ini yang membedakan otonomi di sini dengan tempat lain.
Sedangkan aspek ekonomi, kalau dihitung-hitung anggaran tertinggi adalah untuk di Papua, dimana tahun 2007 dana Otsus Rp 29 triliun, padahal penduduknya hanya 2,9 juta. Artinya dari bayi sampai orang tua dapat Rp 10 juta/tahun.
"Kalau itu dibagi-bagikan semua, maka tidak ada kelaparan, tapi kita tidak bikin jalan, pelabuhan. Makassar saja Rp 2 juta/orang/tahun, Jawa Rp 1,5 juta/orang/tahun. Sekarang kenapa belum cukup? Karena Papua wilayahnya luas, maka kita harus sama-sama menggunakan kemampuan yang ada itu untuk kesejahteraan rakyat,"tandasnya.
Kata Wapres kemakmuran itu hasil daripada nilai tambah. Kalau kita ingin berhasil, kita sama-sama mengajak masyarakat memberikan nilai tambah, karena kalau tidak ada nilai tambah, maka kesejahteraannya konstan. Karena apapun hak yang diberikan Otsus atau apapun kalau tidak ada nilai tambah, maka perubahan yang lebih baik akan lama. Kenapa infrastruktur di kawasan timur ini lambat, karena saat itu pemikirannya kalau dibangun jalan siapa yang akan lewat. Sekarang pemikirannya harus dibalik yaitu kalau tidak dibangun bagaimana saya lewat.
Tapi ia minta jangan Otsus yang hanya bicara hak bukan kewajiban. Jangan karena tidak jadi bupati lalu bikin kabupaten baru. Kalau kita bicara kewajiban dulu, maka apa yang kita cita-citakan yaitu Papua yang maju tentu dapat kita capai. Kalau Otsus ini dilaksanakan secara konsisten akan mensejahterakan rakyat.
"Kami mengucapkan terima kasih kepada rakyat Papua yang menerima orang dari mana saja untuk mencari rejeki dan turut membangun di sini. Kultur masyarakat Papua adalah kultur yang paling sportif di dunia. Kalau diterapkan di sistem ekonomi maka tidak ada monopoli, karena ada aturan yang berjalan. Spirit sportivitas kalau dikombinasikan dengan nilai tambah dan ilmu pengetahuan untuk membangun daerah ini, sehingga apa yang dicita-citakan bersama ini dapat tercapai,"ujarnya.
Setelah menghadiri kegiatan Temu Alumni IKAMAPA, malam harinya sekitar pukul 20.00 WIT Wapres hadir dalam acara Resepsi Natal Kenegaraan Wakil Presiden Bersama Masyarakat Kabupaten Sorong di Gedung DPRD Kabupaten Sorong, Km 18.
Tangguh Pusat Industri Petrokimia
Pemerintah memproyeksikan Kabupaten Teluk Bintuni di Papua Barat menjadi pusat industri petrokimia. Rencana tersebut berkaitan dengan mulai berproduksinya proyek gas alam cair Tangguh di Kabupaten Teluk Bintuni.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, dirinya mendapat tugas khusus dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono guna menilai potensi mendirikan industri petrokimia di Tangguh. Selain memaksimalkan potensi gas, industri tersebut juga digunakan untuk mengantisipasi penurunan harga minyak internasional.
''Kita mencari nilai tambah dari gas di Tangguh. Kalau hanya jualan gas, ketika harga minyak turun, pendapatan (bagi hasil migas) pemerintah ikut turun,'' ujar Kalla ketika menjadi pembicara kunci di seminar tentang otonomi khusus Papua di Sorong, Papua Barat, kemarin (29/12).
Wakil Presiden Jusuf Kalla hari ini memang dijadwalkan berkunjung ke Teluk Bintuni untuk melepas kargo ekspor perdana gas alam cair Tangguh. Kalla juga dijadwalkan meresmikan pengeboran perdana lapangan minyak hasil kerja sama operasi Pertamina dan Petrochina di Kabupaten Sorong.
Proyek gas alam cair Tangguh adalah megaproyek yang dikerjakan konsorsium yang dipimpin perusahaan migas Inggris BP Plc. Dengan pengapalan perdana kargo gas hari ini, proyek senilai USD 5 miliar itu bisa memenuhi komitmen pengapalan gas kepada semua pembeli.
Sesuai kontrak, pembeli LNG dari Tangguh adalah CNOOC untuk pengiriman ke terminal Fujian sebesar 2,6 metrik ton per tahun. Pembeli lain adalah Sempra Energy LNG Corporation untuk pengiriman ke receiving terminal di Costa Azul, Mexico, seberat 3,7 metrik ton per tahun. Gas yang dikirim ke Sempra dipasarkan di Amerika Serikat dan Meksiko.
Gas alam dari Tangguh juga dikirimkan ke POSCO, K-Power, dan SK Corporation dari Korea Selatan. Pembeli yang juga telah antre adalah Tohoku Electric dari Jepang. Proyek LNG Tangguh akan mengolah gas yang berasal dari tiga ladang gas di Papua Barat. Yaitu, blok Berau, blok Muturi, dan blok Wiriagar.
Cadangan gas terbukti dari ketiga ladang itu adalah 14,4 triliun kaki kubik. Untuk tahap awal, Tangguh direncanakan memproduksi 7,6 metrik ton LNG per tahun dari dua unit pemurnian dan pencairan gas (train). Dengan beroperasinya lapangan gas Tangguh dan Petrochina, ujar Kalla, dana bagi hasil yang diperoleh rakyat Papua Barat dipastikan meningkat.
Sebab, sesuai UU Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat, provinsi berhak mendapatkan 70 persen alokasi dana bagi hasil yang diterima pemerintah. ''Apalagi, dana bagi hasil migas untuk Papua dan Papua Barat sangat besar. Jauh lebih besar dibandingkan dengan provinsi lain yang hanya memperoleh 15 persen dari dana bagi hasil migas yang diterima pemerintah," katanya.
Kalla yakin, tambahan dana bagi hasil migas tersebut akan mempercepat pembangunan di Papua dan Papua Barat yang infrastrukturnya sangat tertinggal dibandingkan dengan provinsi lain. Namun, sebelum dana bagi hasil tersebut terealisasi, Wapres meminta pemerintah provinsi dan DPR Papua mengoptimalkan pemanfaatan dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana otonomi khusus yang tahun ini mencapai Rp 29 triliun.
Bila dihitung dari sisi keuangan, alokasi anggaran pemerintah dibagi jumlah penduduk di Papua dan Papua Barat jauh melebihi provinsi lain. Dengan jumlah penduduk hanya 2,9 juta jiwa, setiap kepala di kedua provinsi mendapatkan alokasi dana Rp 10 juta per orang per tahun. ''Kalau dibagikan, per keluarga bisa mendapat Rp 40 juta per tahun. Bandingkan dengan Sulawesi Selatan yang hanya Rp 2 juta per kepala, atau Jawa Barat yang hanya Rp 1,5 juta per kepala,'' kata dia.
Karena itu, Wapres meminta pemerintah dan DPRD tidak hanya menuntut hak dan melupakan kewajiban otonomi khusus. Kedua lembaga diminta saling mendukung, sekaligus saling mengkritik kebijakan yang salah secara konstruktif. ''Kalau bupati terlalu lama di Jakarta, DPRD harus mengkritik. Sebaliknya, kalau DPRD terlalu rajin studi banding, bupati juga harus teriak. Semua pihak harus bekerja sebaik mungkin untuk rakyat,'' tegasnya.
Kalla juga membantah bahwa pemerintah pusat tidak adil. Sebab, dana yang ditransfer ke kedua provinsi jauh lebih besar dibandingkan dengan dana yang diterima dari royalti PT Freeport, yakni Rp 17 triliun per tahun. ''Mengapa manfaatnya belum terlihat? Itu terjadi karena wilayah Papua sangat luas dan penduduknya terpencar sehingga susah membangun infrastruktur. Lagi pula, biaya pembangunan infrastruktur di Papua dua hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan Jawa,'' terangnya.
Meski demikian, Kalla mengakui bahwa pemerintah terlambat membangun infrastruktur di Papua dan Papua Barat. Ketika itu, pemerintah berpikir tidak efisien membangun infrastruktur bila hanya melayani penduduk yang sedikit dan tersebar. Namun, pemerintah kini membalik paradigma tersebut. ''Kalau infrastruktur tidak dibangun, mereka mau lewat mana,'' jelasnya. (akh/jpnn)

Sekjen DPP - Ketua DAP Diperiksa Polda Papua

Ditulis Oleh: Islami/Papos
Senin, 22 Desember 2008

http://papuapos.comJAYAPURA (PAPOS)- Setelah Bucktar Tabuni dan Sebi Sembom, giliran Sekjen Dewan Presedium Papua (DPP) Taha AL-Hamid dan Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yaboisembut, diperiksa Polda Papua.

Pemeriksaan terhadap Taha dan Forkorus baru sebatas saksi terkait aksi demo pendukung International Parlement for West Papua (IPWP), pada 16 Oktober lalu di depan Uncen dan Eks Expo Waena.

Didampingi 31 pengacara yang tergabung dalam Persatuan Advokasi seluruh Indonesia (Peradi) di Papua, Taha Al-Hamid dan Forkorus Yaboisembut mendatangi Mapolda Papua untuk menjalani pemeriksaan.

Salah satu kuasa hukum Iwan Niode SH mengatakan, surat panggilan kepada Ketua DAP Forkorus Yaboisembut dilayangkan Minggu (21/12) sore, dan kepada Sekjen Dewan Presedium Papua Taha Al-Hamid Sabtu (20/12) kemarin.

“Hari ini (kemarin-red), Pak Taha dan Pak dipanggil Polda Papua untuk diperiksa sebagai saksi, sehubungan dengan aksi 16 Oktober 2008 lalu, hari ini kami seluruh advokasi bersama keduanya datang ke Polda untuk memenuhi panggilan itu,” ujarnya kepada wartawan disela-sela pemeriksaan di Mapolda Papua.

Menurut Iwan, kehadiran 31 orang advokat bukan hanya untuk mendukung keduanya, tetapi memberi dukungan juga kepada kedua tersangka lain yang telah terlebih dahulu ditangkap yaitu Bucktar Tabuni dan Sebi Sembom.

Kedepannya diperkirakan akan ada sekitar 70 orang advokat yang akan bergambung mendukung serta mendampingi kedua tersangka Bucktar dan Sebi, bukan hanya ditingkat Polisi melainkan hingga ke Pengadilan Negeri Jayapura, bahkan hingga tingkat kasasi.

“Seluruh advokat yang berpartisipasi dalam kasus ini, akan mendampingi Forkorus dan Taha serta kedua tersangka hingga ketingkat kasasi,” terang Iwan.

POLDA PAPUA AKAN DIGUGAT

Disisi lain kuasa hukum lainya, Paskalis Letsoin SH menyebutkan, berdasarkan kesepakatan bersama, pihaknya akan mempraperadilankan Polda Papua, karena dinilai terlalu arogatif terhadap berbagai pemeriksaan yang dilakukan selama ini.

“Jika ada hal-hal yang merugikan klien kami, maka Polda Papua akan siap dipraperadilankan atau digugat sambil melihat proses pemeriksaan yang berlangsung,” papar Paskalis.

Hari Maturbongs SH menambahkan, selaku pengacara kedua tersangka Bucktar Tabuni dan Sebi Sembom, pihaknya meminta kepada Polda Papua, agar pemeriksaan dipending untuk sementara, menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru.

“Kami harap tidak akan ada lagi penangkapan terhadap orang-orang yang dinilai melakukan tindakan makar. Sedangkan menjelang Natal dan tahun baru ini, diharapkan pemeriksaan kedua tersangka dipending, karena mereka ingin merayakan Natal,” tegasnya Maturbongs.

HADIAH NATAL

Dalam kesempatan itu juga, Ketua DAP Forkorus Yaboisembut mengungkapkan bahwa pemeriksaan dan ditangkapnya Bucktar dan Sebi oleh Polda Papua, merupakan hadiah Natal yang diberikan Polda.

“Kami tidak akan lari karena ini tanah kami, makanya kami minta agar pemeriksaan dipending hingga tahun baru nanti,” ujarnya.(islami)

Senin, 15 Desember 2008

2009, Papua Bebas Biaya Pendidikan

Khusus Untuk Pendidikan Dasar SD dan SMP

JAYAPURA - Memasuki tahun 2009 mendatang, sepertinya bakal menjadi tahun yang istimewa bagi masyarakat di Papua. Bagaimana tidak, mulai awal tahun 2009 mendatang Pemprov Papua mengeluarkan kebijakan untuk membebaskan masyarakat di Papua dari biaya pendidikan. Wakil Gubernur Alex Hesegem, SE kepada Cenderawsih Pos Senin kemarin mengungkapkan hal itu. "Iya mulai Januari tahun anggaran 2009 nanti, kita akan membebaskan orang - orang asli Papua yang miskin dari semua beban dan ongkos - ongkos pelayanan pendidikan," akunya.
Dikatakan, biaya pendidikan yang dibebaskan itu sementara ini masih difokuskan pada jenjang pendidikan dasar yakni SD dan SMP. Artinya siswa SD dan SMP ini tidka dipungut biaya sepeserpun selama duduk di jenjang pendidikan itu. Bahkan seragam hingga buku - bukunya semua dibiayai oleh pemerintah.
Hanya saja, kata Wagub pembebasan biaya pendidikan itu diutamakan pada orang asli Papua dan non Papua yang miskin di seluruh Provinsi Papua.
" Jadi bukan hanya pada orang asli Papua program ini diberlakukan tetapi juga pada anak anak non Papua dari
Keluarga miskin atau kurang mampu juga dibebaskan dari biaya pendidikan dasar ini," ujarnya.
Wagub menegaskan bahwa program ini sudah pasti akan dilekasanakan sebab sudah disampaikan di depan sidang paripurna dewan dan Pemprov juga sekarang ini sedang menghitung besaran anggaran yang disediakan untuk program ini. "Ini benar - benar akan direalisasi dalam awal tahun 2009 nanti, karena sudah diumumkan dalam sidang resmi," katanya.
Hanya saja, berapa alokasi atau bagaimana mekanisme pembagiannya dan berapa besar atau jumlah alokasi anggarannya masih akan diatur lagi dalam suatu petunjuk pelaksaanaan yang sedang disusun dan dibahas. "Tetapi yang pasti, bulan Januari ini program ini sudah harus diberlakukan karena peraturannya sudah disiapkan dalam masa sidang ini," terangnya.
Sementara ini menurut Wagub Hesegem, anggarannya akan disiapkan oleh Pemprov Papua melalui Dinas Pendidikan dan Pengajaran (P dan P). Selain itu, bagi semua kabupaten dan kota juga diwajibkan harus menyediakan anggaran secukupnya untuk mendukung dan menanggulangi Program ini melalui APBD-nya masing-masing.
"Ini adalah program besar yang membutuhkan keseriusan dan kesungguhan dalam pengelolaannya, yang ingin kita perbaiki dan tingkatkan secara signifikan adalah pelayanan pendidikan dasar bagi masyarakat miskin kita yang jumlahnya cukup besar itu," katanya.. Masyarakat miskin itu hampir sleuruhnya adalah orang asli Papua yang bermukim di kampung - kampung terpencil, rawa - rawa, gunung - gunung , lembah, pesisir dan pulau - pulau terpencil.
Di satu sisi kata Wagub Hesegem, pembebasan biaya pendidikan dasar ini harus dibarengi dengan memastikan bahwa guru - guru yang ada juga harus memadai dan benar - benar bertugas di tempatnya. "Disinilah pentingnya peranan pemerintah kabupaten dan kota untuk memastikan bahwa pelayanan ini benar - benar terwujud," tandasnya.
Ditanya bagaimana dengan biaya pendidikan SMA, Wagub Hesegem mengatakan, sementara ini berjenjang, jika nanti program untuk pendidikan dasar ini berjalan baik dan PAD Provinsi Papua terus meningkat, maka kedepannya akan Pemprov Papua akan mengupayakan pembebesan biaya pendidikan untuk SMU bahkan Perguruan Tinggi.(ta)

Rabu, 10 Desember 2008

PBHI dan Front PEPERA Papua Barat Deklarasikan “Tanah Papua Zona Darurat

PBHI dan Front PEPERA Papua Barat  Deklarasikan “Tanah Papu Zona Darurat

PBHI dan Front PEPERA Papua Barat Deklarasikan “Tanah Papu Zona Darurat

Jakarat -PBHI desk Papua dan Front PEPERA Papua Barat menyerukan mulai 6 Desember 2008, Tanah Papua dalam kondisi darurat. Mereka mendesak pemerintah SBY-JK selesaikan masalah Papua secara Konprehensif, demokratis dan bermartabat.

“PBHI desk Papua dan Front PEPERA PB merasa situasi telah mengancam hak hidup orang Papua, oleh karenanya perlu dilakukan sebuah Deklarasi Kemanusia. Solidaritas tanpa batas diperlukan bagi penyelamatan dan tuntutan hak hidup Rakyat Papua,” ujar juru bicara KANRPB, Viktor Kagoya kepada Opiniindonesia.com usai koprensi pers di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Sabtu (6/12).

Menurut Viktor, para pemuda dan mahasiswa Papua yang berada di Jakarta, Bali, dan Jawa serta PBHI desk Papua menuntut pemerintah SBY-JK untuk meninjau kembali pelaksanaan Papera tahun 1969, karena dianggap cacat hukum, tidak demokratis dan melanggar HAM.

“Kami menuntut pemerintah SBY-JK untuk melakukan peninjauan ulang atas Papera tahun 1969, karena tidak diikuti oleh seluruh rakyat Papua Barat,” ujar Viktor.

Menurut aktifis mahasiswa Papua ini, Papera yang waktu itu diadakan hanya melibatkan sedikit perwakilan rakyat Papua, tidak melibatkan seluruh rakyat. Akibat tidak tuntasnya Papera waktu itu, menurut dia, rakyat Papua mengalami ketidakadilan yang terus-menerus hingga sekarang. (yn)

Mahasiswa dan Pemuda Papua Merasa Terancam

Mahasiswa dan Pemuda Papua Merasa Terancam

Mahasiswa dan Pemuda Papua Merasa Terancam

Jakarta - Para mahasiswa Papua yang sedang menimba ilmu di Bali, Jawa, Jakarta, dan Bandung merasakan dirinya tidak aman. Setiap hari selalu ada tekanan dan intimidasi dilakukan oleh pihak aparat keamanan terhadap para mahasiswa dan pemuda Papua..

Peristiwa penangkapan salah seorang aktifis di Papua, Otinus Tabuni 9 Agustus, disusul kemudian panangkapan terhadap 16 aktivis mahasiswa dan pemuda Papua di Jayapura pada 20 Oktober 2008. Kasus terakhir, penangkapan Buktar Tabuni oleh aparat Polda Papua, 1 Desember.

“Semua tindakan itu menunjukan pola kekerasan masih dilakukan dalam mengakhiri konflik vertical antara rakyat Papua versus pemerintah Ri,” ujar Juru Bicara KANRPB. Wens Deowai kepada Opiniindonesia.com usai konprensi pers dan deklrasi “Tanah Papua: Zona Darurat” di TIM Jakarta, Sabtu (6/12).

Menurut pengakuan mahsiswa Papua yang kuliah di Universitas Udayana ini, kasus-kasus kekerasan yang dilakukan aparta kemanan terhadap mahasiswa dan pemuda Papua, menunjukan represi dan intimidasi serta terror terus berlangsung, terutama pasca deklarasi Internasional Parliamentarians for West Papua di London Inggris.

“Pola lama model Orde Baru diperlihatkan kembali oleh regime SBY-JK untuk mengamankan posisi politik mereka sambil mengorbankan rakyat Papua Barat,” tandas Wens Deowai.

Tindakan represi dan intimidasi dirasakan oleh para pemuda dan mahasiswa, baik yang ada di Papua maupun di Jawa dan Bali. Intimidasi dilakukan oleh pihak-pihak aparat keamanan, setelah para pemuda dan mahasisa Papua melakukan aksi pada 15 – 17 OKtober 2008 lalu. “Perlakuan intimidasi, represif dan terur kami rasakan di setiap kota tempat kami kuliah,” ujar Wens Edowai.

“Kami juga merasakan tindakan refresir terjadi pada teman-teman di Bandung, mahasiswa asal papua selalu diawasi dan diikuti oleh aparat keamanan,” ujar Heni Lani, mahasiswa yang kuliah di Bandung.

“Pasca reformasi 1998 penguatan demokrasi tidak terjadi dengan sempurna sehingga Pemerintah RI kembali pada pola-pola fasisme negera seperti yang dilakukan para zaman Orde Baru,” tandas Wens Edowai. (yn)

Selasa, 09 Desember 2008

Tragedi Abe Berdarah Diperingati Dengan Orasi

JAYAPURA-Puluhan massa yang tergabung dalam Solidaritas untuk Korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), Minggu (7/12) memperingati Kasus Abepura berdarah yang terjadi 7 Desember 2000,

Peringatan yang berlangsung di lingkaran Abepura yang berlangsung dari pukul 16.00 hingga 18.15 WIT, diisi dengan orasi serta penyalaan obar yang dilakukan oleh 8 orang. Dalam orasi yang dilakukan secara bergantian, pada intinya mereka menyayangkan belum adanya keadilan terhadap para korban tragedi 8 tahun yang lalu.

Sementara itu pnanggungjawab kegiatan Penehas lokbere dalam orasinya menyatakan, dalam dalam putusan sidang di Makassar (8-9) 2005, majelis hakim mengabaikan hal-hal subtansial dalam upaya penegakan keadilan dan tidak mengakomodir hak-hak korban untuk mendapatkan keadilan.

Dalam kesempatan itu massa yang tergabung dalam Solidaritas Untuk Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) menyampaikan 4 poin pernyataan sikap yaitu pertama mendesak DPRP bersama Gubernur segera membuat Perdasus tentang hak reparasi dan perlindungan bagi korban pelanggaran HAM di Tanah Papua. Kedua segera membentuk pengadilan HAM di Papua.

Ketiga mendesak pemerintah pusat untuk memberikan kewenangan penuntutan kepada perwakilan Komnas HAM di Papua dan Keempat mendesak DPRP dan MRP untuk mendorong sebuah evaluasi resmi atas kebijakan keamanan di Papua, menolak pasukan organik dan non organik serta rasionalisasi jumlah Aparat organic (TNI/Polri) di tanah Papua.

Setelah membacakan pernyatakan sikapnya, sekitar pukul 18.15 WIT, massa meninggalkan lingkaran Abepura. (cr-153).

Sabtu, 06 Desember 2008

Waspadai Kepulangan ‘Eks Separatis’

Ditulis Oleh: Ant/Papos
Sabtu, 06 Desember 2008

http://papuapos.com
TIBA : Yunus Wanggai bersama Putrinya Anike Wanggai tiba di bandara Soekarno Hatta - Cengkareng, Sabtu (29/11) lalu
Jakarta (PAPOS)– Tiga aktivis mahasiswa dari Kelompok Cipayung, mengingatkan pemerintah mewaspadai gelombang kepulangan para eks separatis atau orang-orang yang pernah minta suaka politik di luar negeri, karena dikuatirkan jangan sampai kepulangan mereka merupakan bagian dari skenario asing untuk merusak kondisi di tanah air dari dalam.

Ketiga aktivis tersebut, masing-masing mantan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Kenly Poluan, mantan Sekjen Presidium Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Donny Lumingas, dan mantan Ketua Umum DPP Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Emmanuel Tular. Selain itu juga mereka, mengingatkan para pihak tertentu, agar jangan menjadikan para 'eks separatis' Papua sebagai alat untuk naik pangkat atau mendapatkan proyek tertentu.

"Dalam dua bulan terakhir, kami memonitor adanya pengumuman di berbagai media massa mengenai kembalinya warga Papua yang sempat 'lari' ke negara tetangga Papua New Guinea (PNG) atau yang sempat minta suaka politik ke Australia," ujar Kenly Poluan seperti dirilis dari Antara, tadi malam (Jumat 5/12).

Ia dan Donny Lumingas menyorot kritis kegiatan tersebut, karena ada indikasi, atau dugaan kuat, 'proyek' ini dulu sempat dijadikan alat untuk cari keuntungan pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab.

"Bagi kelompok tertentu, ini biasa dipakai untuk mendapat kenaikan pangkat, karena dianggap berhasil menjalankan operasi di wilayah perbatasan RI-PNG. Tetapi di pihak yang lain, ini proyek dengan nilai rupiah bahkan dolar menggiurkan. Itu indikasi kuat yang kami nilai," kata Donny Lumingas.

Sementara itu, Emmanuel Tular juga mengingatkan, agar kepulangan para 'eks separatis' atau mereka yang terlanjur minta suaka politik di luar negeri, harus ditangani lebih cermat, jangan sampai hal ini hanya akan dimanfaatkan pihak-pihak tertentu sesuai skenario dan agenda asing.

Ketiganya juga minta pemerintah bersama instansi berkompeten, agar tidak mudah percaya atas berbagai kejadian itu, tetapi tidak pula bersifat kaku untuk menerima kembali warga yang sungguh-sungguh mau bergabung dengan Republik Indonesia.(nas/ant)

BMP Kecam Pendiskreditkan NKRI

Ditulis Oleh: Lina/Papos
Sabtu, 06 Desember 2008

http://papuapos.com
Ramses Ohee
JAYAPURA (PAPOS) –BMP (Barisan Merah Putih), mengecam ulah pihak-pihak yang mengatasnamakan organisasi seperti DAP (Dewan Adat Papua), KNPB (Komite Nasional Papua Barat), ONPB (Ototitas Nasional Papua Barat) yang selama ini mendiskreditkan NKRI dan memprovokasi masyarakat.

“Kami minta tindakan sekelompok organisasi yang telah memprovokasi masyarakat agar segera dihentikan, karena itu adalah upaya untuk memisahkan Papua dari NKRI,” kata Ketua BMP Ramses Ohee kepada wartawan usai acara pembacaan pernyataan BMP kepada wartawan kediamannya, Jumat (5/12).

Sekelompok organisasi tersebut lanjut dia, telah memutarbalikan fakta dengan pernyataannya seakan pemerintah negara Vanuatu, Newzeland dan anggota parlemen dan lain-lain sebagainya mendukung untuk penentuan nasib bagi Papua Barat.

Menurutnya, pernyataan itu pernyataan yang menyesatkan karena sampai saat ini pemerintah Newzeland, tidak pernah mengeluarkan surat dukungan secara resmi kepada organisasi Papua Merdeka (OPM).

Bahkan pelaksanaan Pepera 1969 yang dinyatakan cacat, dan meminta PBB mengakui kemerdekaan Papua Barat pada tanggal 1 Desember 1961, oleh sekelompok organisasi tersebut juga merupakan pernyataan yang salah, karena pada tahun 1969 rakyat Papua telah memutuskan untuk bergabung dengan NKRI.

Ramses mengatakan, pernyataan bahwa Papua Barat merupakan tanah darurat adalah pembohongan publik yang cenderung tendensius, karena status tanah Papua berstatus tertib sipil dan situasi Papua hingga saat ini aman dan kondusif.

Untuk itu BMP sebagai barisan yang peduli terhadap tanah Papua dan juga NKRI meminta kepada TNI/Polri agar menindak tegas tokoh perorangan maupun kelompok yang selama ini telah mengeluarkan statement anti republik Indonesia, yang menyatakan suatu pernyataan pilitik dalam memisahkan diri dari NKRI.

“Aksi sekelompok massa yang berlangsung pada tanggal 1 Desember di makan Theys juga merupakan aksi Makkar,” terang Ranses lagi.

Dikatakan, BMP dalam situasi apa pun siap mempertahankan Papua agar tetap bersatu dengan NKRI, meski ada upaya sekelompok orang yang ingin memisahkan Papua dari NKRI.

“Silahkan jika ada organisasi-organisasi yang mau menentang NKRI, atau mau memisahkan Papua dari NKRI, kami BMP siap melawan mereka,” ucap Ramses Ohee.

Sebagai anak-anak Papua, BMP, kata Ramses telah bertemu sekelompok organisasi tersebut membicarakan tentang keinginan mereka memisahkan diri dari NKRI, namun mereka tetap pada pendapatnya yang menginginkan Papua tetap merdeka.(lina)

Bucthar Tetap Diperiksa

Ditulis Oleh: Islami/Papua Pos
Sabtu, 06 Desember 2008
JAYAPURA (PAPOS)- Ketua International Parlement for West Papua (IPWP) Dalam Negeri, Bucthar Tabuni yang diperiksa Jumat (5/12) kemarin, menolak saat diperiksa penyidik terkait kasus penghasutan massa pada demo di Expo Waena 16 Oktober lalu. Penyidik Direktorat Polda Papua telah menetapkan Bucthar sebagai tersangka dalam kasus tersebut. "Bucthar sudah diperiksa sebagai saksi dalam demo 16 Oktober lalu di Expo Waena dan sekarang sudah ditingkatkan statusnya sebagai tersangka. Sayangnya hingga saat ini belum mau diperiksa,"kata Kabid Humas Polda Papua Kombes Polisi Agus Rianto ketika ditemui wartawan di Mapolda Papua, kemarin.

Kombes Rianto menyampaikan, mau tidaknya atau bicaranya saat diperiksa penyidik telah menjadi hak Bucthar, hanya saja penyidik tetap membuat berita acara yang menerangkan bahwa Bucthar Tabuni tidak mau diperiksa penyidik Polda Papua terkait kasus penghasutan massa dalam demo 16 Oktober lalu.

Padahal masyarakat Papua meminta agar Polda Papua segera mengusut tuntas kasus di Papua."Katanya Polda suruh mengusut tuntas kasus di Papua, tapi Bucthar sendiri tidak mau diperiksa dan itu sudah menghambat tugas polisi dalam mengusut kasus,"terang Kabid Humas.

Walaupun demikian, jelas Agus, Polisi tetap menindaklanjuti kasus tersebut hingga tuntas dan apapun alasannya Polisi telah menyiapkan pasal 106 KUHP tentang penghasutan massa "Kita tetap akan mengusut tuntas kasus tersebut," ujarnya.(islami)

Pedagang Asli Papua Menanti Jawaban

Ditulis Oleh: Islami/Papos
Sabtu, 06 Desember 2008

JAYAPURA (PAPOS)- Mama-mama pedagang asli Papua, kini menanti jawaban soal kepastian mengenai tempat yang layak dan permanen untuk berjualan di tengah Kota Jayapura, namun hingga kini kepastian itu belum juga diberikan oleh pemerintah Kota Jayapura maupun Provinsi Papua.

Pemerintah dinilai tidak ada kebijakan nyata dan sistematis yang memihak, melindungi dan memberdayakan mama-mama pedagang asli Papua tersebut, baik dalam hal permodalan, keterampilan, berwirausahan dan infrastruktur pasar yang memadai.

Dalam konfrensi persnya bersama perwakilan 479 mama-mama Papua yang sering berjualan di Pasar Ampera dan Galael, Ketua Kontras Papua Harry Maturbongs SH mengatakan, tindakan pemerintah terhadap mama-mama pedagang asli Papua tersebut seakan-akan memperlihatkan tidak adanya keberpihakan terhadap orang asli Papua di bidang ekonomi, marjinalisasi dan diskriminasi terhadap orang asli Papua.

“Mama-mama Papua ini seakan-akan disengaja untuk disingkirkan dari aktivitas ekonomi perkotaan selama ini. Bahkan, mama-mama ini berkali-kali mengalami pergusuran dan dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lainnya dengan alasan merusak pemadangan kota,” ujar Harry Maturbongs kepada wartawan dalam konfrensi pers di Keuskupan Jayapura, Jumat (5/12) kemarin.

Menurutnya, permasalahan yang dialami mama-mama pedagang asli Papua yang berjualan di Kota Jayapura ini telah disampaikan kepada pemerintah Kota Jayapura maupun Provinsi Papua.

Namum hingga kini belum ada kebijakan yang nyata dari pemerintah. Maka dari itu, dirinya berharap agar antara pemerintah Kota Jayapura dan Provinsi Papua dapat saling berkoordinasi.

Hal senada dilontarkan Laurina Monim salah satu mama yang sehari-harinya berjualan di Pasar Ampera, dimana ia bersama pedagang lainnya selama ini kesulitan mendapatkan bantuan dari pemerintah khususnya melalui bidang perbankan.

Selain tidak memiliki akses, juga tidak ada perhatian dari pemerintah.

Begitu juga dengan Juliana Douw yang sehari-hari berjualan di depan Swalayan Galael Jayapura mengatakan, dirinya bersama pedagang lainnya pernah mengambil modal usaha di Koperasi Provinsi Papua, namum pengambilan tersebut dipotong tanpa adanya penjelasan.

“Kami ajukan Rp.200.000 dan dipotong 10 persen menjadi Rp.180.000, sehingga kami tidak mengajukan pinjaman ke koperasi lagi,” ucapnya.(islami)

Minggu, 30 November 2008

Naikkan Bintang Kejora, Ditindak

Kapolda: 1 Desember, Masyarakat Jangan Terprovokasi
(Polda Libatkan 600 Personel)
JAYAPURA- Peringatan 1 Desember hari ini yang disebut-sebut sebagai Hari Kemerdekaan Bangsa Papua Barat, terus disikapi pihak aparat keamanan. Meski, sebelumnya sudah ada pernyataan Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yaboisembut, S.Pd bahwa agenda 1 Desember itu hanya akan diisi Ibadah di Taman Makam Theys di Sentani, namun tidak berarti disikapi dingin Polda Papua.
Dalam rangka menciptakan stabilitas wilayah, pihak kepolisian yang diback up aparat TNI terus meningkatkan kewaspadaan, diantaranya aparat TNI/Polri selain melaksanakan patroli juga akan menggelar razia di sejumlah titik.
Kapolda Papua Irjen Pol. Drs. Bagus Ekodanto mengungkapkan, dirinya memastikan situasi keamanan di Papua, khususnya di Jayapura tetap kondusif seperti biasanya. Sebab, sesuai kalender 1 Desember hanya ada peringatan Hari AIDS Se-Dunia.
" Saya minta warga masyarakat tetap tenang dan beraktivitas seperti biasa serta jangan mudah terprovokasi terhadap berbagai hasutan atau informasi yang tidak benar dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Setiap ada hal-hal atau kegiatan yang mengganggu Kamtibas agar dilaporkan ke aparat kepolisian," ujar Kapolda kepada wartawan usai menghadiri olahraga bersama TNI/Polri di Lapangan Brimob Kotaraja, Sabtu (29/11).
Kapolda menegaskan, jika ada pihak-pihak atau kelompok yang berusaha mengganggu Kamtibmas dengan melakukan kegiatan yang mengarah kepada keutuhan bangsa, siapapun orangnya pihak kepolisian tidak mau kompromi. Termasuk menaikkan bendera bintang kejora pihak kepolisian akan memberikan tindakan tegas. "Saya minta kepada masyarakat Papua agar setiap ada persoalan bisa disikap dan diselesaikan denga penuh kearifan dan bijaksana. Kondisi Papua yang kondusif ini jangan diganggu dengan hal-hal yang hanya akan merugikan masyarakat sendiri. Setiap ada aspirasi harus bisa disampaikan dengan cara-cara yang santun dan sesuai aturan yang benar," pintanya.
Apakah rencana kegiatan 1 Desember dari DAP sudah ada surat pemberitahuan, menurut Kapolda surat pemberitahuan sudah ada hanya saja masih ada point-point yang harus dilengkapi seperti bentuk spanduk, symbol-simbol dan lambang-lambang daerah yang akan digunakan dalam kegiatan.
Jika dalam kegiatan itu ternyata masih ada spanduk atau lambang-lambang daerah yang tidak sesuai petunjuk yang diberikan pihak kepolisian, maka sesuai PP nomor 77 Tahun 2007 kegiatan tersebut sudah masuk pidana makar.
"Kami tentu siaga. Lebih baik begitu untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan dan kami tidak ingin kecolongan dan supaya masyarakat tentram, tidak khawatir," kata Kapolda Papua ditemui Cenderawasih Pos di ruang kerjanya, Minggu (30/11) kemarin.
Sehari sebelumnya, setelah menggelar pertemuan dengan pimpinan redaksi media cetak dan elektronik di Mapolda Papua, Kapolda mengakui pihaknya belum menetapkan siaga satu dalam menghadapi 1 Desember. "Tapi pada prinsipnya bahwa kesiapan kami sudah siap," tegasnya kepada wartawan.
Namun yang penting, ujar Kapolda Bagus Ekodanto bahwa jangan sampai 1 Desember tersebut dijadikan satu moment oleh suatu kelompok tertentu untuk memberikan informasi yang salah kepada masyarakat, sehingga hal tersebut seolah-olah mereka melakukan hal tersebut merupakan pembenaran.
Kapolda mengatakan proses tersebut mestinya dilakukan sesuai dengan prosedur. "Jadi, jika mereka melakukan kegiatan yang disampaikan ke kami bahwa hanya syukuran saja, namun tahu-tahu dalam kegiatan itu ada yang membawa atau mengibarkan bendera Bintang Kejora, ya kami akan lakukan tindakan tegas," tandas Kapolda Bagus Ekodanto.
Kapolda mengungkapkan dalam pengamanan 1 Desember, pihaknya menyiapkan 600 personel untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
Kepada masyarakat di Tanah Papua, Kapolda meminta agar peringatan 1 Desember tidak dibesar-besarkan. Sebelumnya, Kapolda Papua Bagus Ekodanto dalam pertemuan dengan pimpinan redaksi media cetak dan elektronik di Kota Jayapura mengatakan bahwa masalah keamanan bukan saja menjadi tanggungjawab TNI dan Polri saja, tetapi semua masyarakat Indonesia.
Terkait dengan 1 Desember yang disebut-sebut hari peringatan TPN/OPM, Kapolda Bagus Ekodanto mengakui sementara ini pihaknya mendapatkan bahwa mereka tidak melakukan kegiatan eksklusif, namun masalah yang muncul bahwa Dewan Adat Papua (DAP) mengajukan permohonan ijin melakukan aksi kegiatan berupa syukuran di Sentani, namun dalam surat yang disampaikan ada kata-kata yang tidak sepantasnya.
Selain itu, informasi yang masuk bahwa mereka didukung 900 mahasiswa eksodus dari luar Papua yang akan hadir dalam acara ini. Namun, setelah dilakukan pengecekan, lanjut Kapolda, ada 3 mahasiswa dari Manado, 2 dari Makassar saja. "Dari Jogja kami cek, mereka tidak bisa cuti. Memang ada 2 mahasiswa dari Malang tapi cuti liburan jelang Natalan dan informasi dari Jakarta kemungkinan mahasiswa mengejar paket hemat penerbangan dibanding pada saat hari H Natalan yang mahal, jadi bukan eksodus," ujar Kapolda sekaligus membantah ada 900 mahasiswa eksodus ke Papua.
Kapolda mengakui juga menemukan selebaran yang menyatakan akan ada penyerangan ke Pos TNI dan POlri, seperti yang terjadi pada tahun 2007 lalu, sehingga pihaknya juga meningkatkan kewaspadaan, namu tidak berlebihan.
Soal lambang daerah dan bendera yang dipersoalkan, Kapolda mengatakan pihaknya bekerja berdasarkan koridor hukum yang berlaku, apalagi pemerintah telah mengeluarkan PP No 7 Tahun 2007, dimana pasal 6 menyebutkan desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desaun logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dan, dalam penjelasan yang dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi, perkumpulan, lembaga/gerakan sparatis dalam ketentuan ini misalnya logo bendera Bulan Sabit yang digunakan gerakan separatis di Aceh, logo Burung Mambruk dan bendera Bintang Kejora yang digunakan gerakan separatis di Papua serta bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Maluku. "Ketiga bendera tersebut, merupakan lambing yang pernah digunakan separatis. Jika itu muncul, saya sebagai aparat keamanan ya melarang. Setiap kegiatan unjuk rasa, siapa saja jangan mmebawa hal yang dilarang sehingga tidak terjadi benturan," tegasnya.
Soal perijinan unjuk rasa, jelas Kapolda, sudah diatur dalam UU RI No 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, pasal 6 bahwa warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggungjawab menghormati hak-hak orang lain, menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum, mentati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum dan menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam pasal 10, penyampaian pendapat di muka umum wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri, pemberitahuan secara tertulis disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin atau penanggungjawab kelompok, pemberitahuan diterima oleh Polri setempat selambat-lambatnya 3X24 jam sebelum kegiatan dimulai dan pemberitahuan secara tertulis tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.
Pasal 11 menyatakan surat pemberitahuan memuat maksud dan tujuan, tempat, lokasi dan rute, waktu dan lama, bentuk, penanggungjawab, nama dan alamat organisasi, kelompok atau perseorangan, alat peraga yang digunakan dan jumlah peserta. "Mereka sudah mengirimkan surat pemberitahuan, namun belum kami balas dengan STTP (Surat Tanda Terima Pemberitahuan), karena harus ada yang dilengkapi dan sampai hari ini belum ada penjelasan dari penanggungjawabnya," imbuh Kapolda.
Sementara itu, Kasdam XVII/Cenderawasih, Brigjen TNI Hambali Hanafiah menambahkan bahwa TNI bersama Polri berupaya mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. "Kami terus melakukan pendekatan kepada masyarakat, melalui Kodim maupun koramil," ujarnya.
Bahkan, ujar Kasdam, melalui olahraga bersama antara TNI dan Polri untuk menunjukan kekompakan dan siap saling bantu membantu untuk menciptakan situasi kamtibmas yang kondusif di Papua. "Rakyat aman dan sejahtera serta bebas pergi kemana saja, sebagai aparat berkewajiban untuk menciptakan itu," ujarnya.
Kasdam mengajak media massa untuk menciptakan suasana aman dengan berita-berita yang disajikan secara berimbang dan proporsional kepda masyarakat. (mud/bat)

Kamis, 27 November 2008

Wagub Tepis Orang Pegunungan Terbelakang dan Terbodoh

28 Nopember 2008 04:17:36


Wamena- Setelah pembangunannya rampung, gedung Kantor Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Kristen Wamena yang terletak di Pikhe sekitar 10 Km dari Kota Wamena, diresmikan Wakil Gubernur Papua, Alex Hesegem, SE, Kamis (27/11).
Di sela-sela peresmian itu, Wagub Hesegem menepis pendapat banyak orang yang mengatakan bahwa orang gunung identik dengan kemiskinan, terbelakang, terbodoh dan lainnya. "Saya tidak pernah mendapat jawaban dari orang yang mengatakan seperti itu untuk memberikan solusi terbaik, memecahkan permasalahan ini, mereka hanya bicara sebatas luarnya saja,"ujarnya.
Upaya Yayasan Oikonomos ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai kepedulian terhadap kehidupan orang gunung. Ini merupakan satu solusi yang dianggap penting dalam rangka menciptakan kualitas SDM untuk mencerdaskan kehidupan generasi penerus bangsa yang kelak menjadi calon pemimpin bangsa ini.
"Saya perintahkan kepada para bupati di wilayah Pegunungan Tengah untuk membantu dalam dukungan dana. Ibarat seorang ayah kita harus perduli terhadap usaha yang dilakukan 'om atau tante' (maksudnya Yayasan Oikonomos) yang telah merintis berdirinya perguruan tinggi dan itu harus dilakukan,"ujarnya.
Pada kesempatan itu, Wagub juga menyoroti kinerja para guru. Menurutnya, pada jaman dulu, seorang guru dapat mendidik dan mengajar murid-muridnya dengan sisiplin yang tinggi, namun sekarang para guru yang disebut-sebut sebagai pahlawan tanpa jasa itu, justru membatasi tugasnya dan hanya mengejar titel sarjana untuk terjun di kancah politik. "Ingin menjadi anggota DPR dan kepala dinas, ini sudah salah kaprah," ujar Wagub.
Nety Baan, salah seorang perwakilan dari Yayasan Okonomos menuturkan niatnya mendirikan STKIP Kristen Wamena berawal ketika ia duduk di sebuah batu dan merenungkan tentang keajaiban Tuhan yang begitu banyak terjadi Wamena. "Apa yang harus saya buat untuk merubah kehidupan anak-anak di Jayawijaya. Satu-satunya cara hanya bisa dilakukan melalui pendidikan yang menghasilkan para lulusan bermutu untuk melanjutkan ilmu tersebut kepada generasi penerus,"paparnya.
Menurutnya ada dua metode yang bisa dilakukan untuk mengangkat harkat dan martabat orang Papua sejajar dengan warga lain di Indonesia yaitu dengan cara teknis&finansial dan peningkatan mutu pendidikan. "Secara teknis bisa berbentuk sarana dan prasarana yang didukung dengan finansial memadai, sedangkan peningkatan mutu pendidikan yang dibarengi dengan berbagai keterampilan dan ilmu pengetahuan yang luas,"ujarnya.
Sementara itu Ketua STKIP Kristen Wamena Karl Tamaela mengatakan, mahasiswa di perguruan tinggi tersebut sebanyak 78 orang yang mengikuti program pendidikan matematika dan bahasa Inggris. (jk)

Senin, 24 November 2008

Bupati Pahabol Luncurkan Buku Menuju Yahukimo Sejahtera

JAYAPURA- Bupati Yahukimo Ones Pahabol SE, MM di t engah kesibukannya sebagai kepala daerah, namun masih meluangkan waktu untuk menulis buku. Hasilnyapun tidak sia-saia. Buku karyanya berjudul Menuju Yahukimo Sejahtera, Telaah Kritis Terhadap Pembangunan Daerah, diluncurkan di Kafe Jaya Grill Kota Jayapura, Semalam.

Buku ini diluncurkan bersamaan dengan perayaan hari ulang tahun dirinya yang ke-37 dan anak keduanya, Ferol Pahabol ke-12 tahun, sehingga merupakan moment bahagia tersendiri bagi lelaki kelahiran Balingama, Distrik Ninia, 22 Nopember 1971 tersebut.
Dalam peluncuran buku ini, dilakukan langsung oleh Bupati Ones Pahabol, bersama Ketua Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pdt Lipiyus Biniluk STh, MTh, Ketua Departemen PI Gereja Injili di Indonesia, Pdt Otto Kobak dan Sekda Kabupaten Yahukimo, Drs Robby Lungkutoy dengan mengangkat buku tersebut.
Bupati Ones Pahabol mengungkapkan salah satu persoalan di Papua yakni ada dua kelompok yang berbeda yakni gereja atau agama dan pemerintahan yang terlalu jauh, sehingga muncul kelompok pemimpin agama atau gereja dan pemimpin pemerintah daerah, sehingga menjadikan berwarna.
"Melalui buku ini, gereja dan pemerintah daerah harus jalan bersama-sama, karena seperti pimpinan dalam alkitab dalam buku ini saya munculkan Yusuf, Ezra, Abraham dan lainnya dengan latar belakang bermacam-macam, tapi mereka satu tujuan, yakni takut akan Tuhan," kata Ones Pahabol kepada belasan wartawan.
Menurutnya, buku tersebut merupakan hasil apa yang selama ini dilihat, didengar dan dirasakan sebagi kepala daerah, sehingga pihaknya berupaya maksimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, apalagi jabatan tersebut merupakan 'kontrak' selama 5 tahun.
"Bersyukur kepada Tuhan, karena peluncuran ini, tepat waktu dimana pas peringatan hari ulang tahun saya dan anak saya yang hampir bersamaan," kata Bupati Pahabol.
Ones Pahabol mengaku secara pribadi tergerak untuk membuat karya melalui tulisan tersebut karena didorong oleh Firman Tuhan, apalagi ia ingin mendedikasikan karyanya tersebut dalam bentuk tulisan meski waktu pendek sehingga generasi ke depan bisa menjadi berkat hari ini dan esok, karena tentu seorang pemimpin akan ditanya apa yang akan diperbuat kepada rakyatnya.
Bupati mengatakan kepemimpinan yang diimplementasikan sesungguhnya adalah suatu mandat. Dalam kaitan itu, sang pemberi mandat sendiri telah memilih, memanggil dan menetapkan seorang pemimpin untuk berkarya bagi-Nya secara maksimal dan seorang pemimpin harus sanggup untuk mewariskan bidang kehidupannya kepada banyak orang.
Dalam buku itu, pada telaah itulah dimungkinkan untuk melihat urgensi hadirnya pemimpin di mata Allah dan orang-orang yang diberikan kepadanya untuk dibina, dipengaruhi dan dimotivasi bagi uypaya memenangkan masa depan yang penuh harapan tersebut.
Lebih lanjut, ketika pembahasan itu mengena pada pribadi Allah, pribadi yang dimaksud adalah satu-satunya Allah yang hidup dan sesungguhnya dan Dialah pencipta jagat raya ini. Dia juga adalah Tuhan bangsa-bangsaa dan Allah penccipta semua manusiaa, yang pada kruun waktu sekitar 4.000 taahun silam telah memanggil Abraham dan membuat ikatan perjanjian dengannyaa. Isi perjanjian tersebut tyidak hanya memberkati Abraham, tetapi juga melalui keturunannya, Allah akan memmberkati semua kaum dimuka bumi ini. (Kej. 12:11-4)/
Dalam konteks kepemimpinan bagi masyarakat Yahukimo sendiri, ujar Bupati Pahabol, adalah ranah anugerah dari Allah kepada seorang pemimpin. Artikulasi dasarnya tidak lain bahwa Allah mau memakai seorang pemimpin agar dapat mempengaruhi umat-Nya untuk mengenal kebenaran dan hidup dalam kebenaran itu, yakni berkaca pada Tuhan Yesus yang adalah Tuhan yang telah daan akan membebaskan, memulihkan, menjadikan utuh kembali dan menyelamatkan, baik secara personal, sosio-komunal, global maupun sejagat raya ini.
"Dari perspektif inilah, konteks kepemimpinan Yahukimo dievaluasi seeecara kritis, baik dari sisi pembangunan, sisi sosio-religius-kultural maupun yang tidak kalah pentingnyaa, dari sisi perjanjian Ilahi tersebut," ujarnya.
Bupati Ones Pahabol mengatakan Yahukimo terletak dijantung Papua, merupakan wilayah yang memiliki daya tarik khusus karena lokasinya dipusat persilangan jalan strategis, yang menghubungkan pusat peradaaban lainnya di Tanah Papua dan dari tempat yang kurang terkenal itulah, rakyat Yahukimo memiliki dasar pembenaran bahwa Allah menghendaki mereka menjadi agen perubahan atas mutu kehidupan ini.
Dikatakan, penulisan buku ini diharapkan menjadi warna tersendiri, bahwa Allah yang menciptakan tanah Yahukimo ddilanjutkan-Nya dengan menebus masyarakat Yahukimo dari segala jenis latar belakang dan karya pembebasan inilah yang sekarang sedang dikerjakan Pemda Yahukimo secara integral berkesinambungan, yang bekerjasama dengan semua elemen masyarakat, terutama gereja-gereja di Yahukimo yang telah dipoanggol untuk ikut dalam ikatan perjanjian Allah. "Dengan demikian, menghadirkan kesejahteraaan yang berlimpah dan suatu kehidupan sejati menjadi tujuan dari kepemimpinan pemerintahan selama lebih dari 3 tahun berjalan," ujarnya.
Di samping itu, ujarnya, kesejahteraan adalah harapan semua orang, siapapun dia. Namun, hal tersebut hanya menjadi harapan semataa jika tidak diimplementasikan dalam iman, karya dan kinerja nyata. "Kesejahteraan itu, bukan sekedar harapan, melainkan hal yang nyata dan dapat diraih. Hal itu dimungkinkan jika pemimpin, sebagai motor penggeraak pembangunan, melandasskan kebijakan kebijakanya kepada firman Allah dan memandang pembangunan daeraaahnya itu sebagai berkat perjanjian Allah dan saya mendengar dan mengajak masyarakat untuk bersama-sama membangun daerah ini," imbuhnya.
Dalam buku yang diterbitkan Yayasan Kalam Hidup ini, Bupati Pahabol mengaku untuk pertama pihaknya mencetak sebanyak 5000 ekslempar buku, yang sementara akan disumbangkan ke gereja untuk pelayanan dan untuk umum.
Ditanya apakah dengan peluncuran buku tersebut akan mengincar jabatan politik selanjutnya, Bupati Pahabol mengakui belum sampai mengarah ke hal tersebut, tetapi semataa-mata merupakan pemikirannya yang dipersembahkan kepada masyarakat dan dirinya berjalan sebagai pemimpin dengan mengutamakan pelayanan.
Ketua Sinode GIDI, Pdt Lipiyus Biniluk STh, MTh mengaku bersyukur kehadiran buku ini dari seorang hamba Tuhan dan abdi negara yang dipersembahkan kepada masyarakat, gereja dan pemerintahan di negeri ini. "Ini merupakan pikiran-pikirannyaa dengan wawasan pembangunan secara konferehensif sertaa inovatif dan tidak lupa didasarkan atas firman Tuhan yang tertulis yang merupakan warisan yang sangat bernilai bagi generasi sekarang dan mendatang. Itulah sebuah kebesaran hati dan upaya jujur seorang perintis pembangunan di Yahukimo," ujar Pdt Lipiyus Biniluk mengomentari buku tersebut.
Ketua Sinode GIDI menilai pemimpin harus memiliki wawasan holistic, seperti Nehemia, sehingga diharapkan jika dibaca baik semua pemimpin di Papua dapat membangun otonomi khusus ini, maka Papua akan sejahtera.
Sementara itu, Ketua Departemen PI GIDI, Pdt Otto Kobak mengatakan model pemimpin yang dibutuhkan masyarakat adalah selalu melibatkan Tuhan dalam pelayanan dan juga firman Tuhan. "Tulisan ini menghapus anggapan bahwa 'orang pedalaman tidak bisa', karena ternyata ia (Ones Pahabol) membuktikan kemampuannya dengan menulis buku ini, bahkan ia menjadi salah satu perintis dari sejumlah intelektual anak pegunungan Tengah Papua yang telah menyumbangkan karyanya," imbuhnya.
Ketua Komisi B DPRP, Paulus Sumino menilai bahwa kepemimpinan Ones Pahabol memiliki refleksi alkitab yang sangat kuat, sehingga diharapkan mampu membawa Yahukimo dalam damai dan sejahtera. "Apalagi, banyak terobosan pembangunan yang dilakukan, termasuk ekonomi, infrastruktur dan lainnya, termasuk sarana transportasi," ujarnya.
Bahkan, Walikota Jayapura, Drs MR Kambu MSi yang hadir juga memberikan apresiasi terhadap peluncuran buku karya Bupati Yahukimo Ones Pahabol ini.
Dalam acara yang dirangkaikan dengan perayaan hari ulang tahun ke-37 Bupati Ones Pahabol ini, juga dihadiri lengkap keluarganya, tampak terlihat ibu, Juliana Kobak Pahabol, anak pertamanya, Herlina Pahabol, Ferol Pahabol, Sisilia Pahabol dan Gabriella Syaneth Pahabol. Bahkan, Bupati Ones Pahabol bersama anaknya Ferol Pahabol langsung meniup lilin perayaan hut keduanya. (bat)

Dari Seminar Formulasi Perdasus Peradilan Adat dan Penguatan Kapasitas Peradilan Adat Papua

Hukum Adat Sangat Fleksibel, Tidak Boleh Menjadi Hukum Positif


Setelah melalui proses yang cukup panjang, kemarin lembaga Kemitraan bekerjasama dengan Pemprov Papua, DPRP, Kejati, Polda Papua, Pengadilan Tinggi Papua, MRP, UNCEN Jayapura, Dewan Adat Papua dan Lembaga Masyarakat Adat Papua
menggelar seminar terkait dengan program formulasi Perdasus Peradilan Adat dan penguatan kapasitas peradilan adat di Papua. Seperti gambaran Peradilan Adat yang tengah disusun itu dan sudah sampai dimana proses penyusunannya.

Laporan RAHMATIA
Sebuah hukum adat memang tidak seharusnya dan tidak boleh dijadikan sebagai suatu aturan Perundang-undangan, sebab hukum adat bisa sangat fleksibel. Ia juga bisa bersifat luwes dan dinamis, tak heran kalau hukum adat seringkali menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Begitu antara lain yang dikemukakan pakar hukum adat Prof Dr. MG Endang Sumiarni, SH.M.Hum menyangkut Hukum Adat pada seminar sehari tentang Peradilan Adat Papua yang berlangsung di SwissbelHotel kemarin. "Kalau dulunya menjadi hukum, maka bisa saja sekarang bukan lagi menjadi hukum, contohnya hukuman nyawa dibayar nyawa. Di zaman sekarang hukum itu tidak dipakai lagi, maka diganti dengan yang lain," katanya.
Tetapi yang paling penting bagi Ketua Program Studi S2 Universitas Atmajaya Yogyakarta ini adalah dalam pamahaman hukum adat ini, bahwa dengan Peradilan Adat dikembalikan kepada system masing-masing suku, mengingat di Papua terdiri dari berbagai macam suku. "Itu artinya kita tidak bisa meng-generalisasi system hukum adat yang ada, tetapi tetap dikembalikan kepada masing-masing suku yang ada sesuai dengan hukum adatnya masing-masing," katanya.
Dan kembali pada Rancangan Perdasus yang sekarang tengah disusun, maka disini hendaknya lebih mengatur pengakuan pemerintah tentang hukum adat yang diimpelemtasikan dalam Peradilan Adat Papua. Untuk itu, perlu diatur juga hubungan antara Peradilan Adat dengan Peradilan Negara yang ada baik itu Pengadilan, Kejaksaan dan Kepolisian. "Ini penting karena dalam pelaksanaannya nanti sebisanya antara keduanya ada sinergi," ujarnya.
Karena konkritnya putusan Peradilan Adat harus mendapat pengakuan dari peradilan negara. Hanya tergantung dari kasusnya. Artinya suatu keputusan Pengadilan Adat harus diakui oleh Kepolisian, Kejaksaan maupun Pengadilan, karena intinya Peradilan Adat adalah Peradilan perdamaian. "Jadi kalau pihak yang bersengketa sudah menerima keputusan merasa sudah memenuhi rasa keadilan maka kasus itu dianggap selesai dan itu harus diakui oleh peradilan negara baik itu kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan," terangnya.
Sebaliknya, kalau kalau kasusnya dianggap belum selesai, maka boleh saja kasus itu dilanjutkan ke peradilan negara. Dengan begitu di dalam Peradilan Adat ada prinsip umum yang sama dan mengandung kearifan lokal dengan bentuk yang berbeda - beda. "Untuk itu kalau kita membuat suatu peraturan yang merupakan bentuk peradilan yang bentuk perlindungan maka diatur juga tentang prinsip - prinsip umum," katanya.
Karena hukum adsat lahir dan tumbuh dalalm masyarakat adat itu sendiri dan hukum adat itu tidak tertulis dalalm bentuk peraturan perundang -undangan. "Jika materi hukum adat dibentuk dalam Peraturan Perundang Undangan maka itu bukan hukum adat tetapi hukum positif.
Kendati diakui suatu hukum adat yang yang tertulis diartikan sebagai hukum tercatat (yang ditulis) oleh siapapun baik warga adat, penulis ataupun oleh peneliti dan lain-lain. Atau dapat juga dibuat dalam bentuk dokumentasi tentunya yang ditulis dalam bentuk prasasti, daun lontar atau buku kuno dan itu merupakan dokumentasi turun temurun.
Endang lalu mencontohkan, di Bali setiap banjar atau desa memiliki hukum adat yangh ditulis dan disebut awek awek yang isinya mencakup hampir semu abiding hukum mulai dari lingkungan, pengelolaan air, hewan hingga kesusilaan. Papua juga bisa mencatat seperti itu.
Sementara Elfa Rori Project Manager Partnership Papua (Kemitraan) menjelaskan bahwa kegiatan yyang digelar selama tiga hari itu merupakan tindaklanjut dari proses pembuatan rancangan Perdasus. "Sambil menunggu proses di DPRP, kita diskusikan lagi," ujarnya. Dengan begitu maka dasar pelaksanaan Peradilan Adat akan lebih dalam lagi dikaji.
Karena itu, agenda yang dibahas dalam pertemuan itu antara lain, membicarakan kebijakan Pemprov Papua dan DPRP terhadap Peradilan Adat. "Kalau memang akan menjadi Perdasus, bagaimana nanti eksistensi dari MRP, ALDP dan DAP. Sebab peradilan adat dianggap penting dan strategis," katanya.
Hanya saja pertanyaannya sekarang jika nanti Peradilan Adat telah diputuskan dan ditetapkan apa langkah konkrit dari Pemprov Papua, "Ini yang perlu distressing, karena kalau kita mau bicara perlindungan maka harus konkrit perlindungan itu seperti itu. Jadi jangan samp[ai Perdasus ini berhenti sampai disini saja," tandasnya.
Sedangkan Wakil Ketua Komisi F DPR Papua Ir Weynand Watori mengakui bahwa terkait Peradilan Adat itu sejak Desember tahun 2005 lalu sebenarnya sudah ada kesepakatan yang dibuat para pejabat di Papua. Inti dari kesepakatan itu adalah agar segera dibuat suatu perdasus untuk Peradilan Adat sebagai implementasi dari UU Otsus Papua. Dan mewujudkan itu, DPRP dan Kemitraan melaksanakan suatu penjaringan aspirasi, pembahasan dan sampai saat Agustus lalu sudah rampung dan sudah disampaikan ke DPRP.
Usulan yang disampaikan itu akan menjadi hak inisiatif DPRP dan akan dibahas dalam masa sidang yang sedang berlangsung saat ini. "Sekarang porosesnya sedang berjalan dan sudah diajukan di Panitia Legislasi dan Panitia Musyawarah, jadi tinggal disahkan saja sebagai hak inisiatif dewan yang nantinya dengan SK DPRP akan disampaikan kepada gubernur untuk diproses sesuai mekanisme dan selanjutnya dikembalikan lagi ke dewan dalam bentuk Rancangan Perdasus dan selanjutnya disahkah dalam tahun ini juga," paparnya.
Sebab intinya kata Weynand dewan hanya tinggal memberikan pengakuan dan dukungan bagi penyelenggaraan Perdasus tersebut. Dalam seminar yang berlangsung tiga hari itu dihadiri sejumlah Ketua DAP dari kabupaten dan kota, sejumlah praktisi hukum di Jayapura dan beberapa LSM.*

Image Otsus Masih Sebatas Uang



*Mu'saad: Banyak Subtansi Otsus Belum Dilaksanakan
JAYAPURA-Democratic Center Universitas Cenderawasih memandang bahwa Otsus Papua yang pelaksanaannya telah memasuki 7 tahun, masih relevan untuk dijadikan sebagai solusi dalam penyelesaian sejumlah masalah krusial di Papua.
Kepala Pusat Kajian Demokrasi (Democratic Center) Uncen Drs. H.Mohammad A. Musa'ad, M.Si mengungkapkan, setiap tahun pada 21 November yang merupakan tanggal pengesahan UU Otsus Papua, harus dijadikan momentum untuk melakukan retrospeksi dan prospeksi terhadap pelaksanaan kebijakan Otsus Papua.
Terkait hal itu, setiap 21 November Democratic Center (DC) yang sebagian besar anggotanya ikut berperan dalam penggagasan dan pencetusan Otsus Papua selalu melakukan kegiatan diskusi, dialog dan curah pendapat guna menghasilkan kajian kritis atas perjalanan Otsus Papua dari tahun ke tahun.
Mencermati dinamika sosial politik di Papua memasuki 7 tahun pelaksanaan kebijakan Otsus, DC sesuai kompetensi yang dimilikinya menyampaikan beberapa hasil penelitian dan kajian yang perlu dipahami dan disikapi semua komponen bangsa, diantaranya pertama, dari segi perspektif idiil normatif Otsus masih relevan menjadi solusi dalam penyelesaian masalah di Papua. Hanya saja dalam perspektif factual emperik kondisinya justru mencemaskan.
" Yang terjadi di lapangan banyak subtansi yang terdapat dalam UU Otsus belum mampu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Banyak pihak terutama penyelenggara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota sampai saat ini belum memahami secara konprehensif filosofi dan subtansi UU. Ironinya, image Otsus masih dipahami sebatas uang dan belum pada subtansi yang sesungguhnya," ujar Mu'saad saat menggelar jumpa pers di Sekretariat DC di Kampus Uncen Abepura, sabtu (23/11).
Dikatakan, perbedaan persepsi dan pemahaman, rendahnya komitmen serta kebijakan yang keliru (overlapping) merupakan bukti pembenaran atas ketidak konsistenan dan konsekuennya pelaksanaan materi muatan yang diamanatkan dalam UU Otsus.
Kendati pelaksanaan kebijakan Otsus belum efektif (kacau balau), DC merasa perlu memberikan apresiasi terhadap segala upaya yang dilakukan berbagai pihak dalam mendorong pelaksanaan Otsus. Hanya saja, perlu diingatkan bahwa upaya tersebut harus dilakukan secara simultan dan komprehensif, bukan parsial (sepotong-potong) serta memperhatikan nilai dasar, prinsip dasar serta materi muatan Otsus secara konsisten.
Hal itu perlu dilakukan agar tidak terjadi pembiasan yang mengarah pada kontraproduktif terhadap upaya-upaya guna mewujudkan efektivitas pelaksanaan Otsus Papua. Tujuh nilai dasar yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan Otsus adalah, pemberdayaan orang asli Papua, demokrasi dalam kedewasaan, supremasi hukum, etika moral, perlindungan/penegakan HAM, penghargaan terhadap kemajemukan dan kesamaan hak sebagai warna negara.
Sedangkan prinsip-prinsip yang tidak boleh diabaikan dalam pelaksanaan kebijakan Otsus adalah, proteksi terhadap orang asli Papua dalam batas waktu tertentu, kebijakan keberpihakan, pemberdayaan, bersifat universial dan adanya accountabilitas publik.
" Jadi Otsus ini berlaku untuk semua orang Papua, hanya saja perlu adanya kebijakan-kebijakan khusus bagi orang asli Papua dalam bentuk proteksi, keberpihakan dan pemberdayaan," ujarnya didampingi tim asistensi Otsus seperti Bambang Sugiyono, SH, Frans Maniagasi serta John Rahael (mantan anggota DPR RI).
Kedua, DC memberikan apresiasi atas pembahasan sejumlah Raperdasi dan Raperdasus oleh DPRP dan Pemprov, termasuk yang sudah ditetapkan. Namun begitu, DC menyayangkan karena sebagian besar Perdasi tersebut ternyata bukan merupakan amanat Otsus, bahkan terdapat Perdasi dan Perdasus bertentangan dengan filosofi dan subtansi Otsus Papua.
Misalnya, UU Otsus yang mengamanatkan 11 Perdasus dan 17 Perdasi sebagai peraturan pelaksanaan dan penyusunannya harus dibuat dalam skala prioritas tertentu. Sebab, terdapat penyusunan Perdasus dan Perdasi tertentu menjadi landasan bagi penyusunan Perdasus dan Perdasi yang lain.
Ketiga, mengenai munculnya wacana parpol local, dijelaskan bahwa dalam UU Otsus Papua tidak dikenal Parpol local, namun penduduk Provinsi Papua dapat membentuk Parpol. Pembentukan dan keikutsertaanya dalam Pemilu berdasarkan peraturan perundang-perundangan yakni UU Parpol dan UU Pemilu. Karena itu, pembentukan Parpol local hanya dapat dilakukan jika tercantum dalam UU Parpol dan UU Pemilu dan/atau revisi UU Otsus Papua.
Mengenai kebijakan affirmatif terhadap orang Papua, bagi Mu'saad hal itu merupakan suatu stategi yang cerdas dalam mendorong akselerasi pembangunan SDM Papua, hanya kebijakan ini harus dilakukan dengan hati-hati serta memperhatikan prinsip dasar kebijakan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar nantinya penerapan kebijakan itu tidak mengarah pada tindakan diskriminasi dan/atau pelanggaran HAM.
Berkaitan dengan maraknya aspirasi masyarakat menginginkan pemekaran daerah atau pembentukan daerah otonom baru provinsi/kabupaten, DC memandang bahwa hal itu merupakan trend yang terus mengalami penguatan. Karena itu dibutuhkan kreativitas Pemda untuk mendesain suatu strategi penataan daerah di Provinsi Papua dalam waktu 20 atau 25 tahun kedepan, dengan memperhatikan berbagai aspek, yakni proses, format, keserasian, kesatuan budaya, sumberdaya ekonomi dan prospek pengembangan.
" Evaluasi Otsus yang telah dilakukan 2 kali oleh Pemprov dengan Uncen tahun 2007 dan Pemerintah Pusat melalui Depdagri dengan kemitraan untuk kerjasama pembaharuan pemerintah 2008 sebagian besar masih difokuskan pada evaluasi terhadap pengunaan dana Otsus belum pada kebijakan yang seharusnya ditujukan pada Pemerintah Pusat maupun Provinsi sesuai kewenangan dan kewajiban masing-masing dalam melaksanaan Otsus.
Sementara itu, mantan anggota DPR RI yang juga anggota pengagas Otsus Papua John Rahail mengajak seluruh komponen bangsa di Papua untuk bersama-sama membangun tanah papua dalam konteks NKRI melalui kebijakan Otsus.
Sebab, sesungguhnya orang Papua sendiri yang mempermalukan dirinya sendiri dimana disaat dana Otsus dimanfaatkan, rakyat Papua ada yang bersikap menolak Otsus, bahkan ada yang menuding Otsus. Padahal rakyat Papua atau para pejabat di Papua baru mengalami perubahan hidupnya di Tanah Papua setelah ada Otsus.
" Makanya orang-orang yang mengatakan seperti ini sesungguhnya sangat berdosa, karena menipu dirinya sendiri dan kepada Tuhan. Padahal para penyelenggara Otsus ini diberikan amanah dari rakyat untuk mengemban misi dengan harapan agar kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin," cetusnya.
Hanya saja yang terjadi selama ini adalah ketidakpastian. Harus disadari membangun negara atau daerah adalah sistem bukan ego. Yang menjadikan sistem itu berdaya guna untuk rakyat adalah, ketika sistem itu menjadi tertulis. Namun yang terjadi selama Otsus berjalan, tidak ada satu sistem pun yang tertulis.
UU Otsus hanya bisa dilaksanakan jika subtansi dalam UU itu yakni bagian yang memperintahkan adanya Perdasi dan Perdasus harus dilaksanakan. Tapi, jika Perdasi dan Perdasusnya saja belum ada, apa yang mau dilaksanakan. Bicara Otsus itu gagal atau tidak memang belum berjalan. Yang berjalan selama ini hanya uangnya saja, sementara produk-produk lain sebagai pelaksanaan Otsus belum ada.
Karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut perlunya diadakan dialog bersama untuk merevitalisasi dan memperkuat kembali pelaksanaan Otsus baik menyangkut sistemnya, peraturannya maupun berbagai aspek lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan Otsus itu sendiri. (mud)

Pengaruh Israel Kuno di Papua

Situs SairerinsoS tentang kepercayaan yang mirip cerita Alkitab dari suku Mee di Paniai, Papua, sangat menarik. Sebelum Injil masuk Papua, orang Mee dari satu kampung punya cerita seperti Kejadian. Ada empat sungai - Tigris, Pison, Gihon, dan Efrat - yang mengalir di suatu tempat yang mereka namakan Eden. Ada juga kisah tentang Nuh, bahteranya, tempat lain bernama Golgota, dan kepercayaan orang Mee pada Penguasa Dunia atau Allah mereka: Ugatame. Lalu, SairerinsoS tanya apa ada leluhur Mee yang datang dari kawasan yang sekarang bernama Timur Tengah. Lalu, bagaimana kemiripan mitos keramat Manseren Koreri dengan sang Mesias orang Israel?

Kita perlu tahu apa kepercayaan orang Mee memang benar-benar ada. Siapa saksinya. Apa ada sumber-sumber penelitian serius tentang kepercayaan ini yang bisa kita tahu lebih jauh? Jadi, saya mendukung keinginan SairerinsoS untuk meminta bantuan Anda yang tahu supaya memberi kita info lebih jauh.

Tapi apa yang dia katakan bukan hal baru. Di beberapa tempat lain di Papua, ada mitos, legenda, atau cerita rakyat yang isinya mirip dengan kisah-kisah Alkitab Perjanjian Lama. Zaman Belanda, murid-murid SD Papua yang memakai buku pelajaran bahasa Belanda, Het Begin, baca tentang buaya Towyatua yang berkaitan dengan air bah mirip zaman Nuh. Pace Akwan cerita sama saya waktu dia terjemahkan beberapa cerita rakyat bersama seorang Amerika di Jakarta ke dalam bahasa Inggris dan dibaca teman-teman Amerikanya, mereka bilang sama dia, "They sound like Jewish stories." Cerita rakyat itu mencakup Manseren Koreri dari Biak-Numfor (mirip Mesias Israel kuno), tokoh Wei dari Jayapura (mirip Yesus), dan cerita tentang Menara Bambu ke Bulan yang ambruk dari Yapen Waropen (mirip kisah runtuhnya Menara Babel).

Secara kebetulan, saya ketemu di Internet beberapa tahun yang lalu pertanyaan tertulis seseorang dari Biak pada Yair Davidiy, seorang pakar Israel tentang ke-10 suku Israel yang terhilang. Apakah orang Biak salah satu keturunan mereka? Menurut Davidiy, mereka keturunan suku Efraim dari Israel kuno! Apa memang begitu?

Jadi, apa memang orang Papua keturunan Sepuluh Suku Israel yang Terhilang sekitar tahun 700-an sebelum Masehi? Atau cerita-cerita tadi hanya suatu ungkapan dari akal budi universal (universal mind)? Atau cuma karangan saja?

Ddeba

TWO EKARIAN NAMES OF JESUS

Neles Tebay

NELES TEBAY is a diocesan priest of Jayapura, Irian Jaya, Indonesia. He holds a master’s degree in pastoral studies from the East Asian Pastoral Institute, Manila. He presently teaches pastoral planning and sacraments at Fajar Timur School of Philosophy and Theology in Jayapura, Irian Jaya. He also works as freelance writer for The Jakarta Post and Asia Focus. The present article is part of the thesis he wrote for his master’s degree in pastoral studies.

Introduction

T

he Ekarians are highlanders or mountain people who inhabit the central highlands of Western New Guinea (Irian Jaya). They are Melanesians by race but politically have belonged to Indonesia since 1963.1 These people had not heard of Jesus until the Dutch missionaries arrived in 1937. The translation of the Scriptures and liturgical prayers into the Ekarian language was part of the evangelization process conducted by the missionaries.

This article will discuss the two names of Jesus as Iniuwai Ibo (the Great Elder Brother of Ours) and Touto Owa (the Living House) as addressed by the Ekarians in their spontaneous prayers and liturgical songs. My goal is to answer the question “what do the Ekarian Christians mean by calling Jesus the Inuwai Ibo and the Touto Owa?” In order to articulate the material systematically, the article will be divided into two major parts. The first part elaborates the two most outstanding characteristics of being the Iniuwai Ibo, namely, Jesus’ all-inclusive love and his obedient faithfulness to the will of God. The second part presents a description of the saving presence of Jesus who is symbolized as the Touto Uwa (the Living House).

This reflection will be enriched by Ekarian Christian liturgical songs and some quotations from their spontaneous prayers because the Ekarian Christians have been articulating their understanding of Jesus by making use of these two means. We will, therefore, attach some of the liturgical songs and quotations of their spontaneous prayers that very clearly express their idea of Jesus.

Jesus as the Iniuwai Ibo (the Great Elder Brother of Ours)

In order to better articulate what Ekarian Christians mean by calling Jesus the Iniuwai Ibo, we will explore the meaning of the title and then describe the two most outstanding characteristics of being the Great Elder Brother, namely, Jesus’ unconditional love and his obedient fidelity to the will of God.

The Meaning of the Title Iniuwai Ibo

The term iniuwai consists of two Ekarian words, namely, ini, which means “we or ours,” and wawa, which means, “elder brother.” So iniuwi means “our elder brother.” The term wawa or iniuwai is exclusively applied to the bringer of salvation in the community.

Taking the same cultural concept of wawa ar iniuwai, the Ekarian Christians now apply it to Jesus. Having seen in the person and work of Jesus all positive elements of a wawa in their culture, they project onto Jesus the cultural title of wawa or iniuwai in order to bring out the meaning of Jesus for them. Thus, to recognize Jesus as iniuwai means to identify him as a wawa or iniuwai in their culture who brings salvation for the community.

In their prayers and liturgical songs, however, the Ekarian Christians never call Jesus iniuwai. Rather, they always call him Iniuwai Ibo. The term ibo means “the great, or the most high.” Therefore, to say Jesus is Iniuwai Ibo means to recognize him as the “Great Elder Brother of Ours.” It is very clear that they do not simply equate Jesus with a wawa. Rather, Jesus is seen as higher and greater than an iniuwai or wawa in the culture.

Believing in Jesus as the Iniuwai Ibo, the Ekarian Christians see themselves as his brothers and sisters. Nevertheless, the term ini (or “ours”) in the Ekarian Christians’ view is not restricted to the Ekarian Christians themselves. Rather, it refers to all human beings regardless of race, religion, and culture. In attributing the title Iniuwai Ibo to Jesus, the Ekarian Christians recognize him as the Great Elder Brother of all human beings. We are equally the brothers and sisters of the same Jesus, the Iniuwai Ibo.

Since Jesus is our Great Elder Brother, the Ekarian Christians believe that his Father is also our Father, the Father of all human beings. They believe that there is only one God who is called Initai Ibo, which literally means “the Great Father of ours.” At times, they call the same God by different terms, such as Gaiye (the one who always thinks) or Ugatame (the Creator). All human beings are the children of God. All men are the sons of God and all women are the daughters of God.

This belief is well expressed in the structure of their prayers. They begin with addressing God as our Great Father, recognizing themselves as God’s children, and end their prayer by emphasizing their belief in Jesus as our Great Elder Brother.

“Initai Ibo, . . .

(“God, the Great Father of ours, . . . )

Kouko Iniuwai Ibo, Yesus, gawaidaiga wado katikanege.
(We ask this through Jesus, the Great Elder Brother of ours)

Yesus too Iniuwai Ibo kiya. Amen.”
(For Jesus is the only Great Elder Brother of ours. Amen”).

They express it also in one of the offertory songs as follow:

Allah ye, Initai ye, niyamotiye
(God, the Father of ours, receive our offerings)

Yesus Iniuwai Ibo gawaidaiga kanete no, niyamotiye
(receive our offerings that we offer through Jesus, the Great Elder Brother of ours)

Ini aki yokaane ka kaneete kaa
(It is we, your children, who offer it to you)

Niyamoti kaya naki niyamoti
(receive our offerings, receive our offerings)

Two Most Outstanding Characteristics of the Title

As Jesus is recognized not simply as the Iniuwai but more than that the Iniuwai Ibo, the Ekarian Christians have seen in the person and work of Jesus something that reveals his greatness. What is the greatness of Jesus in the sight of Ekarian Christians that makes them believe him as the Great Elder Brother of all human beings? Why do the Ekarian Christians call Jesus as the Iniuwai Ibo, not merely iniuwai?

The following Christmas song clearly articulates why the Ekarian Christians recognize Jesus as the Iniuwai Ibo.

Noukai Maria muno doba make Iniuwai Ibo Yesus niyapate
(Our mother Mary gives birth to a baby who is Jesus the Great Elder Brother of ours)

Iniuwai Ibo Yesus kidi ito yuwouda niyapate
(Jesus the Great Elder brother of ours is being born in the feast of this year)

Iniuwai Ibo Yesus ito unu pate, ibo unu pate
(Jesus the Great Elder Brother of ours is being born tonight)

Iniuwi Ibo Yesus kidi domba ka awage make niyapate.
(Jesus the Great Elder Brother of ours is being born in the stable)

Ugatame ya dimi ka yoka, noukai Maria ya wawa etai
(The son of the Creator’s mind is laying peacefully in Mary’s lap)

Idima bage ipa me, Yesus niyapata mana wo yawegai
(Proclaim that Jesus, the one who loves all human beings, has been born)

Wo yawegai, wo yawudi, Yesus pata mana
(Proclaim and continue praclaiming about the birth of Jesus).

As articulated in this song, there are two most outstanding characteristics which provide the basis for the recognition of Jesus as the Iniuwai Ibo. The first characteristic is his being the Idima bage ipa mee (the one who loves all human beings) and the second is his being the Ugatame ya dimi ka yoka (the son of the Creator’s mind).

1. Being the Idima Bage Ipa Mee

From the above song, we have seen that Jesus is believed to be the Iniuwai Ibo on the basis of his being Idima bage ipa mee, which literally means the one who loves all human beings. Through this identification, actually, they intend to express his unconditional love for all. The following description will help us to understand how the Ekarian Christians understand Jesus’ unconditional love.

His All-inclusive Love

We assume that if the Ekarian Christians believe and experience Jesus’ all-inclusive love, they could express it in their spontaneous prayers and liturgical songs. Therefore, perhaps it would be helpful if we take one liturgical song they composed and see their understanding of Jesus’ all-inclusive love. Let us take a look at the following song.

Daba bage na aniya mee, peu bage na aniya mee, Yesus akiya mana
(The poor are also my people, the sinners are also my people, Jesus you’re saying)

Dobiyo bage na aniya mee, Ani ikiuwai Ibo topa, Yesus akiya mana
(The orphans are also my people, I am your Great Elder Brother, Jesus, you’re saying)

Didi bage na aniya mee, gaagaa teena bage na aniya mee, Yesus akiya mana
The sick are my people, the suffering are also my people, Jesus, your’re saying)

Tonowi na aniya mee, daba mee na aniya mee, Yesus akiya mana
(The rich are also my people, the poor are also my people, Jesus you’re saying)

Dege bage na aniya mee, buna bage na aniye mee, Yesus akiya mana
(The whites are also my people, the blacks are also my people, Jesus you’re saying).

Yame na aniya mee, yagamo na aniya mee, Yesus akiya mana
(Men are also my people, women are also my people, Jesus you’re saying)

Through this liturgical song they forcefully express their understanding of Jesus’ all-inclusive love. This song denotes a description and rccognition of Jesus’ all-inclusive love.

Aniya mee: Ekarian Christians’ Expression

The Ekarian Christians’ understanding of Jesus’ all-inclusive love is well expressed in the Ekarian term aniya me, which literally means “my people.” In the Ekarian sense, saying to somebody “you are my people” is a recognition that “you are neither strangers nor excluded.” Thus, through this song the Ekarian Christians proclaim that Jesus loves all people. Jesus welcomes all human beings without excluding anybody.

To the poor (daba), Jesus stands for their human dignity. He listens to their cry, their problems and needs. Jesus, then, shows his love for them by addressing their problem. He treats them as human beings. He accepts them as people. He respects each person as a daughter and son of the same Father. He shows it constantly through his saving action. He speaks to them about their dignity and worth as daughters and sons of the Father. He proclaims God’s constant care. He assures them that God’s justice is coming soon. He speaks words of hope, words of Jesus, through actions and words, proclaiming to them “All of you are also my people” (ikii na aniya mee). His brotherly love for them reveals his being the Iniuwai Ibo. It proclaims that “truly, I am your elder brother.” If Jesus were not the Iniuwai Ibo, he would not show his saving love for them. The Ekarian Christians identify themselves as the poor in their spontaneous prayers and always ask Jesus for help by pleading “Ini daba bage kaa, Jesus Iniuwai Ibo, aki nedadai” (We are also poor people, may Jesus the Great Elder Brother of ours help us).

Jesus also shows his unconditional love for the sinners (peu bagee). To the sinners he proclaims that they are also Aniya mee (my people). Jesus welcomes them as human beings. Through eating and drinking with them, Jesus expresses his fellowship and solidarity with them. Forgiving their sins, Jesus proclaims that they are also the daughters and sons of the same Father who cherishes all equally. Thus, sinners are not only forgiven, but empowered to change their lives. The sinners find encouragement, hope, strength in Jesus’s presence, actions and words.

The orphans (dobiyo) are not excluded. The Ekarian Christians see that Jesus also pays attention to the orphans. He welcomes them. He teaches them. As the Great Elder Brother Jesus takes responsibility for their lives. Through his presence and saving actions, Jesus proclaims that “you are also my people” (ikiina aniya mee). They experience his brotherly protection. They feel, therefore, that they have the Iniuwai Ibo to whom they can ask for protection and help.

To the sick and suffering, Jesus reveals himself as the Iniuwai Ibo. He listens to their pleas. Out of his compassion, he is deeply responsive to people in need, to the sick and sufferings. The sick, he heals. The victims of the devil spirit, Jesus exorcises. The suffering he releases from pain. Through such actions Jesus proclaims that they are also Aniya mee (my people). Through the healings and exorcism, the people recognize Jesus as “truly the Great Elder Brother of ours.”

Not only the poor, but also the rich are considered to be the people of Jesus. Jesus speaks of the death-dealing value that keeps the rich in bondage, which is the enslavement of the heart to riches, to self-serving security, to selfishness. Such attachment closes one’s heart and hands to the needs of people. Jesus also points out some life-giving values such as giving, caring, respect for human dignity, sensivity to others’ pain, a sense of compassion and generosity. He proclaims that giving is better than taking, sharing more freeing than hoarding. Jesus emphasizes the necessity of taking care of the needy and the poor. To the rich, Jesus proclaims clearly that life is more important than prestige, honor and wealth. He shows them the basic value of a human being which is not material thing but human dignity. This teaching is also found in the Ekarian saying aki mee too ma which means “the most important thing is your presence as a person.” Jesus preaches that power should be rooted in love and mutual service. He challenges people to be generous as he himself is. As the Iniuwai Ibo, Jesus takes responsibility to teach the rich. By so doing, Jesus proclaims that the rich are also Aniya mee (my people).

Thus the Ekarian Christians believe that Jesus’ love is not limited only to a certain family, or a tribe, or a religious tradition or a race. Jesus loves all people regardless of any boundaries made by humans. He, therefore, is the man for all. Based on this awareness, sometimes Ekarian Christians call Jesus ipa bokouto, which literally means “source of compassion.” Their belief in Jesus as the source of compassion is well expressed in the following song.

Yesus Iniuwai Ibo, ipanigai no
(Jesus, the Great Elder Brother of ours, show your compassion)

Yesus wae ipanigai no
(Jesus, show your compassion)

Iniuwai Ibo wae ipanigai no
(The Great Elder Brother of ours, show your compassion)

Why do the Ekarian Christians ask Jesus for campassion? There is an Ekarian saying: “if you need something, you go to meet the one who has the thing you need and ask for help.” For example, if you need wisdom, you should go to meet the one who is acknowledged to be a wise person. Based on this idea, in terms of compassion, the Ekarians Christians always ask for campassion from the one who is believed to be the source of compassion. Having believed in Jesus the Iniuwai Ibo as the source of compassion, they always ask for compassion from him. With courage they ask for compassion, because they believe that they are his people, his brothers and sisters.

Akiya mana: Ekarian Christians’ Recognition

After clarifying to whom Jesus says Aniya mee, the Ekarian Christians end every verse of the song with the phrase Yesus, akiya mana which literally means “Jesus, your saying.” The real meaning of the phrase is that “Jesus, that is your teaching.” Putting the phrase at the end of the verses, it is an expression of recognition. Through the phrase, the Ekarian Christians articulate their recognition on what Jesus has done repeatedly in his life and ministry.

The Ekarian Christians’ recognition on Jesus’ all-inclusive love is largely influenced by their cultural way of recognizing a person. The Ekarians in their culture pay very particular attention to actions. They believe that we can grasp the characteristics of a person primarily by examining his or her actions. The repeated actions of the Ekarians reveal personal characteristics. Thus, the starting point to determine whether a person has a good character or bad is through the examination of his or her actions. The Ekarians say, “Just by looking at his or her actions, you will come to know the character of the person.”

The spoken words are always taken into consideration as long as they are connected with the actions. The actions, then, can be affirming and/or negating one’s spoken words. Thus, one’s action is the only determining factor. If somebody speaks not from his or her experience, or the people have yet to see one’s action as the proof of the spoken words, Ekarians will force him or her to keep silence. The Ekarians will say, “Simply speaking for the sake of speaking, everybody can do that. Even a baby and the foolish are capable of it.” The spoken words which are not affirmed by actions are categorized as puya mana (telling a lie). Consequently, people would not listen to such a person whatever his or her profession, and how rich he or she may become. The Ekarians would listen to and trust people who have proven the spoken words in their actions. They will say “Keep saying, because it is truthful.” Thus, the Ekarians really pay attention to one’s actions and not to the spoken words. And the truth of one’s spoken word lies in action.

This Ekarian way of recognizing a person, which is primarily from the actions that one does repeatedly, determines one’s recognition of Jesus’ all-inclusive love. They must have examined Jesus’ life and ministry as articulated in the Gospels. Thus, in saying “Jesus, it is your teaching,” they recognize that Jesus has revealed all-inclusive love in his deeds and words. It is a recognition by which Ekarian Christians want to say that “It is very true that you always love all human beings. That is what you have revealed in, your life and ministry.”

The phrase Yesus, Akiya mana (Jesus, you’re saying) is also an expression of their own experiences interpreted in faith. Through the phrase, they want to articulate that “we have also experienced your love for us in our everyday life. Through the action of love, you announce to us that we, whatever our condition is, are your people. Thus, it is very true that your love is for all.” Thus, the recognition comes from their faith experiences, from what Jesus has done for them in daily life.

He Brings Life for All

Having seen in the Gospel what Jesus has done during his earthly life, and having reflected upon their experiences of faith, the Ekarian Christians begin to realize what Jesus brings into the world. If Jesus comes to bring something, it must be intended for all, not only for a particular group. This is because Jesus is the Great Elder Brother of all humankind. The Ekarian Christians clearly express what Jeaus brings in the following song:

Enaa umi-tou nimaine tiyake, Yesus mei meyao
(Jesus comes to give harmonious life)

Koya umi-tou nimaine tiyake, Yesus mei meyao
(Jesus comes to give peaceful life)

Ideide umitou nimaine tiyake, Yesus mei meyao
(Jesus comes to give joyful life)

Muka-muka dimi nimaine tiyake, Yesus mei meyao
(Jesus comes to give a healthy mind)

Ena dimi nimainetiyake, Yesus mei meyao
(Jesus comes to enlighten us)

Ini meido ipanigayake, mei meyao
(Jesus comes to love all human beings)

Through this song, the people articulate two things: what kind of life Jesus brings into the world and the way to create that life. As articulated in this song, the Ekarian Christians believe that Jesus comes into the world to bring life for all human beings. He has revealed it in his own life and ministry. Jesus brings life for the sick, for those who sorrow, the hungry, the thirsty, the needy, the weak, the sinners, and the poor. His presence always brings about life for all human beings. He is the giver of life. Through the above song they express their understanding of what kind of life Jesus brings into the world. The Ekarian Christians believe that Jesus comes to offer life which is peaceful, harmonious, and joyful.

Secondly, Jesus also reveals the way to create such a life. He shows it through his actions and teachings. The Ekarian Christians believe that the life that Jesus brings can be experienced in the world by following his deeds and words. It can happen when one’s mind is enlightened. Jesus, therefore, comes also to bring a healthy mind as well as to enlighten the mind of people.

As the Iniuwai Ibo, Jesus does not only bring earthly life. More than that, he brings eternal life which the Ekarian Christians call mobu to tou (which literally means “eternal satisfaction”). In the eternal life proclaimed by Jesus, the Ekarian Christians believe, there is no more suffering, domination, oppression, and manipulation. In the eternal life, everybody is treated equally as a daughter or son of the same Father. Sometimes the Ekarian Christians describe eternal life in the following phrases expressed in their prayers:

gaagaa ma beu makiyo
(the place where there is no more suffering),

wane ma beu makiyo
(the place where is no more darkness),

didi ma beu makiyo
(the place where there is no more sickness).

The Ekarian Christians, then, believe in Jesus as the giver of life. He offers life out of his love for all human beings. Jesus also shows the way to achieve and experience such a life not only after death but also in the world, now and here.

His Death as the Greatest Sign of His Love for All

Thc Ekarian Christian understanding of Jesus’ death is influenced by the cultural understanding of the one who sacrifices oneself for others. In the culture of Ekari, the one who sacrifices oneself for the sake of a community is highly respected. The death of the person will be remembered. The story of such a death is always handed down from one generation to the next because it is the greatest sign of his love for the community. There is an Ekarian saying “the one who died for the sake of us is the only great one.” The family and descendants of the person will be treated as brothers and sisters by the community. If one of the descendants faces a problem, whatever it is, the community will handle it.

As in their culture, the Ekarian Christians do not isolate Jesus’ death from his concrete history. They believe that during his life time, Jesus has shown his compassionate love through his deeds and words. It is the same compassionate love that Jesus reveals in his death. His death, is even perceived as the greatest sign of his unconditional love for us. This belief can be seen in their understanding of the passion and death of Jesus. In his passion, to the Ekarian Christians, Jesus reveals compassionate love for his brothers and sisters. Their understanding of falling when he carried the cross is well expressed in the following song:

Yagi yagi tita, piya boko udoka, yagi yagi tita
(Falls and falls again, for carrying the heavy cross, falls and falls again)

Yagi yagi tita iniya peu maida make, yagi-yagi tita
(Falls and falls again, for carrying our sins, falls and falls again)

Yagi yagi tita iniya puya mana wegai kouya maida make, yagi-yagi tita
(Falls and falls again, for our telling a lie, falls and falls again)

Yagi yagi tita iniya peuka, mee idima peu ka yagi yagi tita
(Falls and falls again, the sin of all human beings, falls and falls again)

Yagi yagi tita, ini meido ipa maida make, yagi-yagi tita
(Falls and falls again, for loving all human beings, falls and falls again).

Thus from the above song, we come to see that Jesus is depicted as carrying the heavy cross. The cross was heavy with our sins, the sins of all human beings. Thus, the cross Jesus carried is a symbol of the sins of everybody and all human beings. Jesus takes over our sins so that we become free from sin. As the Iniuwai Ibo, Jesus was readily carrying the heavy cross out of his love for his brothers and sisters.

The Ekarian Christians also believe that Jesus’ death on the cross is a powerful expression of his love. They believe that he died on the cross out of his love as he has revealed it in his life. During his lifetime, he has sacrificed himself for the sake of others. Now on the cross also Jesus sacrifices his body for others. The Ekarian Christians believe that his death on the cross is very salvific. It is the blood of his own body on the cross that cleanses all the sins of human beings. They express this belief in the following song:

Niyatumita emo ma nako no uwomako no
(The blood and water that spring out for us)

ini meido ipanigayake niyatumita emo ma nako no
(For loving human beings, the blood springs out from your own body)

iniya peudo niyawudaine tiyake.
(to cleanse our sins)

Ini meido ipa maida make piya boko maida niyabokata
(You die on the cross for loving us, all human beings)

Thus Jesus’ death on the cross to the Ekarian Christians is not a curse. It is a clear action of love.

Dying on the cross, Jesus truly reveals himself to the Ekarian Christians as the one and only Great Elder Brother of ours. Through his death, Jesus very strongly reveals his compassionate love for us unto the end of his life. Thus, Ekarian Christians recognize it by saying: “Truly, Jesus loves his brothers and sisters, even until his death on the cross.” He can surrender his body to be crucified for the sake of our life because he is the true Iniuwai Ibo. Having realized that, sometimes Ekarian Christians acknowledge him by saying Yesus okai too maa, which literally means, “Jesus is the only great.”

2. Being the Ugatame ya Dimi ka Yoka

The second most outstanding characteristic of Jesus as the Iniuwai Ibo is his being obediently faithful to God’s will. The Ekarian Christians express it by calling Jesus the Ugatame ya dimi ka yoka (the son of God’s mind). In order to articulate the second characteristic of being Iniuwai Ibo, we will, first, explore the meaning of Ugatame ya dimi ka yoka. Then we will descibe the characteristic of being the Son of God’s mind according to the Ekarian Christians’ understanding.

The meaning of Ugatame ya dimi ka yoka

The term ugatame consists of two words, namely, ugata and me. The term ugata means “have created,” and me means “person, or people.” So, Ugatame means “the one who created things,” or “the creator.” The term dimi literally means “the mind,” and the term yoka means a child either a boy or a girl. Therefore, Ugatame ya dimi ka yoka means the son of God’s mind. What do the Ekarian Christians mean by this title?

In the Ekarian sense, there is a big difference between God’s son (Ugatame yoka) and the son of God’s mind (Ugatame ya dimi ka yoka). Ekarian Christians believe that all human beings are the children of God. A man or woman is, therefore, perceived as God’s child (Ugatame yoka). Jesus, then, is a son of God. Here, Jesus is the same as other sons of God. In the culture of Ekari, every son is expected to reveal the dimi of God, the Father, in everyday life.

However, the Ekarian Christians in their prayers and liturgical songs never call Jesus the Iniuwai Ibo, God’s son (Ugatame yoka). Rather, they believe in him as the Son of God’s mind (Ugatame ya dimi ku yoka). What do the Ekarian Christians mean by calling Jesus “the Son of God’s mind?”

In the culture of Ekari, one is recognized as the son of his father’s mind, if people see that he repeatedly reveals the dimi of his father in his saying and doing. Such a son is acknowledged as nakame dani, which literally means “like his father.” The Ekarian’s recognition is expressed in the phrase nakame ya dimi ka yoka, which literally means “the son of his father’s mind.” This kind of recognition is usually given by others, not by himself. Such a recognition basically comes after having examined his words, deeds, and behavior in his life for a long time. A son of the sons of a wawa (the bringer of salvation) is highly expected by the community to be the son of wawa’s dimi.

Following the cultural notion of the son of the father’s mind, the Ekarian Christians came to recognize Jesus as the Ugatame ya dimi ka yoka, the Son of God’s mind. This attribution is applied to Jesus by the Ekarian Christians, after having examined his life, ministry and death as narrated in the Gospels and proclaimed by the Church. Jesus, the Iniuwai Ibo, is called “the Son of God’s dimi” because they believe that what he did and said during his lifetime was in line with the will of the Great Father. They believe that Jesus has revealed God’s mind through his life and ministry. In the eyes of Ekarian Christians, among all the sons of God, Jesus is the one and only Son of God because he has followed the dimi of the Great Father faithfully and perfectly, even unto death. His being the Son of God’s dimi among and above God’s other children leads the Ekarian Christians to believe in and acknowledge Jesus as the Great Elder Brother of ours. Thus, if one intends to know God’s will or God’s dimi, one should examine the life, ministry and death of Jesus the Iniuwai Ibo.

His Obedient Faithfulness to God’s Dimi

The Ekarian Christians believe that God, Initai ibo, is the only source of everything that is good. God has only good intentions, good will and good ideas. There is nothing in him that is bad. He is the only source of compassion (ipa bokouto). God never punishes his children. Rather, God has given to each of his children his dimi to be the guidance of life. Being blessed with his own dimi, everybody is expected to live it out in ordinary life.

Following the will of God, in the Ekarian Christian sense, means to see (dou), to judge or think (gai), and to act (ekowai) according to the will (dimi) of the Great Father of ours. Only if constantly living out God’s dimi in everyday life, can one be recognized as the son of God’s mind. Thus, to say that someone is the son of God’s mind is to recognize that the person has repeatedly lived out God’s will in his or her earthly life by seeing (dou), thinking (gai), and then acting accordingly (ekowai).

So when the Ekarian Christians believe in Jesus as the Ugatame ya dimi ka yoka, they recognize his obedient faithfulness to God’s mind. Through the phrase, they recognize that Jesus has truly lived out the will of God in his earthly life. They believe that he has emphasized the dimi of God, the Great Father of ours, above all in his life by seeing, judging and acting according to God’s mind. Jesus sees (dou) the poor, he listens to (dou) the plea of the sick; he is moved by compassion (gai); He, then, acts accordingly (ekowai). They believe that Jesus follows the dimi of God until his death. Jesus is, therefore, the only son of God’s mind, to Ekarian Christians, precisely because he has followed the will of God faithfully and perfectly. The recognition comes after having examined Jesus’ life and ministry during his earthly life.

Another Ekarian way of acknowledging his obedient faithfulness to God’s will is by saying Yesus ki Initai Ibo ya dimi nota. This phrase literally means “Jesus has eaten the will of God.” By so saying, the Ekarian Christians want to communicate that Jesus has received, personalized, internalized, and therefore lived out the will of God, the Father of ours, in his life, ministry and death.

Since Jesus has been obediently faithful to God’s dimi, the Ekarian Christians believe that every action that Jesus does is always in line with God’s dimi or the will of God. By healing the sick, comforting those who are mourning, feeding the hungry, accepting sinners, standing up for the sake of the weak and poor, and all the life-giving actions, Jesus prolongs, expands and enriches the life of the people. The Ekarian Christians believe that Jesus, through such actions, reveals God’s dimi. Since he has perfectfully exercised the will of God, Ekarian Christians recognize him as the Inuwai Ibo.

His perfect obedience to the will of God leads the Ekarian Christians to believe that Jesus’ teaching also reveals the will of God, the Father of ours. Since God is believed to be the only source of all good things, every word that comes from Jesus is also truly good news. The Ekarian Christians express it in the following song:

Yesus ya mana, kabo mana,
(The words of Jesus, the foundation of all good news)

Ugatame ya mana, kabo mana,
(The word of the Creator is the foundation of all good news)

Mana-mana, kabo mana, epauto mana
(The true news, the foundation of all good news, the source of the news).

Thus, all that Jesus proclaims is the foundation of all good news. It is the source of the news. It is because what Jesus proclaims is coming from God’s dimi.

Following the cultural way of recognizing a person as mentioned above - the Ekarians would listen to the spoken words which affirmed by actions - the Ekarian Christians see that Jesus does not proclaim God’s will without proving it by his deeds. His saving actions affirm his good news. The Ekarian Christians see that Jesus proclaims what he lives. Hence, Jesus’ teaching is truthful for them. The truth of his teaching lies in his ministry. They come to recognize that Jesus’ teaching is truly good news, because he has proved it in all his life, ministry and death. Therefore, the Ekarian Christians want to listen to him, to the Gospels. Their willingness to listen to Jesus’ teaching is very clearly expressed in the following song:

Dimi damo kegepa damo kebai niyakebai
(Open our minds and hearts)

Injil mana yuwine no
(Because we would like to listen to the Gospel)

Ena mana yuwine no
(Because we want to listen to the enlightening news)

ena mana yuwine no,
(Because we want to listen to the good news,)

ideide mana yuwine no,
(Because we want to listen to the joyful news,)

papaa mana yuwine no

(Because we want to listen to the enlightening news)

Yesus aki neno kapeine no,
(Jesus, we want to follow your footsteps)

kebai, niyaikebai, Initai ibo aki kida kebai niya kebai
(God, the Father of ours, you yourself open our hearts and minds).

In other words, from the perspective of Ekarian culture, we can say that what makes Jesus’ teaching truly good news in the eyes of Ekarian Christians is his saving actions. Seeing his deeds, they want to listen to Jesus’ teaching, to the Gospels. If Jesus never lived what he proclaimed in his life, there is no reason to listen to his teaching. Without the witness of his actions, how can people come to know that Jesus’ teaching is truly good news? It is his saving actions that make the Ekarian Christians recognize his obedient faithfulness to God’s dimi and listen to his teaching.

Thus, after having examined Jesus’ actions and teachings as narrated in the Gospel and proclaimed by the Church, as well as experienced in their daily life, the Ekarian Christians come to recognize his obedient faithfulness to God’s mind or God’s will. His perfect obedience to God’s will, as proven in his life, ministry and death, becomes the second most outstanding characteristic that leads the Ekarian Christians to recognize Jesus as a true Iniuwai Ibo. Thus, Jesus is believed to be the Iniuwai Ibo, because of his unconditional love for all and his perfect obedience to God’s dimi.

Jesus the Touto Owa (the Living House)

After articulating the Ekarian understanding of Jesus as the Iniuwai Ibo, we continue to reflect on how the Ekarian Christians experience his presence in their daily life. Based on their experiences of Jesus’ presence in their life, sometimes the Ekarian Christians in their spontaneous prayers and liturgical songs call Jesus the Touto Owa. The Ekarian term touto means “living,” and owa means “house.” So, to call Jesus the Touto Owa means to believe in him as the Living House. They depict the presence of Jesus like a house in which they dwell.

In order to understand better how the presence of Jesus in their life leads them to symbolize Jesus as the Living House, we will describe the meaning of the presence of Jesus in their life as expressed in their spontaneous prayers and liturgical songs. We will then proceed to reflect on how they symbolize the presence of Jesus as the Touto Uwa. Finally we will elaborate a bit more about what they mean by calling Jesus our Living House.

The Meaning of the Presence of Jesus in Daily Life

The Ekarian Christian’s belief in the presence of Jesus in their life is well expressed in the following song:

Nitopi no, nidoutopi no
(Still being with us, taking care of us)

Yesus Kristus, Inuwai Ibo, nidoutopino
(Jesus Christ, the Great Elder Brother of ours, is still taking care of us)

Yesus ki inima nitougi kiya, umi woya-tou woya nituogi kiya
(Jesus is always with us, forever and ever with us)

As articulated through this song, they believe that Jesus is still with us. He is still taking care of us. And Jesus will be with us forever and ever.

For the Ekarian Christians, the death of Jesus does not mean the end of his presence. They experience that Jesus, who was crucified, is still alive. They have been experiencing his presence after his death. From their salvific experience interpreted in faith, they believe that Jesus is not far away. They feel his brotherly protection in everyday life situations.

The meaningful and salvific significance of the presence of Jesus is deeply felt in time of crisis. When they encounter the problem that threaten their life, they come to find the saving presence of Jesus. They believe that his presence is always to prolong and extend their life. The following song very clearly expresses how they experience the saving presence of Jesus, the Inuwai Ibo, in their ordinary life.

Akima too, Yesus akima too
(With you, Jesus, we are with you)

Didi duba maiya akima too,
(When we get sickness, we are always with you)

gaagaa duba maiya akima too
(in time of suffering, we are with you)

Naidi duba maiya akima too,
(When we feel thirsty, we are with you)

Igapu duba maiya akima too,
(When we feel hungry, we are with you)

Akima too, Yesus akima too
(We are with you, Jesus, we are with you).

Through this song, the Ekarian Christians express their experience of the saving presence of Jesus the Iniuwai Ibo. The saving presence is deeply experienced when their life is threatened. When the Ekarian Christians feel thirsty, they believe that the presence of Jesus brings about life. When they feel hungry, the presence of Jesus saves them.

In this song, we see that they end every verse by the phrase akima too, which literally means “always with you” or Yesus akima too, which literally means “always with you, Jesus.” This phrase denotes an expression directed to Jesus. Through the phrase they communicate to Jesus about their experiences of his saving presence. The basis to recognize the presence of Jesus is their salvific experiences interpreted in faith. Here, the Ekarian Christians are speaking from their experiences of faith. The experience of his saving presence in their life is the starting point. Thus, it is after having reflected on their salvific experiences that they come to acknowledge Jesus’ presence. It is, therefore, to emphasize their experience of Jesus’ presence, the formulation of the phrase is not “Jesus is with us,” but “we are always with you.” We have experienced his saving presence in our life. They want to say to Jesus “Jesus, we have been experiencing your saving presence. We never feel alone in our life. We feel we are always with you, Jesus.” Through this phrase they express their belief that no matter how bad things look at times, the problems and evil can be overcome. It is Jesus’ presence that saves, prolongs and enriches their lives. They confess his saving presence by saying Yesus akima too (with you, Jesus). The phrase Yesus akima too, then, is a clear recognition of the presence of Jesus on the basis of faith experiences in their lives.

According to the Ekarian Christian understanding, since we are always with Jesus, there is nothing to be afraid of. The Ekarians believe that Jesus’ presence strengthens them to face any problem they meet. When someone wants to go alone to another village by passing through the forest, other Ekarian Christians will remind the person of the presence of Jesus with him or her by saying: “Aki too ko beu ka, epa beu ka uwi.” It literally means “Do not be afraid, because you are not alone.” It obviously suggests that “You are not alone. You are with Jesus, the Great Elder Brother of Ours.” When the Ekarian Christians in their village gather to share their faith experiences of the saving presence of Jesus in their lives, a lot of stories are told. At the end of each story, they sum up with their belief in the saving presence of Jesus by saying “Yesus okaima koda,” which literally means, “It is because I was with Jesus.” Through this phrase, they want to communicate that “At that moment, I was saved, because of Jesus’ presence.” It is a recognition of Jesus’ presence, on the basis of their own experience interpreted in faith.

Believing in Jesus, they pray to him so that he continues to be with them in the future. Their belief about the presence of Jesus in the future is well expressed in the following song:

Niuwiye, Yesus aki tiga niuwiye
(Go with us, Jesus, we are before you)

Ita kotuwai, Yesus aki tiga niuwiye
(In facing the difficulties, Jesus, may you go with us)

Koto kotuwai, Yesus aki tiga niuwiye
(In encountering the temptations, Jesus, may you go with us)

Udo no gaiya kodoya, Yesus aki tiga niuwiye
(Life is not so easy, Jesus, may you go with us)

Kaga no gaiya kodoya, Yesus aki tiga niuwiye
(Sometimes we get tired, Jesus, may you go with us)

Weda no gaiya kodaya, Yesus aki tiga niuwiye
(Sometimes we are afraid of something, Jesus, may you go with us)

Uwi yawi dobaiga, Yesus aki tiga niuwiye
(Wherever we go, Jesus, may you go with us)

Didi gaagaa dobaiga, Yesus aki tiga niuwiye
(In coping with sufferings and sickness, Jesus, may you go with us)

Igapu naidi kuuga, Yesus aki tiga niuwiye
(When we feel thirsty and hungry, Jesus, may you go with us)

Thus, the Ekarian Christians believe that Jesus is always with them. They have been experiencing his presence as the live-giving and compassionate presence. His presence is to prolong, deepen, and enrich their everyday life.

Touto Owa as the Symbol of Jesus’ Presence

One of the symbols they use in visualizing the loving presence of Jesus in their lives is that by means of owa, which means “house.” Thus, a house is used to symbolize Jesus’ presence. They use this symbol in their spontaneous prayers. Before communicating their intention sometimes they begin their prayer with the following sentences:

Yesus, Aki too Iniuwai Ibo
(Jesus, you alone are the Great Elder Brother of Ours)

aki too iniya Touto Owa kabo
(You alone are the living foundation of our house)

Aki too iniya uguwo ka kabo mee kabo
(You alone are the foundation of our family and human beings)

Aki too Touto Owa takago uguwo ka takago
(You alone are the pillar of house and family)

Aki too Touto Owa yaga idima meido ka yaga
(You alone are the wall of house and all human beings)

Aki too Touto Owaiye, ini meido ka Touto Owaiye
(You alone are the roof of house and everybody)

Akitoo iniya Touto Owa
(You alone are the living house of ours)

(......they continue offering their intentions..... )

There are two reasons for the Ekarian Christians to use the symbol of house in visualizing the salvific presence of Jesus. First, the Ekarian Christians use the symbol of owa on the basis of its significance for life. A house (an owa) is one of the basic needs of human beings. It is undeniable that every human being, either rich or poor, regardless of race, culture, or religious tradition, needs a shelter of whatever form and size. Emphasizing the significance of house, there is an Ekarian saying owa geepa make too mee ko epe ya tiya. It literally means “a person cannot live and grow peacefully unless under the protection of a house.” Thus, without having shelter, one cannot live his or her life in safety. Wherever we go, therefore, we always need shelter.

Secondly, they take the symbol used to express the significant presence of a wawa in their culture. The Ekarians use the symbol owa to express the significant presence of a wawa as the bringer of salvation in the community. The Ekarian Christians now use the same cultural symbol to express the salvific significance of Jesus’ presence.

Nevertheless, as articulated in the quotation of the above spontaneous prayer, the Ekarian Christians do not revere Jesus as an owa. Rather, they symbolize him as the Touto Owa (the Living House). There are two reasons. First, from their experiences, the Ekarians know that their house is not strong enough. They build their house out of wood. Every three or four years they have to build a new house. They experience that their house can easily be destroyed by natural disturbances such as the rain, wind and the like. Their houses can be shattered, destroyed, or become rotten by termites and insects. Therefore, they realize that Jesus’ presence cannot be symbolized by the ordinary house.

Secondly, the significant presence of a wawa is experienced only during his life time. After his death, they do not experience his presence at all. Thus, the meaningful presence of a wawa is restricted to his earthly life and to his community. On the contrary, the salvific presence of Jesus is for all and for ever. The Ekarian Christians have been experiencing the salvific presence of Jesus, even after his death. During his lifetime, Jesus offered himself as the shelter of all human beings. Jesus has shown his being the Living House, the shelter for the poor, the sick, and the outcast. In Jesus they regained their God-given human dignity. In our day, Jesus is still at work saving us. The saving presence of Jesus was, is, and will be saving and bringing about life for his brothers and sisters. Having realized the everlasting presence of Jesus, the Ekarian Christians symbolize Jesus as Touto Owa.

1. Jesus as Touto Kabo (the Living Foundation)

The Ekarian term kabo literally means “the foundation of a house.” The function of the foundation is to sustain the house. Realizing such a function, the Ekarians always take some special wood, acknowledged as very strong, for the foundation of their houses. They know the significance of kabo in building up a house. The kabo must be placed properly. When people lay the kabo, they remind the owner of the house by saying “Kabo tiga epimake tai.” Literally this means “First of all, you must lay down properly the foundation of the house.” Otherwise, the house can easily collapse, because of a little wind. Consequently, the family will suffer.

Nevertheless, they do not symbolize Jesus’ presence as the kabo of a house, because the foundation of a house can be destroyed by natural disturbances. It is also impermanent. On the contrary, the presence of Jesus is experienced as undestroyable and durable. It sustains the life of human beings forever and ever. Reflecting on their life experiences in the light of faith, the Ekarian Christians come to believe that the salvific presence of Jesus in their ordinary life is like a living kabo. Thus, they experience the presence of Jesus as the foundation of their life. They believe that Jesus, the Iniuwai Ibo supports and sustains the life of all human beings regardless of race, culture and religious tradition. Everybody lives their life based on Jesus as the living foundation. Hence, Jesus is called touto kabo which means “the living foundation of life.” This is the reason why Ekarians also believe his Gospel as Kabo mana. This means, the Gospel is perceived as the life sustaining foundation.

2. Jesus as Touto Takago (the Living Pillar)

The Ekarians call the pillar of a house takago. Only the pillar can make a house stand up. Without the pillar, there is no house. Even a tent needs a pillar. Realizing its function, the Ekarians use some particular kind of trees, acknowledged as very strong, to be the pillar in building up their houses.

Based on their experience interpreted in faith, the saving presence of Jesus is symbolized as takago of life. Jesus is believed to be the main pillar of life. They believe that Jesus is also the main pillar of everybody, family, community, society and all humankind. Having realized that his saving presence as the main pillar of life is forever and for all human beings, the Ekarian Christians depict him as the touto takago (the living pillar).

3. Jesus as Touto Yaga (the Living Wall)

Literally the Ekarian term yaga means “the wall of a house.” A wall is a boundary between inside and outside of the house. The wall protects everybody occupying the house from all disturbances coming from outside so that people can safely live inside.

Reflecting on their life experiences in faith, they come to realize how Jesus has been protecting them. They symbolize Jesus as the yaga of life, the wall of life. Everybody is protected against danger. During the night, Jesus becomes the wall of the family, so that the family can feel warm (the Ekarians live in a cool area), and take rest without any disturbance from outside.

However, Jesus is not identical with the ordinary yaga that is because the wall of a house is immovable and can be damaged. For instance, a person with a bad intention can break down the wall of a house. Jesus is forever the wall of life and for all human beings. He protects human beings wherever they go. Having realized that, Ekarian Christians call Jesus as the touto yaga, the living wall.

4. Jesus as Touto Owaiye (the Living Roof)

The Ekarian term owaiye, literally, means “the roof of a house.” People cannot live in a house without having any kind of a roof. One can live safely in a house under the protection of the roof. Therefore, the Ekarian always use a special tree bark or a special wild grass as the roof of their houses. The roof protects everybody inside the house from the rain and heat.

Based on the saving presence as experienced by Ekarian Christians, they believe that Jesus has been their shelter. Jesus’ presence is experienced like an owaiye which protects everybody and the family from the rain and heat. All the people, regardless of religion, culture, race or profession experience his brotherly protection.

However, from their experiences they know that the roof of their houses are not durable. A roof can be shattered, destroyed, or become rotten by various causes. The roof is also immovable. Jesus, then, cannot be equated with an ordinary roof. Jesus is experienced as protector of life. Jesus is with all his brothers and sisters protecting them anytime and anywhere. Having realized the saving protection of Jesus for all and forever, the Ekarian Christians picture him as the Touto Owaiye, the living roof.

Jesus as Iniya Touto Owa (Our Living House)

From the above description, we see that Ekarian Christians experience the saving presence of Jesus as the Touto Owa (the Living House) sheltering all human beings. Ackowledging his presence with them, they confess Jesus as Iniya Touto Owa, which literally means, “Jesus, our Living House.” By so saying, they want to communicate that we, all human beings, have been living in Jesus, the Living House of ours. In Jesus as the Living House of ours, every human being comes, sits, sleeps peacefully and feels comfortable. We feel safe in him. When the rainy season comes, Jesus is the sheltering place. Under the heat of the sun, he is the shady place. Jesus is truly our Living House for in him we live and move and have our being. Thus, Jesus the Living House of ours (the Iniya Touto Owa) is already a symbolical recognition of what we have been experiencing from Jesus in our earthly life. They recognize that we are living our earthly life in Jesus, our Living House. As Iniya Touto Owa, Jesus is believe to have been sustaining our life, strengthening us, and protecting us in our earthly life situation.

It does not mean that the presence of Jesus as the Living House is limited to our eathly life. Jesus is also believed to be the Touto Owa, even in the life after death. The Ekarian Christians believe that when we die we will go to the eternal house where Jesus is. They express this belief in the following song:

Yawegi/a kaa, Allah wae damo yakebaiye
(He/she has come to you, o God, so open the door)

Makida yaikidokiyake aki yoka (the name of the dead) yawegi/a kao, damo yakebai
(Having left the world, your son/daughter.... has come to you, o God, so open the door)

Ibo Iniitai, akiya owa pa yawegi/a kao, damo yakebai
(The Great Father of ours, he/she has come to your house, o God, so open the door)

Ibo Iniitai, akiya gaagaa ma beu owapa yawegi/a kao, damo yakebai
(The Great Father of our, he/she has come to your house where there is no more suffering, o God, so open the door.)

Yawegi/a ka, Allah wae, damo yakebai
(He/she has come to you, o God, so open the door)

Through this song people pray to God so that he may open the door of his house. They believe that in the house of the Father there is no more suffering. They pray to God so that God may open the door accepting the dead, letting him or her to be with the Father, and Jesus forever. It does not mean that God will not open the door if they do not beg him. Rather, they pray to God because they believe that Initai Ibo, the Great Father of ours, who loves all human beings, will accept him or her. How can a father reject his own son or daughter and refuse to stay with him in his house? It is impossible. If God is our Father, his house is also the house of his children. It is our house.

Thus, the Ekarian Christians believe that during earthly life Jesus has been the living house of ours. We have been experiencing his saving presence in our life. And after death, we will go the Father’s house where God the Initai Ibo and Jesus the Iniuwai Ibo are. So, we are with Jesus, not only in this earthly life but also in the life after death, in the house of the Father.

Conclusion

Having analyzed the Ekarian understanding of Jesus as expressed in the two names, we could say, as a conclusion, that Jesus is given the title Iniuwai Ibo for his unconditional love for his brothers and sisters and his faithful obedience to the dimi of God. Out of love, he has brought life for all in the world. His life is extremely dedicated to others, for the sake of his brothers and sisters. He is also dedicated to his Father. His saving presence is symbolized as the Living House, the Touto Owa. During our life time in the world, the Ekarian Christians believe, we live in Jesus the Living House of ours, and after death we will go to live in the house of Father, where the Great Elder Brother of Ours is. Thus, the presence of Jesus with us is forever.

NOTE

1.Frank L. Cooley, Indonesia: Church and Society (New York: Friendship Press, Inc., 1968), p. 60.