Kamis, 30 Oktober 2008

Arsip untuk ‘Latar Belakang Dan Sejarah Konflik Timur Tengah’ Kategori


Latar Belakang Dan Sejarah Konflik Timur Tengah VIII
Oleh Dr. Jeff Hammond

Artikel 8 : Keadaan Kaum Yahudi Dan Kaum Arab di Palestina Di Zaman Ottoman (1517 M - 1917 M)

Karena seri artikel kita membawa kita lebih dekat kepada generasi kita maka semakin penting untuk kita mengetahui keadaan Palestina menjelang daerah itu menjadi rebutan dan pemicu berbagai perang yang telah menghantui duni selama 100 tahun sampai sekarang. Salah satu pertanyaan kunci adalah apakah orang Israel berhak berada di Palestina? Menurut Presiden Iran, Ahmadinejad, Israel harus diusir sebagai penjajah yang tidak mempunyai hak sama sekali untuk mendiami Tanah Palestina. Apa benar Israel penjajah ataukah justru Israellah yang memiliki hak mutlak atas Palestina sebagai satu-satu suku penduduk negeri tersebut yang secara permanen, selama ribuan tahun menghuni dan mengolah tanah tersebut?

Bangsa Yahudi di Palestina selama 3500 tahun secara permanen

Fakta sejarah menunjukkan bahwa bangsa Israel, terutama ‘Kerajaan Yehuda’ adalah satu-satunya suku bangsa yang secara permanen telah mendiami tanah Palestina, tanpa putus, selama 3500 tahun sejak Nabi Musa membawa Israel ke perbatasan Kanaan lalu Yosua dan Kaleb memimpin Israel masuk dan menguasai seluruh negeri itu.

Di dalam artikel-artikel sebelumnya kita sudah melihat banyak bukti eksistensi Israel di Palestina. Dalam artikel ini kita akan melihat pula berbagai bukti dari sejarah modern, yaitu dari zaman Ottoman sampai 90 tahun yang lalu bahwa mayoritas penduduk Palestina selama sejarah, selamanya orang Yahudi.

Ada banyak sumber Arab yang mengkonfirm fakta bahwa mayoritas penduduk Palestina selama zaman pemerintahan Arab adalah orang Yahudi. Biasanya fokus kita adalah pada Diaspora, yaitu orang-orang Yahudi yang tersebar di berbagai bangsa Timur Tengah dan Eropa sejak zaman pemerintahan Roma/Bizantin.

Pada tahun 985 penulis Arab, Muqaddasi, telah mengeluh bahwa di Yerusalem mayoritas besar penduduk adalah Yahudi, lalu dia berkata bahwa “Mesjid sudah kosong, tidak ada yang bersolat…”Dalam kesaksian Ibn Khaldun, salah satu sejarahwan yang paling terkenal telah menulis pada tahun 1377 :

“Kedaulatan Yahudi di Tanah Israel telah berlangsung lebih dari 1400 tahun…Itulah orang Yahudi yang menanam kebudayaan dan adat istiadat di perkemahan permanen”.

Selanjutnya setelah 300 tahun pemerintahan Arab di Tanah Suci, Ibn Khaldun mengakui bahwa kebudayaan dan tradisi Yahudi tetap dominan. Itu adalah fakta sejarah bahwa sampai waktu itu sama sekali tidak ada bukti hadirnya kebudayaan atau perkampungan bahwa yang masa kini disebut “orang Palestina” sudah berakar di daerah Palestina. Ingatlah bahwa orang Palestina masa kini adalah campuran keturunan Arab dari berbagai bangsa Arab yang bersumber di Yaman.

Ahli sejarah Timur Tengah, James Parker menulis : “Selama abad pertama penjajahan Palestina oleh tentara Arab (670 M - 740 M), Kalif dan gubernur Suriah dan Palestina memerintah atas penduduk yang hampir seluruhnya adalah Kristen dan Yahudi. Selain beberapa Bedouin (suku Arab yang suka mengembara) pada awal penjajahan itu, semua orang keturunan Arabs yang di sebelah barat sungai Yordan adalah benteng-benteng tentara”.

Walaupun tentara Arab berkuasa di Palestina dari 640 sampai 1099, mereka tidak pernah menjadi penduduk mayoritas. Selama masa itu mayoritas penduduk adalah Kristen (suku bangsa Asyur dan Armenia) dan orang-orang Yahudi.

Selain dokumen-dokumen sejarah, kesaksian-kesaksian dalam penulisan para saksi mata dan pernyataan-pernyataan para sejarahwan Arab yang paling terkenal yang mendukung fakta orang Yahudi adalah penduduk utama dan mayoritas di Palestina, kita dapat baca juga dalam Al-Quran, SURAT 17. AL ISRAA’ 104, bahwa penduduk Palestina adalah bangsa Yahudi dan Allah berkata kepada mereka : “Tinggal dengan aman di Tanah Perjanjian.” (lebih lanjut…)


Latar Belakang Dan Sejarah Konflik Timur Tengah VII
Oleh Dr. Jeff Hammond

Artikel 7 : Masa Khilafah Ottoman Di Wilayah Palestina (1517 M - 1917 M)

Semakin nyata dalam pembahasan tentang Khilafah Ottoman 1517-1917 bahwa inilah periode yang sangat berpengaruh atas latar belakang situasi Timur Tengah yang masa kini kian hari kian berbahaya. Oleh sebab itu, kita akan melihat dalam dua artikel tentang sejarah dan keadaan Palestina karena sejarah masa lampau adalah kunci memahami masa kini dan arah perjuangan berbagai pihak yang kini semakin nyata. Pembahasan ini tidak bermaksud menyerang satu atau lain pihak, sebaliknya untuk memeriksa fakta-fakta sejarah demi memahami dasar pergolakan Timur Tengah.

Pada tahun 1517 Yerusalem dan seluruh Tanah Suci dikalahkan dan dikuasai oleh Khilafah Ottoman yang berpusat di Turkey dan mereka berkuasa selama empat abad sampai tahun 1917, waktu tentara Inggris meraih Kota Yerusalem dan menetapkan yang disebut “Mandat Palestin”. Peristiwa itu telah menandakan berakhirnya Khilafah Ottoman, yang sampai tahun itu telah menjadi satu-satunya pemerintahan atas seluruh wilayah Arab dan atas setiap bangsa Arab. Mulai tahun 1917 bangsa-bangsa Arab mulai mengklaim otonomi dan kemerdekaannya sehingga masa kini ada 22 bangsa Arab yang independen dan berdaulat di Timur Tengah. Walaupun zaman itu sering disebut Zaman Emas Islam ternyata dampak positifnya hanya dirasakan di Palestina selama 50 tahun pertama pemerintahan Ottoman di Timur Tengah.

Sultan Sulaiman Alqanuni merebut Yerusalem 1517

Pasca Perang Salib dan bangkitnya dominasi Islam di seluruh Timur Tengah oleh Khilafah Abbuyid dan Mamluk, telah muncul suatu kekuatan baru yang berpusat di Istambul (dulu Konstaninopel) sehingga pada tahun 1517 Yerusalem jatuh ke tangan Khilafah Ottoman yang akan berkuasa di seluruh Timur Tengah sampai 1917. Khilafah Ottoman akhirnya dikalahkan oleh Attaturk yang telah menjadi Presiden pertama Turki modern yang telah menjadikan Turki bangsa sipil dengan Islam sebagai agama utama di antara beberapa agama lainnya.

Walaupun Khilafah Ottoman telah sangat menghargai Mesjid Al Aqsa dan Mesjid Kubah Al-Saqra sebagai tempat terhormat ketiga dalam agama Islam, si Sultan Sulaiman tidak menganggap Yerusalem cocok untuk menjadi ibukota wilayah itu.

Limapuluh tahun pertama kepemimpinan Ottoman adalah masa kemakmuran di Yerusalem, sebagaimana di seluruh kedaulatan Turki. Di bawah pimpinan Sultan Sulaiman Alqanuni, mencapai puncak pemulihannya secara budaya, ekonomi dan militer. Pada tahun 1532 sistem perairan diperbaiki dan di antara 1538 dan 1541, setelah 320 tahun, tembok Yerusalem diperbaiki dan dibangun kembali. Inilah tembok-tembok yang masih ada di keliling Kota Tua sampai hari ini. (Lihat sejarah itu dengan lebih lengkap di buku yang diedit Nitza Rosovsky; City of the Great King: Jerusalem from David to the Present; Harvard University Press: Cambridge, 1996; hal.25)

Pemulihan Tembok Yerusalem dilakukan karena tentara Ottoman takut tentara Mamluk mau berusaha merebut kembali Kota Yerusalem. Selain itu Sultan Sulaiman telah memperindah Kubah Al-Saqra dengan tehel-tehel berwarna hijau dan biru yang terbaik dari Persia. Namun setelah Sultan Sulaiman Alqanuni keadaan Yerusalem dan seluruh wilayah Palestina dibiarkan. Ekonominya menurun drastis, penduduknya mengungsi ke Siria, Libanon dan Mesir, dan wilayah ini kembali menjadi wilayah yang sangat sunyi. (Sejarah masa itu dapat diselidiki lebih jauh dalam buku oleh Idinopulos, Thomas A.; Jerusalem Blessed, Jerusalem Cursed; Ivan R. Dee: Chicago; 1991) (lebih lanjut…)


Latar Belakang Dan Sejarah Konflik Timur Tengah VI
Oleh Dr. Jeff Hammond

Artikel 6 : Palestina Pasca Perang Salib Dan Masa Kedaulatan Islam (1187 M - 1516 M)

Sering kali Perang Salib dibagikan menjadai delapan periode :

1. 1095-1101;
2. 1145-1147;
3. 1188-1192;
4. 1204;
5. 1217;
6. 1239;
7. 1249-1252;
8. 1270.

Namun pembagian ini tidak termasuk banyak ekspedisi kecilan yang telah terjadi sampai 1669.

Pada dasarnya Perang Salib adalah kebijakan politik Gereja Katolik dan khususnya Paus yang selama periode itu lebih berkuasa daripada raja-raja di bangsa-bangsa Eropa. Terjadinya Reformasi yang dipimpin Martin Luther mulai tahun 1517 telah membawa suatu perubahan besar dalam pandangan dunia Kristen terhadap peranan agama Kristen dalam perang dan penginjilan. Terjadinya Reformasi telah menyebabkan rencana Paus Leo X untuk melancarkan Perang Salib pada tahun 1517 utk menyelamatkan kota Konstantinopel (Istanbul) dari penjajahan Tentara Ottoman Turki batal.

Para pemimpin Reformasi, Gerakan Protestan itu yang dipimpin Luther telah menyatakan Perang Salib adalah dosa, karena Tuhan telah pakai orang Turki untuk menghukum dunia Kristen karena dosa-dosanya yang banyak.

Di wilayah Palestina, laskar-laskar Salib diusir secara total pada tahun 1291 waktu mereka diusir dari kota Acre. Setelah itu wilayah Palestina memasuki “masa kegelapan” karena pemerintahan dengan kekerasan oleh Kerajaan Mamluk dari Mesir ditambah beberapa pandemi penyakit.

Masa Ayyubid – Mamluk

Pada tahun 1187, Saladin telah menetapkan kembali pemerintahan Abbasid atas Fatimid Misir dan telah menaklukkan kota Yerusalem. Selama 700 tahun berikut Yerusalem dikuasai pemerintahan Islam (Abbuyid dan Ottoman), kecuali beberapa tahun saja. Walaupun Salah Al-Din berkemurahan atas masyarakat yang tidak berperang dan telah memelihara semua tempat ibadah, namun dia sangat berusaha untuk menghapuskan semua tanda hadirnya para laskar Perang Salib. Bangunan-bangunan yang dianggap milik Islam dan yang telah dipakai sebagai Gereja, seperti Mesjid Dome Of The Rock, dikembalikan untuk dipakai sebagai Mesjid lagi dan sejumlah besar bangunan pemerintahan Kristen dijadikan bangunan Islam (Idinopulos, Thomas A.; Jerusalem Blessed, Jerusalem Cursed; Ivan R. Dee: Chicago; 1991; hal. 250-251).

Akibat buruk dari Perang Salib adalah merosotnya posisi masyarakat Kristiani di Tanah Suci. Dulu, sejak tentara Islam masuk Palestina mulai pertengahan abad ke-7, umat Kristiani sebagai minoritas telah diberi hak dan hormat di bawah pemerintahan Islam. Setelah Pemerintahan Perang Salib, atau Kerajaan Latin berkuasa, hak-hak mereka malah berkurang.

Karena ancaman Perang Salib ketiga, Salah Al-Din dan para penerusnya telah membangun kembali tembok-tembok Yerusalem. Namun, baru setelah selesai dibangun pada tahun 1219 keponakan Salah Al-Din, Al-Malik Al Mu’azzam Isa, telah memberi perintah untuk membongkar semuanya kembali. Setelah itu, kebanyakan penduduk telah meninggalkan Yerusalem karena dianggap tidak aman dan mustahil dilindungi dari serangan. Hanya setelah 320 tahun berlalu, pada zaman Ottoman, tembok-temboknya diperbaiki kembali. (lebih lanjut…)


Latar Belakang Dan Sejarah Konflik Timur Tengah V
Oleh Dr. Jeff Hammond

Artikel 5 : Israel Di Zaman Perang Salib (1095 M - 1291 M)

Banyak orang percaya bahwa Perang Salib adalah serangan biadab oleh orang Kristen terhadap orang Islam tanpa alasan. Apakah hal itu benar?

Apa Penyebab Perang Salib?

Mula pertama Perang Salib merupakan perang defensif bukan ofensif. Selama lima abad Timur Tengah bagian Israel-Palestina, Yordan, Mesir, Libanon dan Siria adalah wilayah Kristen. Hal ini terjadi karena pemberitaan Injil dan pertobatan penduduk dan penguasa. Setelah Kaisar Konstantin, agama Kristen berubah menjadi kekuatan politik sehingga makin lama makin kehilangan kuasa rohaninya. Ke dalam situasi ini tentara Jihad dari Arab Saudi mengubah peta politik dan agama utama yang dipeluk mayoritas penduduk daerah Timur Tengah dan Afrika Utara. Perubahan ini terjadi dengan penumpahan darah dan pembantaian banyak sekali orang Kristen.

Salah satu alasan Perang Salib diluncurkan adalah untuk membela dan membebaskan orang-orang Kristen yang dijajah oleh orang Islam. Sebagaimana kita sudah selidiki, dalam waktu kurang dari satu abad Islam sudah merebut dua pertiga dari dunia Kristen : Palestina, Siria, Mesir, Turki, Spanyol, Portugal, dll. Juga di bawah Khilafah Fatimid Kalif Al-Hakim dua ribu Gereja dihancurkan termasuk Gereja Kuburan Kudus, (Holy Sepulchre) pada tahun 1009.

Paus Innocent III menulis…”Apakah kamu tidak tahu bahwa ribuan orang Kristen diperbudak dan ditawan oleh orang Islam, disiksa dengan siksaan yang tak dapat terhitung?” Perang Salib dianggap sebagai kewajiban umat Kristen untuk mengungkapkan kasih mereka bagi saudaranya yang menderita dan untuk mengungkapkan kasih bagi Kristus. Pada waktu itu, Islam dipandang sebagai musuh Kristus dan Gereja dan tujuan Perang Salib adalah untuk mengalahkan Islam dan membebaskan umat Kristen dari jajahannya. Berdasarkan pandangan itu Gereja membuat sumpah kudus sehingga banyak orang berangkat ke Israel untuk memerdekakan Tanah Kudus dari tangan orang Islam.

Sebabnya kedua terjadi Perang Salib, adalah supaya umat Kristen merebut kembali Yerusalem, Kota Kudus, dari tangan dan kuasa orang Islam. Sejak Konstantin, banyak orang Kristen berziarah ke Tanah Suci. Walaupun daerah itu dikuasai Islam sejak tahun 638, mereka masih bisa mengunjunginya. Tetapi pada abad kesebelas, orang Seljuk dari Turki menguasi Yerusalem dan melarang kunjungan orang Kristen ke sana lagi.

Pada tahun 1095 Paus Urban II menyerukan Perang Salib untuk menghentikan serangan Islam terhadap wilayah-wilayah Kristen. Dalam pidatonya di Musyawarah Clermont di Perancis pada 27 November 27 1095, dia memanggil orang Kristen dari semua Negara Kristen untuk berziarah ke Tanah Suci dan mengadakan Perang Salib.

Tujuan Perang Salib

I. Yang pertama, 1095-1099, dicanangkan oleh Paus Urban II
II. Yang kedua, 1147-1149, dipimpin oleh Raja Louis VII yang gagal, dan mengakibatkan kehilangan salah satu dari empat Kerajaan Latin, yaitu, Edessa
III. Yang ketiga, 1188-1192, dicanangkan oleh Paus Gregory VIII sesudah kegagalan Perang Salib yang kedua. Dipimpin oleh Emperor Frederick Barbarossa, Raja Philip Augustus dari Perancis dan Raja Richard “Coeur-de-Lion” dari England
IV. Yang keempat, di mana Konstantinopel dihancurkan, 1202-1204
V. Yang kelima, yang termasuk rebutnya Damietta, 1217-1221
VI. Yang keenam, di mana Frederick II ikut (1228-1229); juga Thibaud De Champagne dan Richard dari Cornwall (1239)
VII. Yang ketujuh, dipimpin oleh St. Louis (Louis IX dari Perancis), 1248-1250

Kerajaan Perang Salib (1099 sampai 1187) (lebih lanjut…)


Latar Belakang Dan Sejarah Konflik Timur Tengah IV
Oleh Dr. Jeff Hammond

Artikel 4 : Israel Di Zaman Byzantin-Arab (638 M - 1099 M)

Masa kini mayoritas penduduk wilayah Palestina-Israel terdiri dari orang-orang Arab. Di dalam sejarah Timur Tengah ditemukan istilah-istilah Arab Yahudi, Arab Kristen dan Arab Muslim. Proses Arabisasi kebudayaan dan bahasa di wilayah itu telah mulai dari tahun 638 M, dan berangsur-angsur terjadi selama 1360 tahun. Walaupun proses itu sering disamakan dengan proses Islamisasi hal itu tidak tentu benar. Arabisasi terutama adalah berkaitan dengan kebudayaan dan bahasa namun dampak perkembangan Islam juga merupakan suatu pengaruh yang sangat besar.

Dalam bukunya, “Arab and Jew in the Land of Canaan” dijelaskan oleh Ilene Beatty bahwa ada pelbagai suku bangsa yang datang di Kanaan dan mereka “merupakan tambahan, kelompok-kelompok yang dicangkokkan pada pohon silsilah penduduk. Para penyerbu Arab di abad ke 7 M telah meng-Islam-kan sebagian besar penduduk asli, telah bermukim sebagai penduduk, dan kawin-campur dengan mereka, sehingga semua orang di sana kemudian mengalami Arabisasi sampai kita tidak dapat menyatakan kapan peradaban Kanaan berakhir dan kapan peradaban Arab mulai.”

Orang-orang Yahudi dibagikan antara Yahudi Arab, Yahudi Eropa, Yahudi Asia dan Yahudi Afrika. Kenapa ada sekelompok yang disebut ‘Yahudi Arab’? Ini terjadi sebab di sepanjang sejarah Timur Tengah ada sejumlah besar orang Yahudi yang mengalami Arabisasi bahasa dan kebudayaan walaupun mayoritas orang Yahudi tidak menjadi penganut agama Islam.

Kemenangan dan Pemerintahan Arab di Israel (635 M - 638 M)

Sesudah kematian Muhammad, Islam telah mulai berekspansi ke negara-negara yang lain dengan tujuan akhir, menggenapi seruan Jihadnya untuk menghancurkan kekuasaan Kerajaan Byzantin dan ke-Kristen-an dan merebut kota Konstantinopel. Tentara-tentara Jihad telah masuk dan menguasai kota Yerusalem sekitar tahun 635 M - 638 M. Namun pada masa itu kota Yerusalem lebih dikenal dengan nama Romanya, Aelia, sampai abad ke-10 ketika diberi nama bahasa Arab, Al-Quds (Kota Kudus).

Wilayah Yerusalem ataupun wilayah Palestina-Israel tidak pernah dipimpin bangsa-bangsa Arab sebagai sebuah ‘bangsa’. Ketua delegasi Syria di Konferensi Perdamaian Paris, Februari 1919 mengatakan : “Satu-satunya dominasi Arab sejak dikuasai pada tahun 635 hanya bertahan, pada dasarnya, 22 tahun”. Wilayah it hanya didominasi secara “politik” saja sehingga dapat dikatakan bahwa orang-orang Yahudi “kehilangan tanahnya”, karena tidak pernah mereka meninggalkannya sehingga kosong secara fisik, ataupun meninggalkan klaimnya atas wilayah itu sebagai bangsanya.

Selanjutnya kota Yerusalem adalah kota kudus untuk tiga agama keturunan Abraham (Yahudi, Kristen dan Islam). Waktu tentara-tentara Arab mengambil alih kota Yerusalem, mereka telah menduduki lokasi-lokasi sakral yang telah menjadi tujuan ziarah Kristen dan Yahudi. Mulai dari waktu itu sudah ditanam benih-benih konflik tentang hak milik semua lokasi sakral yang kemudian diperebutkan umat Kristiani selama Perang Salib bahkan sampai masa kini oleh kaum Yahudi, khususnya Bukit Moria, tempat Abraham mau mempersembahkan anaknya kepada Tuhan, yang juga adalah lokasi Bait Suci Solomon dan hari ini lokasi Mesjid Umar dan Mesjid Al-Aqsa.

Membangun Mesjid Umar ‘Dome Of The Rock’

Umar (Kalif pertama), waktu tiba di Yerusalem meminta agar diantar ke Bukit Bait Suci, suatu pengakuan agama Islam menerima dan mengakui tradisi para Nabi Ibrani. Setelah mencapai puncak bukit itu, Kalif Umar merasa mual melihat daerah itu telah menjadi daerah pembuangan sampah oleh orang-orang Kristen sebagai penghinaannya terhadap agama orang-orang Yahudi. Umar, karena telah menghormati orang-orang Yahudi, memberi perintah agar lokasi itu dibersihkan. Tindakan tersebut menjadi langkah pertama untuk mempersiapkan lokasi sakral Yahudi menjadi lokasi ibadah Muslim.

Pada awal masa Arab, mayoritas penduduk Yerusalem beragama Kristen. Konstruksi Mesjid ‘Dome Of The Rock’ pada tahun 691, gedung sakral Muslim pertama di Israel, bertujuan menyaingi Gereja Kuburan Kudus (Holy Sepulchre). Baik Mesjid ‘Dome Of The Rock’ dan Gereja Holy Sepulchre dibangun berdasarkan gambar bentuk dan ukuran yang sama, tetapi Mesjid ‘Dome Of The Rock’ dihiasi dengan ayat-ayat anti ke-Tritunggal-an Allah dari Al-Quran.

Awalnya, orang-orang Muslim seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi di Arab Saudi, telah menghadap ke Yerusalem waktu berdoa. Namun, pada waktu orang-orang Yahudi - yang adalah mayoritas penduduk Medina telah menolak kerja sama secara agama dan politik dengan umat Islam bahkan menolak klaim ke-Nabi-an Muhammad - maka ada pewahyuan baru yang turun dari Allah yang memerintahkannya memindahkan arah doa dari Yerusalem ke Mekah (John L. Esposito; Islam : the Straight Path; Oxford University Press : New York, 1991; pg.16). (lebih lanjut…)

Latar Belakang Dan Sejarah Konflik Timur Tengah III

Oleh Dr. Jeff Hammond

Artikel 3 : Palestina Di Zaman Romawi Roma-Byzantin (63 SM - 638 M)

Selama hampir tujuh abad antara 63 SM dan 638 M, wilayah Palestina terjepit di antara dua kerajaan besar yaitu antara Kerajaan Farsi dan Kerajaan Roma/Byzantin.

Menurut ahli sejarah Timur Tengah, Bernard Lewis, persaingan antara Farsi dan Roma-Byzantin, menjadi hal utama dalam percaturan politik di kawasan itu sampai kebangkitan Khilafah Islam, yang menghancurkan Kerajaan Farsi dan sangat melemahkan Kerajaan Roma-Bizantin sehingga terpukul mundur dari Timur Tengah.

Roma Berkuasa

Pada tahun 63 SM tentara Roma yang dipimpin Jenderal Pompey telah memasuki dan menguasai wilayah Palestina sehingga Kaisar Julius berkuasa dari Roma ke Palestina bahkan di Mesir. Kuasa Kerajaan Roma telah meluas dan bertambah sehingga pada tahun 37 SM Herodes Agung diangkat menjadi raja jajahan Roma itu. Raja Herod telah memerintah atas seluruh Palestina dari tahun 37 SM sampai tahun kelahiran Yesus, 4 SM.

Dalam pemerintahan Romawi, Yerusalem bertambah besar ke arah utara. Proyek pembangunannya termasuk Tembok Kedua, Kaabah Herodes, Benteng Antonia dan Menara Daud. Juga didirikan istana-istana dan gedung umum seperti pasar, toko dan teater. Walaupun Tanah Palestina dikuasai oleh Kerajaan Roma, Bait Suci dibangun kembali lebih besar dan lebih megah daripada Bait Suci di zaman Salomo.

Setelah Israel mengalami masa perhambaan Asyur, Babel, Mesir, Media-Farsi dan Yunani, kini giliran Roma menjajah wilayah Israel-Palestina dan ternyata ini menjadi masa pahit bagi Israel yang tidak lama kemudian mengalami penghancuran dan penyingkiran ke berbagai bangsa lain.

Yesus dan Kerajaan Allah

Pada zaman Kerajaan Roma inilah Yesus lahir. Yesus telah hidup di wilayah Israel-Palestina dari tahun 4 SM sampai tahun 30 M. Dia lahir pada waktu Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah sensus yaitu pendaftaran semua orang di seluruh dunia. Ini terjadi juga pada waktu Kirenius menjadi wali negeri di Siria. Lukas 2:1-2.

Mendahului pelayanan Yesus, Yohanes Pembaptis telah mulai memberitakan Kerajaan Allah pada tahun ke-15 Kaisar Tiberius. Pada waktu itu Pontius Pilatus menjadi wali negeri Yudea, dan Herodes Antipas menjadi raja wilayah Galilea, Lukas 3:1. Pontius Pilatus yang kemudian memimpin pengadilan terhadap Yesus dan memerintahkan agar Dia disalibkan (Markus 15:1-15; Matius 27:2, Matius 11-26; Lukas 23:1-25; Yohanes 18:28; Yohanes 19:31; Kisah Para Rasul 3:13; Kisah Para Rasul 4:27; Kisah Para Rasul 13:28; 1 Timotius 6:13).

Sebelum Yesus disalibkan ada pemberontak-pemberontak Yahudi yang melawan pemerintahan Roma. Ada yang mengklaim diri “Mesias”. Jadi waktu Yesus disebut “Mesias” juga Dia hanya dianggap sebagai salah satu pemberontak seperti yang lain sebelumnya dan agar menjamin penguasa Romawi memutuskan untuk menghukum mati Yesus, para imam, ahli Taurat, Farisi dan Saduki mengemukakan bahwa Yesus telah mengklaim dirinya “Raja” dan dengan demikian musuh Roma. Maka Yesus disalibkan sebagai seorang penjahat dan pemberontak terhadap otoritas Roma.

Penghancuran Bait Suci dan Kota Yerusalem

Ketidaksenangan Israel dengan Kerajaan Roma makin lama makin nyata sehingga hukuman Roma makin keras dan orang Yahudi makin ditindas. Akhirnya pemberontakan orang Yahudi, yang dipimpin kaum Zelot, terjadi pada 66 M dan mereka mengusir penguasa Roma dan memerintah di Yerusalem sampai tanggal 9 bulan Av 70 M. (lebih lanjut…)

Latar Belakang Dan Sejarah Konflik Timur Tengah II

Oleh Dr. Jeff Hammond

Artikel 2 : Allah Berkuasa Di Wilayah Palestina-Israel

Sejak waktu Allah berfirman kepada Musa dalam Keluaran 6:7, Palestina dinyatakan sebagai milik Allah sendiri yang diserahkan-Nya kepada bangsa Israel. Bahwa tanah itu diserahkan Allah kepada Israel secara sah diteguhkan dalam Al-Quran, SURAT 5. AL MAA-IDAH 20-21.

Namun, Israel ternyata adalah bangsa yang keras kepala, pemberontak dan pelanggar hukum Allah di sepanjang sejarah dan sering dimurkai Tuhan karena dosa-dosanya.

Setelah masa jaya Israel dalam pemerintahan Saul, Daud dan Solomon terjadi perpecahan sehingga muncul dua Kerajaan di Israel sekitar tahun 922 SM. Sepuluh suku di bagian utara Israel yang disebut Bani Israel, berpisah dari dua suku di bagian selatan Israel yang disebut Bani Yehuda. Perpecahan dalam bangsa Israel ini membuat dilema bagi Bani Israel karena pusat ibadah dan Bait Suci ada di Yerusalem di daerah Bani Yehuda. Oleh sebab itu Bani Israel membuat pusat ibadah baru di Dan di bagian utara.

Penolakan Bani Israel atas perintah-perintah Allah mengakibatkan Bani Israel diserahkan ke tangan Kerajaan Asyur sekitar tahun 722 SM sehingga Bani Israel sampai sekarang lenyap terhilang sebagai kerajaan terpisah sesuai dengan nubuatan-nubatan Firman Tuhan dan akan dipulihkan dalam Kerajaan “Daud” atau Bani Yehuda (Yehezkiel 37; Amos 9).

Bani Yehuda tidak kelihangan identitasnya sebagai “Israel” dan hanya masuk ke dalam perhambaan Babel selama 70 tahun dari zaman Nebukadnezar sampai zaman Koresy.

Nubuatan Daniel (Daniel 2) menyatakan bahwa akan ada lima kerajaan yang akan berkuasa dan mempengaruhi sejarah Timur Tengah, yaitu Kerajaan Babel, Kerajaan Medi-Farsi, Kerajaan Yunani, Kerajaan Roma dan Kerajaan Allah yaitu,

Daniel 2:44
Tetapi pada zaman raja-raja, Allah semesta langit akan mendirikan suatu kerajaan yang tidak akan binasa sampai selama-lamanya, dan kekuasaan tidak akan beralih lagi kepada bangsa lain: kerajaan itu akan meremukkan segala kerajaan dan menghabisinya, tetapi kerajaan itu sendiri akan tetap untuk selama-lamanya,

Persis seperti dinubuatkan Daniel, dan juga Yesaya, Yehezkiel dan Yeremia, Allah yang mengangkat dan menurunkan bangsa-bangsa dan raja-raja, telah menguasai sejarah, melakukan penghukuman-Nya dan mempersiapkan Wilayah Palestina-Israel untuk peristiwa yang terajaib dalam sejarah, yaitu lahirnya Mesias, yang akan mengubah sejarah dunia.

Maka jelaslah, bahwa Wilayah Palestina-Israel adalah tanah milik Allah dan dia berhak memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Mengapakah Israel tidak pernah diizinkan hidup dengan tenang dan damai di wilayah itu sepanjang sejarah dan apakah Tuhan dapat mencabut hak-Nya yang sudah diberikan-Nya ke Israel? Kita harus bertanya lagi, siapakah yang sebenarnya berhak atas wilayah itu? Siapakah yang berkuasa untuk menentukan sejarahnya dan apa Kerajaan Allah ini yang dikatakan “kekuasaan tidak akan beralih lagi kepada bangsa lain : kerajaan itu akan meremukkan segala kerajaan dan menghabisinya, tetapi kerajaan itu sendiri akan tetap untuk selama-lamanya”?

Pemahaman hal-hal ini dapat saja mengubah dan membentuk pandangan kita tentang Timur Tengah dan berbagai nubuatan Firman Tuhan tentang peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di wilayah itu di akhir zaman.

Latar Belakang Dan Sejarah Konflik Timur Tengah I

Oleh Dr. Jeff Hammond

Ada perang lagi di Timur Tengah. Hamas dan Israel berperang di Gaza dan di Tepi Barat. Hizbollah dan Israel berperang di Libanon. Al Qaeda mengancam melibatkan diri. Apa artinya? Apa latar belakangnya? Apa nanti kesudahannya? Untuk memahami hal-hal yang sangat mempengaruhi kedamaian dunia dan meningkatnya terorisme masa kini, kita harus kembali dalam sejarah untuk memahami akar masalah yang kini buahnya sedang kita makan.

Kalau kita tidak belajar dari sejarah maka kita akan mengulangi kesalahan dan tragedi sejarah.

Dalam seri artikel ini kita akan menyelidiki sejarah daerah Palestina dari zaman purba sampai masa kini. Kita akan menyelidiki sejarah kependudukan Palestina, konflik-konflik, penjajahan bahkan sampai nubuatan Firman Tuhan tentang masa depan Timur Tengah supaya kita dapat lebih memahami apa yang ada di belakang semua konflik masa kini.

Artikel 1 : Siapakah Penduduk Asli Wilayah Palestina-Israel?

Pertanyaan pertama yang kita perlu jawab adalah siapa mempunyai hak milik atas Palestina dan siapa penduduk asli di wilayah Palestina atau Israel? Orang Israel? Sama sekali tidak! Orang Palestina? Juga tidak!

Kalau begitu siapakah penduduk asli wilayah yang sekarang disebut Palestina dan Israel? Dalam catatan sejarah sekitar 2000 SM di zaman Abraham, yang diklaim oleh Yahudi, Kristen dan Islam sebagai Bapa rohaninya, ada 10 suku yang mengembara di wilayah Palestina, yaitu Keni, Kenas, Kadmon, Kanaan, Feris, Het, Refaim, Amori, Girgasi dan Yebus (Kejadian 15:19-21). Sepuluh suku itu bukanlah orang Palestina ataupun orang Israel masa kini.

Bangsa Israel baru masuk dan menduduki wilayah Palestina pada tahun 1460 SM waktu Yoshua memimpin Israel untuk menduduki dan menguasai Kanaan atau wilayah Palestina lalu Israel berjaya di Palestina setelah Tuhan menghalau 7 suku yaitu, Het, Girgasi, Amori, Kanaan, Feris, Hewi dan Yebus (Ulangan 7:1). Yerusalem hanya menjadi Ibu Kota Israel dalam Kerajaan Daud sekitar tahun 1000 SM.

Sejak waktu itu ada banyak kerajaan yang masuk dan menjajah daerah itu sebelum mereka pun diganti penguasa lainnya. Sejarahnya sebagai berikut :

587 SM Israel dijajah Kerajaan Babil dan Media-Farsi
457 SM Israel diberi kemerdekaan oleh Koresy, Raja Farsi (Ezra 1)
390 SM Israel dijajah Mesir
332 SM Israel dijajah Kerajaan Yunani
63 M Israel dijajah Kerajaan Romawi
70 M Israel dicerai-beraikan antara berbagai bangsa dan hanya sedikit orang yang lagi tinggal di wilayah Palestina
321 M Kaisar Romawi, Konstantin, menjadi Kristen – masa Bizantin
638 M Tentara Jihad mengalahkan Kerajaan Romawi dan masa kekuasaan Bizantin berakhir dan zaman kekuasaan Islam mulai di Palestina
1099 - 1187 M Perang Salib – perebutan Palestina. Tentara Jihad Islam mengalahkan laskar-laskar Perang Salib dari Eropa
1187 - 1250 M Zaman Islam dalam Khalifah Ayyoubit
1250 - 1516 M Zaman Islam dalam Khalifah Mameluk
1516 - 1917 M Zaman Islam dalam Khalifah Ottoman
1918 - 1945 M Zaman Inggris berkuasa di Palestina
1946 M Wilayah Palestina dan Trans-Yordan dibagikan untuk membentuk negara Yordania sebagai negara Arab Palestina yang diakui PBB
1948 M Israel juga diakui resmi oleh PBB sebagai negara Yahudi Palestina

Apa Artinya “Palestina”?

Palestina di sepanjang sejarah tidak pernah merupakan nama bangsa atau negara. Palestina adalah daerah geografis saja untuk menunjuk suatu wilayah di Timur Tengah.

Kata “Palestina” berasal dari Bahasa Ibrani, “peleshet” yang berarti “Orang Laut”. Yang disebut orang Filistia atau Filistin adalah para migran yang berasal dari Mesir, Turki dan Yunani yang pindah ke daerah pesisir Israel dan tinggal di sana. Antara kota yang didirikannya adalah Gaza, Askalon, Ashdod, Ekron dan Gat. Dari zaman Herodotus, orang Yunani menyebut pantai timur Laut Tengah sebagai “Siria Palestina”. Orang Filistin disebut sebagai keturunan Kasluhim, anak Mesir dalam Kejadian 10:14 dan Keluaran 13:17. Orang Filistin terkenal sebagai bangsa yang melaut dan merupakan suku non-Semitik, non-Arab dan non-Ibrani, tidak berbahasa Arab dan tidak pernah berhubungan sama sekali dengan suku atau kebudayaan Arab.

Jadi, siapakah berhak atas wilayah Palestina-Israel?

Semua sumber sejarah, baik Alkitab maupun Al-Quran, menyatakan bahwa tanah Palestina adalah Negeri Perjanjian yang telah diberikan Allah kepada bangsa Israel.

SURAT 5. AL MAA-IDAH 20-21
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain”.
Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.

Keluaran 6:7
Aku akan mengangkat kamu menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allahmu, supaya kamu mengetahui, bahwa Akulah, TUHAN, Allahmu, yang membebaskan kamu dari kerja paksa orang Mesir.

Apa orang-orang Arab masa kini berhak memiliki Palestina?

Tokoh-tokoh Arab sejak dulu telah mengaku bahwa tidak pernah ada bangsa Palestina, suku Palestina, bahasa Palestina atau negara Palestina. Konsep itu adalah ciptaan modern untuk melawan Israel.

Pada tahun 1937, pemimpin Arab, Auni Bey Abdul Hadi, telah memberitahu Komisi Peel di Inggris : “Tidak ada bangsa yang disebut Palestina. Palestina adalah istilah ciptaan kaum Zionis. Kata Palestina adalah asing buat kami.”

Tahun 1946, Profesor Arab Sejarah Timur Tengah di Universitas Princeton, Philip Hitti, menyampaikan kepada Komisi Investigasi Palestina Anglo-Amerika : “Adalah pengetahuan umum, bahwa tidak pernah ada bangsa yang disebut Palestina dalam sejarah.”

Pada 31 Maret, 1977, Zahir Muhseinwas, Anggota Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dikutip dalam koran Belanda sebagai berikut :

“Tidak ada rakyat Palestina. Ciptaan negara Palestina hanyalah sarana untuk melanjutkan perjuangan kami melawan negara Israel demi persatuan Arab. Sesungguhnya hari ini tidak ada perbedaan antara orang Yordan, Palestina, Suria dan Lebanon. Hanya untuk alasan politik dan demi taktik kami membicarakan eksistensi rakyat Palestina, karena kepentingan bangsa-bangsa Arab menuntut agar kami menciptakan eksistensi “rakyat Palestina” agar melawan Zionisme.

Demi alasan taktik saja, Yordania, negara berdaulat dengan perbatasan yang sudah jelas, TIDAK dapat menuntuk klaimnya atas Haifa dan Jaffa, sedangkan sebagai seorang Palestina, tak diragukan bahwa saya DAPAT menuntut Haifa, Jaffa, Beer-Sheva dan Yerusalem. Namun, pada saat kami memperoleh kembali hak kami atas seluruh wilayah Palestina, kami tidak akan menunggu satu menit untuk mempersatukan Palestina dan Yordan.”

Walid Shoebat, seorang mantan aktivis PLO mengaku :

“Bagaimana bisa jadi bahwa pada tanggal 4 Juni 1967, saya adalah seorang Yordan lalu dalam semalam saja saya menjadi seorang Palestina?…Kami tidak keberatan dengan pemerintahan Yordan. Pengajaran penghancuran Israel adalah bagian inti kurikulumnya, namun kami telah menganggap diri orang Yordan sampai orang Yahudi kembali menguasai Yerusalem. Lalu tiba-tiba kami mulai disebut orang Palestina – mereka mencabut bintang dari bendera Yordan lalu dalam sekejap mata kami sudah memiliki bendera Palestina.”

Rabu, 29 Oktober 2008

'Jangan Terpancing Langkah Internasional Papua Barat'

(Jakarta) - Departemen Luar Negeri mengimbau tidak perlu terpancing langkah Parlemen International Papua Barat (International Parliamentary for West Papua) yang dilaunching di House of Common, London, Inggris, 15 Oktober lalu. Parlemen yang mendukung kemerdekaan Papua Barat ini, dipastikan sangatlah tidak signifikan.

“Di beberapa tempat (parlemen ini) terdengar berlebihan, namun masyarakat Indonesia jangan terpancing dengan masalah yang tidak signifikan ini. Jangan mau ikut dipusingkan dengan aktivitas tersebut,” kata Juru Bicara Deplu Teuku Faizasyah dalam pers briefing, di kantor Deplu, Jakarta, Jumat (17/10).

Acara yang hanya dihadiri 2 anggota parlemen Inggris dan 30 orang simpatisan dari LSM West Papua Support Group, tegas Faiza, tidak memberi dampak berarti terhadap penilaian pemerintah Inggris terhadap Indonesia. Kegiatan ini dihadiri dua anggota parlemen Inggris, Hon Andrew Smith MP dan Lord Harries, serta eksil kemerdekaan Papua Barat BennyWenda.

“Event ini dikesankan signifikan, namun menurut observerevent ini sangatlah kecil dari partisipan parlemen, hanya melibatkan orang-orang itu saja. Sikap Inggris pun tidak bergeser tentang keutuhan NKRI,” tegasnya.

Faiza menjelaskan, mereka yang terlibat dalam kegiatan tersebut menggunakan pola-pola pikir masa lalu dalam melihat permasalahan sebuah negara. Sehingga mereka memilih bersikap apriori terhadap perkembangan yang terjadi di Papua. (Mimie/IOT-02).

DPR RI Kecam Parlemen Inggris untuk Kemerdekaan Papua

Papua(Jakarta)- Komisi I DPR RI mengecam pembentukan Kaukus Parlemen Internasional yang mendukung upaya kemerdekaan dan pemisahan diri Papua dari NKRI yang diselanggarakan pada tanggal 15 Oktober lalu. Adapun pembentukan kaukus tersebut jelas melanggar kerjasama parlemen internasional dan urusan dalam negeri Indonesia.

"Kami mengecam berbagai upaya pihak asing yang mensponsori kampanye memisahkan propinsi papua dari NKRI seperti yang dilakukan oleh anggota parlemen Inggris, Andrew Smith dan Lord Harries," ujar Ketua Komisi I DPR Theo L Sambuaga dalam konferensi pers di Gedung DPR, Jakarta, Senin (20/10).

Pembentukan Kauskus parlemen internasional tentang Papua itu, kata Theo, bekerja sama dengan tokoh OPM (Beny Wenda) yang saat ini masih berstatus buron karena terlibat berbagai aksi anarkis dan kriminal di Papua.

"Jelas-jelas hal ini bertentangan dengan semangat kerja sama internasional antara anggota parlemen yang dilandasi prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing negara, serta melanggar prinsip IPU (Inter Parliamantary Union) yang tidak mentolerir upaya separatisme," jelas politisi partai Golkar ini.

Theo menjelaskan komisi I DPR juga mendesak pemerintah untuk lebih proaktif dan segera melakukan berbagai upaya termasuk melalui diplomasi untuk meyakinkan dunia internasional bahwa Papua adalah dari NKRI. "Saat ini rakyat Papua bersama seluruh rakyat Indonesia sedang bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraannya," papar Theo.

Untuk itu, ia mengharapkan kewaspadaan dan kegiatan proaktif seluruh perangkat KBRI di luar negeri, khususnya di Eropa." Ini dilakukan untuk mengikuti perkembangan dan menyebarkan informasi secara objektif tentang otonomi khusus dan pembangunan di propinsi Papua yang didukung oleh masyarakat Papua sendiri," jelasnya.(Nurseffi/IOT-03)

Hizbut Tahrir Berdemo Tuntut AS Tidak Campuri Urusan Dalam Negeri Indonesia

(Jakarta) - Surat 40-an anggota Kongres AS yang meminta pembebasan tanpa syarat dua anggota Organisasi Papua merdeka (OPM) berbuntut panjang. Puluhan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berunjuk rasa di depan kantor Kedubes Amerika Serikat di Jakarta, Sabtu (9/8). Mereka meminta AS tidak mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.

Para pengunjuk rasa berbaris melingkar, sambil mengusung beragam spanduk yang intinya mengecam AS. Di antaranya berbunyi: "HTI Menolak Campur Tangan AS di Papua", spanduk berukuran kecil dengan tulisan "Cegah Disintegrasi Bangsa" dan lebih dari 30 bendera HTI berwarna dasar hitam dengan tulisan arab putih.

Beberapa pengunjuk rasa bergantian menaiki tumpukan alat pengeras suara yang disusun di dalam mobil bak terbuka. Di atas kendaraan yang diparkir di tengah lingkaran pembawa spanduk dan bendera itu, mereka bergantian berorasi. Rata-rata menuntut AS berhenti mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.

Ini memang buntut dari adanya surat dari 40 anggota Kongres AS kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Isi surat itu meminta Presiden membebaskan dua gembong gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM), Filep Karma dan Yusak Pakage, tanpa syarat. Keduanya kini menjalani hukuman penjara yang dijatuhkan pengadilan karena terbukti terlibat dalam kasus makar.

"Surat itu bukti nyata, bukan hanya tentang adanya campur tangan AS terhadap urusan dalam negeri Indonesia, tapi juga dukungan mereka terhadap OPM. Surat tekanan itu tidak bisa diartikan lain kecuali AS memang mendukung OPM dan ingin Papua melepaskan diri dari Indonesia. Mereka berusaha memecah belah kita, ini tidak bisa dibiarkan," kata Ketua DPP HTI Farid Wajdi, seperti dikutip Antara.

Karena itu, kalangan HTI menyeru kepada Presiden Yudhoyono dan seluruh jajarannya agar menolak tegas permintaan anggota Kongres AS itu, dan tetap menghukum kedua tokoh OPM tersebut, sesuai perbuatannya. (*/IOT-02).

'Tidak Usah Buru-buru Balas Surat Kongres AS'

Kamis, 14 Agustus 2008 12:45

(Jakarta) – Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan santai saja menanggapi surat dari 40 anggota kongres Amerika yang menginginkan pembebasan 2 anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM). Karena itu, tidak perlu terburu-buru menjawab surat yang dianggap mencoba mengintervensi kebijakan dalam negeri RI tersebut.


Demikian dikatakan Menlu RI Hassan Wirajuda kepada wartawan usai menerima 99 Guru daerah terpencil di Gedung Pancasila, Jakarta, Rabu (13/8).

"Surat itu relatif baru, jadi tidak usah terburu-buru memberikan jawaban. Surat itu juga bukan hal luar biasa, sah-sah saja kalau ada yang mau menyampaikan pendapatnya," kata Menlu.

Menlu menegaskan, Indonesia memiliki kebijakan penerapan hukum sendiri dan proses hukum terhadap anggota OPM tersebut telah sesuai prosedur yang berlaku. "Jadi sorry saja ini kan urusan kita," ujarnya sambil tersenyum.

Jika kongres Amerika nantinya belum juga memahami mengenai konsep hukum Indonesia, Menlu mengatakan pemerintah Indonesia akan mengirimkan perwakilan yang ada di Washington untuk menjelaskan ini semua. (Mimie/IOT-02).

Sesneg Belum Menerima Surat Kongres AS yang Dinilai Intervensi

Hatta Rajasa(Jakarta)- Hingga hari ini (10/7) Menteri Sekretaris Negara belum menerima surat dari kongres Amerika Serikat yang berisi meminta pembebasan tanpa syarat dua orang separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM), Filep Karma dan Yusak Pakage. Demikian disampaikan Hatta Radjasa usai mendampingi Presiden SBY Mencanangkan Gerakan Penghematan Energi di Silang Monas Jakarta.

"Hingga saat ini di Sesneg belum ada surat itu. Penanganan surat seperti itu ada tata krama diplomatiknya dengan penjuru Departemen Luar Negeri. Kita tunggulah kalau memang ada surat itu seperti apa," ujar Mensesneg Hatta Radjasa kepada wartawan.

Pernyataan Hatta tersebut dikemukakan menanggapi surat yang ditandatangani 40 anggota Kongres AS kepada Presiden RI yang isinya antara lain, meminta Yudhoyono memastikan pembebasan segera dan tanpa syarat dua separatis organisasi Papua Merdeka, Filep Karma dan Yusak Pakage.Surat tersebut dialamatkan kepada Yudhoyono dengan penulisan alamat "Dr. H Susilo Bambang Yudhoyono, President of the Republic of Indonesia, Istana Merdeka, Jakarta 10110, Indonesia".

Isi surat itu antara lain menyebutkan, "Kami, para anggota Kongres AS, yang bertandatangan di bawah ini dengan hormat meminta Bapak (Presiden Yudhoyono) memberikan perhatian terhadap kasus Filep Karma dan Yusak Pakage, yang pada Mei 2005 dijatuhi hukuman karena keterlibatan mereka dalam kegiatan damai yang dilindungi hukum, yaitu bebas mengeluarkan pendapat, di Abepura, Papua, pada 1 Desember 2004."

"Kami mendesak Bapak mengambil langkah untuk memastikan pembebasan segera dan tanpa syarat bagi Bpk. Karma dan Bpk. Pakage," demikian bunyi kalimat di bagian bawah surat.

Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Sudjadnan Parnohadiningrat membenarkan adanya surat dari sejumlah anggota Kongres AS yang langsung ditujukan kepada Presiden Yudhoyono. Surat tersebut tertanggal 29 Juli 2008 dan dikirimkan melalui Kedubes RI di Amerika.

Sementara itu, Kemarin (9/8) Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Djoko Santoso menegaskan, surat 40 anggota kongres Amerika Serikat (AS) yang meminta pembebasan tanpa syarat dua anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah bentuk intervensi.Ditegaskan Panglima TNI, penahanan dua anggota OPM itu sepenuhnya adalah kewenangan pemerintah Indonesia.

Berbeda dengan Panglima TNI, justru Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menilai surat Kongres AS itu sebagai hal yang wajar dan pihaknya akan mengkaji kondisi di lapangan."Wajar saja kalau mereka mengajukan itu. Tapi, nanti kita kaji dan kita pastikan atas dasar kepentingan kita. Apa layak ditanggapi atau tidak," jelas Menhan.(*/IOT-03)

Yuddy Chrisnandi: Pemerintah Harus segera Menjawab Kongres AS

(Jakarta)-Anggota Komisi I DPR Yuddy Chrisnandi mengatakan pemerintah Indonesia harus segera menjawab surat kongres AS dan menjelaskan bahwa negara ini tidak ingin didikte. Perlu diketahui Amerika bahwa persoalan gerakan seperatis OPM memiliki tata cara penyelesaian sendiri berdasar hukum Indonesia.

"Harus segera dilakukan. Jika hal tersebut tidak dilakukan akan menimbulkan efek yang negatif," tegas Yuddy di Gedung Nusantara III DPR RI Jakarta, Senin (11/8).

Menurutnya, surat yang dikirimkan 40 anggota kongres AS tersebut telah menunjukkan intervensi Amerika terhadap Indonesia, oleh karena itu upaya tegas harus diambil sebagai langkah nyata pemerintah.

"Kalau tidak akan menimbulkan kesan bahwa kita di bawah hegemoni AS, itu yang pertama. Dan yang kedua kalau kita mengikuti atau berkompromi saja dengan keinginan kongres AS tersebut akan membenarkan kesan intervensi itu," ujar Yuddy.

Terkait intervensi itu sendiri, tambah Yuddy semua tergantung bagamaina pemerintah meresponnya. "Kalau pemerintah mengikuti kemauan kongres AS berarti intervensi," jelasnya.(Nurseffi/IOT-03)

Ketua DPR RI: Amerika Terlalu Arogan Seolah-olah Polisi Dunia

Agung Laksono(Jakarta)- Ketua DPR RI Agung Laksono menyatakan surat permintaan pembebasan dua anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dikirimkan oleh 40 anggota kongres AS kepada Presiden SBY, lagi-lagi menunjukkan sikap arogansi AS yang seolah-olah menjadi polisi dunia. Agung menilai Amerika tidak menghormati hukum Indonesia dan terlalu mencampuri urusan pemerintah.

"Ini adalah hukum Indonesia, yang juga dimana indonesia menghargai hukum Amerika. Artinya kami juga tidak ingin mencampuri apa yang telah diputuskan internalnya mereka," tegas Agung Laksono kepada wartawan di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (11/8).

Menurut Agung, sebagai sebuah negara yang memiliki hukum, Indonesia memiliki hak untuk menindak kedua anggota OPM yang melakukan tindakan separatisme tersebut. "Jadi kita punya hak untuk menghukum mereka yang terbukti salah dan menahannya, sesuai dengan undang-undang yang berlaku," jelasnya.

Terkait surat kongres AS tersebut, Agung meminta pemerintah untuk tidak menghiraukannya." Kita minta pemerintah Indonesia bertindak tegas untuk tidak menghiraukan permintaan tersebut sepanjang kita melakukan langkah-langkah yang benar," paparnya.

Hal ini dikarenakan, penahanan yang dilakukan pemerintah Indonesia sudah sesuai dengan prosedur, karena aksi yang dilakukan kedua anggota OPM tersebut sudah mengarah kepada gerakan separatisme.

"Kita harus melakukan protes terhadap langkah-langkah yang dilakukan oleh kongres AS, apa artinya ini kalau bukan intervensi. Untuk apa mengurus negara orang lain, urus saja negara sendiri," ujar Agung dengan nada tinggi.

Seperti diketahui, surat yang ditandatangani 40 anggota Kongres AS kepada Presiden RI berisi, meminta Presiden Yudhoyono memastikan pembebasan segera dan tanpa syarat dua separatis organisasi Papua Merdeka, Filep Karma dan Yusak Pakage. Surat tersebut dialamatkan kepada Yudhoyono dengan penulisan alamat "Dr. H Susilo Bambang Yudhoyono, President of the Republic of Indonesia, Istana Merdeka, Jakarta 10110, Indonesia".

Isi surat itu antara lain menyebutkan, "Kami, para anggota Kongres AS, yang bertandatangan di bawah ini dengan hormat meminta Bapak (Presiden Yudhoyono) memberikan perhatian terhadap kasus Filep Karma dan Yusak Pakage, yang pada Mei 2005 dijatuhi hukuman karena keterlibatan mereka dalam kegiatan damai yang dilindungi hukum, yaitu bebas mengeluarkan pendapat, di Abepura, Papua, pada 1 Desember 2004."

Atas kiriman surat tersebut, Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Sudjadnan Parnohadiningrat membenarkan, surat tersebut tertanggal 29 Juli 2008 dan dikirimkan melalui Kedubes RI di Amerika.(Nurseffi/IOT-03)

Surat 40 Anggota Kongres AS soal OPM, jadi Sekedar Catatan

Kongres Amerika(Jakarta) – Departemen Luar Negeri telah menerima surat dari 40 anggota kongres Amerika Serikat (AS) yang meminta pembebasan dua anggota Organisai Papua Merdeka (OPM). Dua aktivis OPM itu kini dalam tahanan atas kejahatan yang dilakukan. Pihak Indonesia menganggap permintaan seperti itu, hal biasa, dan menjadikan sekedar catatan.

"Surat itu memang telah dikirimkan melalui Kedutaan Amerika di Indonesia. Kami baru terima salinannya. Aslinya mungkin masih dalam perjalanan," kata Juru bicara Deplu Teuku Faizasyah kepada wartawan di Ruang Nusantara, Deplu, Jakarta, Jumat (8/8).

Dua anggota OPM, Filep Karma dan Yusak Pakage diminta 40 anggota kongres AS untuk dibebaskan tanpa syarat. Keduanya telah dijatuhi hukuman atas keterlibatan mereka pada kerusuhan di Papua 2004.

Teuku menilai permintaan tersebut, biasa dilakukan dalam hubungan antar negara. Namun, dia menegaskan sudah ada pihak kementerian terkait di Indonesia yang berwenang memutuskan hukuman tersebut.

"Tentunya surat itu akan diproses sesuai prosedur, dan itu harus dihormati. Tapi, dari sisi hukum, penjatuhan hukuman tentu berdasarkan pertimbangan yang mendalam," jelas Teuku.

Alasan permintaan pembebasan tersebut, kata Teuku, pihak AS menilai tindakan kedua anggota OPM tersebut merupakan bentuk ekspresi demokrasi. Tetapi, dalam penilaian Indonesia tindakan tersebut tergolong makar, yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Mengenai tindakan Indonesia dalam menanggapi permohonan itu, Teuku menyatakan pihaknya masih belum bisa memutuskan. "Soal perlu dijawab dengan segera atau tidak, kita lihat dulu. Yang pasti surat itu hanya dijadikan notifikasi (catatan), bukan pertimbangan hukum karena Indonesia memiliki independensi hukum." (Mimie/IOT-02).

Jubir Presiden: Tidak Ada Negara Dukung Separatisme Papua

(Jakarta)- Jurubicara Kepresidenan Dino Patti Djalal, menegaskan bahwa tidak ada satu negara pun yang mendukung isu separatisme di Papua.

"Tidak ada satu pun negara anggota PBB yang mendukung isu separatisme di Papua sehingga posisi Indonesia sangat solid," kata Dino di kantor Kepresidenan di Jakarta Selasa (21/10).

Dino mengemukakan hal itu saat menanggapi aksi peluncuran "International Parliamentarians for West Papua" di Inggris. Ia mengakui bahwa memang ada segelintir anggota parlemen dan LSM yang mendukung aksi itu.

"Inisiatif International Parliamentarians itu kandas dan posisi pemerintah Inggris pun tetap mendukung integritas Indonesia," katanya.

Parlemen Inggris, lanjut dia, juga menghargai serta menghormati wilayah teritorial Indonesia. "Situasi di lapangan juga baik," tambah Dino.

Sementara itu, sebelumnya pemerintah Indonesia melalui Jurubicara Departemen Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan bahwa aksi tersebut tidak signifikan.

Ia menjelaskan bahwa peluncuran International Parliamentarians for West Papua di Inggris pada 15 Oktober 2008 itu hanya dihadiri oleh dua orang anggota parlemen Inggris --parlemen Inggris terdiri atas House of Lords sejumlah 746 orang dan House of Common sejumlah 646 orang-- dan sekitar 30 peserta yang umumnya LSM yang selama ini memang pro kemerdekaan Papua.

Dengan adanya peristiwa itu, lanjutnya, maka dapat dilihat bahwa masalah kemerdekaan Papua justru bukanlah suatu hal yang menjadi isu.

Menurut Faiza, aksi tersebut hanya didukung oleh orang-orang yang sama yang selalu menggunakan referensi Indonesia di masa 90-an untuk memandang kasus Papua, padahal saat ini telah diberlakukan otonomi khusus di Papua sehingga isu-isu pro-kemerdekaan ini tidak relevan.

Menurut laporan dari KBRI London, kegiatan di dalam gedung parlemen tersebut tidak mendapat perhatian dari para anggota parlemen yang lain, kalangan media dan publik dan tidak secara resmi masuk dalam agenda kegiatan House of Common serta tidak tercatat dalam pengumuman di lobbi gedung Parlemen. Selain itu kegiatan demonstrasi dengan menyanyi dan menari yang dilakukan sebelum dan setelah acara kegiatan tersebut di luar gedung Parlemen Inggris juga kurang mendapat perhatian dari publik.(*/IOT-03)

Selasa, 28 Oktober 2008

Polda Papua Ancam Wartawan

Senin, 27 Oktober 2008 - 11:36 PM

Jayapura, Wakil Direktur Samapta Polda Papua Ajun Komisaris Besar Borent, Senin (27/10), melarang wartawan yang hendak meliput pemeriksaan makar di Kantor Direktorat Reskrim Jayapura. Bahkan, ia mengancam jika nekat meliput wartawan bisa mengalami kecelakaan saat pulang.

Larangan ini dialami saat wartawan televisi berada di ruangan Direskrim Polda Papua. Para jurnalis ini hendak memantau pemeriksaan saksi makar Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yoboisembut, Sekertaris DAP Leonard Imbiri, dan Ketua Panitia Parlemen Internasional untuk Papua Barat, Buchtar Tabuni.

"Jangan liput di lingkungan polda. Nanti kalian kalau ada motor yang tabrak buntung," ujar Borent.

Hingga sore wartawan peliput masih duduk-duduk untuk menyatukan sikap melaporkan kasus pelarangan ini ke Kepala Polda Papua. Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Agus Rianto menyampaikan maaf jika ada perlakuan dari jajaran Polda Papua yang tidak berkenan kepada para wartawan.

(sumber: kompas)

Saluran Demokrasi di Papua Jangan Diblokir

Sabtu, 25 Oktober 2008 - 02:13 AM

Jayapura, Ketua Umum Badan Pelayanan Pusat Persektuan Gereja-Gereja Baptis Papua, Socrates Sofyan Yoma prihatin dengan situasi yang sedang terjadi beberapa hari terakhir ini di Tanah Papua khususnya Jayapura.

Pihaknya mendengar dari pemerintah Indonesia melalui duta besar Indonesia di London, Inggris dan pihak kepolisian di Papua bahwa peluncuran International Parlements For West Papua (IPWP) tanggal 15 Oktober 2009 di House Of Cummons merupakan suatu acara yang tidak signifikan.

Pasalnya acara tersebut bukan merupakan acara resmi dan terjadwal dari parlemen Inggris, tapi acara itu hanya dihadiri oleh 2 anggota parlemen saja dan pertemuannya berlangsung di ruang tertutup. Sebab itu pemerintah telah menghimbau masyarakat Indonesia termasuk di Papua untuk tidak terpancing.

" Kami para pimpinan gereja di Jayapura merasa prihatin karena sekalipun acara peluncurannya diakui tidak signifikan tetapi pihak keamanan bertindak represif terhadap orang Papua, " kata Socrates.

Diungkapkan, pada 16 Oktober gabungan dari Polisi, TNI dan Angkatan Laut memblokir jalan raya di Waena untuk menghalangi ribuan orang Papua yang hendak menyampaikan pendapatnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di Jayapura. Menghadapi rencana demonstrasi damai ini, pihak keamanan melakukan siaga di seluruh sudut Kota Jayapura.

Pemblokiran jalan oleh pihak keamanan tersebut, menurutnya merupakan suatu tanda yang mengindikasikan adanya pemblokiran saluran demokrasi, karena ribuan orang Papua tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya tentang acara peluncuran IPWP yang diakui tidak signifikan itu. Aparat keamanan tidak hanya memalang jalan raya tapi juga saluran demokrasi.

" Kami melihat bahwa ruang demokrasi sengaja ditutup bagi orang Papua, kami merasa prihatin karena orang Papua yang mau demonstrasi tidak diberikan kesempatan untuk melaksanakan haknya yakni kebebasan berekspresi. Tentunya hal ini mencoreng wajah Indonesia yang sedang berkembang menjadi Negara demokratis, " ujarnya.

Menurutnya, pemerintah masih melanjutkan tindakan represifnya. Ketika orang Papua ingin melaksanakan demonstarsi di Kota Jayapura. Pada 20 Oktober 2008 suasana di Kota Jayapura mencekam. Aparat keamanan disebar di Kota jayapura. Tindakan yang kelebihan dari pihak keamanan ini memperlihatkan bahwa pemerintah Indonesia masih salah dalam melihat orang Papua.

" Orang Papua yang mempunyai aspirasi dan pendapat yang berbeda dipandang sebagai orang-orang jahat yang melakukan tindakan criminal. Demokrasi damai dipandang sebagai suatu kegiatan yang melakukan tindakan criminal.

Menurut dia, orang Papua berada di tengah dua pendapat yang berbeda, di satu pihak orang Papua mendengar IPWP mambahas tentang penentuan pendapat rakyat (PEPERA) yang dilaksanakan tahun 1969. Dimana IPWP mengatakan bahwa PEPERA sudah final. Hal ini tentunya membiarkan orang Papua bingung diantara dua pendapat yang berbeda dan terus menjadi korban.

Dia menambahkan, masalah pro dan kontra terhadp pelaksanaan PEPERA tidak akan diselelsaikan dengan cara pemblokiran jalan, penangkapan, penahanan, pemukulan yang dilakukan aparat keamanan. Menangkap, mengadili dan memenjarakan semua orang Papua pun tidak akan menyelesaikan persoalan PEPERA. Pihaknya percaya bahwa kekerasan sebesar apapun tidak pernah akan menyelesaikan persoalan PEPERA ini.(lia)

(sumber: cepos)

Pentolan IPWP dan DAP Diperiksa




Dijerat Pasal Makar

Pentolan IPWP dan DAP Diperiksa

JAYAPURA - Setelah sempat gagal diperiksa pada 20 Oktober lalu, akhirnya Ketua panitia Internasional Parlement for West Papua (IPWP) Dalam Negeri Buchtar Tabuni, memenuhi panggilan penyidik Direktorat Reserse dan Kriminal Polda Papua, Senin (27/10) sekitar pukul 11.30 WIT, molor 1 jam lebih dari rencana semula pukul 10.00 WIT.
Menariknya, kedatangan Buchtar Tabuni ini, bersamaan Ketua Dewan Adat Papua (DAP), Forkorus Yoiboisembut dan Sekretaris DAP Leonard Imbiri di Polda Papua. Tidak lama, ketiganya masuk dan menjalani pemeriksaan sebagai saksi didampingi pengacaranya dari ALDP diantaranya, Latifah Anum Siregar, SH, Iwan Niode SH, Faizal SH dan Hulda Buara SH. Ketiganya diperiksa penyidik secara terpisah.
Buchtar Tabuni diperiksa terkait dugaan makar yang terjadi pada saat demo di depan Expo Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura pada 16 Oktober 2008 lalu. Begitu juga, Ketua DAP, Forkorus juga diperiksa sebagai saksi dalam kasus 16 Oktober tersebut dan kasus Wamena 9 Agustus 2008 lalu, terkait insiden penancapan bendera Bintang Kejora yang berbuntut tewasnya warga bernama Opinus Tabuni pada peringatan Hari Bangsa Pribumi se-Dunia.
"Jadi, ada 3 orang yang diperiksa. Yakni, Forkorus Yoboisembut selaku Ketua DAP diperiksa dalam kasus Wamena, 9 Agustus dan demo 16 Oktober. Sedangkan, Leo Imbiri, Sekretaris DAP diperiksa sebagai saksi terkait kasus Wamena 9 Agustus dan Buchtar Tabuni diperiksa kasus 16 Oktober, sebagai saksi sesuai panggilan penyidik dalam kasus dugaan makar sesuai pasal 106, 107 dan 110, selain itu pasal 212 KUHP yakni tentang melawan aparat yang sedang menjalankan tugas," jelas Iwan Niode, SH, pengacara dari ALDP yang mendampingi ketiganya.
Terkait dengan pemeriksaan kasus Wamena terhadap pentolan DAP ini, Iwan Niode mengaku tidak habis pikir, karena kasus Wamena itu sudah selesai, apalagi Forkorus sudah diperiksa sebagai saksi untuk diperiksa ketiga kalinya. " Kami kaget, ada surat panggilan untuk pak Forkorus Yoboisembut dan Leonard Imbiri dalam kapasitasnya sebagai saksi untuk kasus Wamena," ujarnya.
Sementara itu, pemanggilan Buchtar Tabuni ini, menurut Iwan Niode, terkait dengan demo yang dilakukan di depan Expo Waena, pada 16 Oktober 2008 lalu, sebagai saksi dalam kasus dugaan makar.
Ditanya kenapa terkait sebagai saksi kasus makar? Iwan mengaku masih mempelajarinya. "Ini masih kita pelajari, karena dalam demo ini berjalan damai, tidak ada teman-teman melawan aparat kepolisian atau menunjukan simbol-simbol yang dilarang, bahkan demo ini dilokalisir di Waena dan dijaga aparat. Jadi, tidak ada demo ini mengindikasikan sebuah tindakan makar," jelas Iwan yang mempertanyakan pemanggilan tersebut.
Untuk itu, lanjut Iwan, kliennya berkeinginan menjelaskan kepada kepolisian, hal tersebut merupakan demo damai, bukan peristiwa makar yang kemudian harus dibesar-besarkan.
Menyangkut kasus Wamena, ujar Iwan, kliennya menuntut tidak hanya adanya peristiwa penancapan bendera bintang kejora tetapi juga ada korban Opinus Tabuni yang menjadi korban, "Sejauh mana yang menjadi pertanyaan klien kami, sejauh mana sebetulnya penyelidikan kasus Wamena itu," terangnya.
Ditambahkan, Polda tidak bisa hanya mengatakan peluru itu bukan dari polisi yang bertugas saat itu, tetapi pihaknya menginginkan adanya penyelidikan yang tuntas.
" Jika (Kalau) bukan (dari) kepolisian, lalu siapa? Karena yang pegang senjata di lokasi hanya kepolisian dan TNI, sehingga kami minta kejujuran dan keberanian aparat kepolisian mengungkap kasus ini, tidak hanya sekedar memeriksa para saksi terkait dengan penancapan bendera bintang kejora saja," paparnya.
Apakah pemanggilan sebagai saksi kasus makar itu, terkait tuntutan untuk mereview Pepera? Iwan Niode mengaku tidak tahu secara persis. Hanya saja, ia menilai demo itu sah-sah saja, karena dijamin Undang-Undang RI No 9 Tahun 1998, sepanjang demo itu tidak anarkis, tidak menonjolkan simbol-simbol yang dilarang undang-undang, tidak mengibarkan bendera bintang kejora dan membacakan teks proklamasi yang menyatakan Papua sudah Merdeka.
Iwan Niode berharap ada kejujuran dalam kasus ini dan dilihat secara keseluruhan terkait demo itu. Apalagi, sudah diberitahukan sebelumnya sesuai dengan tahapan yang dituntut undang-undang dan undang-undang tidak menyatakan harus ada surat tanda terima pemberitahuan (STTP), tetapi harus memberitahukan kepada aparat kepolisian 3 hari sebelumnya. Berdasarkan itu, maka aparat keamanan bertanggungjawab mengamankan aksi tersebut, jika demo itu anarkis maka tugas dan tanggungjawab aparat kepolisian untuk membubarkan. "Jadi, makarnya dari mana?," ujarnya.
Iwan menilai tendensi politisnya sangat kuat sekali karena ada peristiwa yang terjadi di parlemen Inggris dan adanya reaksi dari Jakarta terhadap pertemuan itu, membuat ketakutan yang berlebihan atau paranoid.
" Ini menjadikan semacam paranoid. Setiap ada aksi apapun, terkadang kita bersikap sangat berlebihan dalam menyikapi. Ini kan wajar, aparat keamanan dalam menyikapi ini, bukan over acting tetapi menjadi paranoid," katanya.,
Ia juga menilai dilihat dari aksi unjuk rasa di Waena 16 Oktober lalu, seluruh kekuatan angkatan bersenjata turun melakukan pengamanan sangat berlebihan, termasuk demo kedua dimana seluruh kekuatan turun dan melakukan tindakan refresif. (bat)

Kamis, 23 Oktober 2008

Panggilan Ke Dua Untuk Buchtar Tabuni

Ditulis Oleh: Feri/Papos
Kamis, 23 Oktober 2008

http://papuapos.com
AKTOR: Buchtar Tabuni ketika memimpin massa di depan Ekspo Waena saat bergerak membawa aspirasi mendukung peluncuran IPWP ke DPRP pada Kamis (16/10) lalu
JAYAPURA (PAPOS) –Polisi kembali akan memanggil Buchtar Tabuni untuk kedua kalinya terkait kejadian kasus di pintu gerbang Kampus Uncen dan depan Ekspo Waena, pada Kamis (16/10) lalu.

Sebelumnya, Sabtu (18/10), Polisi telah melayangkan surat panggilan pertama kepada Buchtar Tabuni, namun panggilan itu tidak diindahkan olehnya. Untuk itu, Direktorat Resesse dan Kriminal (Dit Reskrim) Polda Papua akan melayangkan surat panggilan kedua.

Buchtar Tabuni dipanggil Polisi terkait dirinya diduga sebagai aktor dibalik rencana aksi demo massa, Kamis (16/10), dalam rangka mendukung peluncuran International Parlement of West Papua (IPWP) di London Inggris 15 Oktober 2008.

Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Drs Agus Rianto kepada wartawan mengatakan, pihaknya telah mempersiapkan surat pemanggilan kedua kepada saksi bernama Bucthar Tabuni.

"Panggilan pertama sudah dikirimkan dan saksi menolak panggilan pada Senin (20/10) kemarin, saksi sempat datang ditemani pengacaranya, tapi karena alasan sakit, maka pemeriksaan batal dilakukan," ujarnya, Rabu (22/10), di Mapolda Papua.

Sebagai tindak lanjut hukum, kata Agus, Polda akan memanggil ulang saksi dengan surat panggilan ke dua untuk dimintai keterangan berkaitan dengan rencana demo massa Panitia Nasional untuk IPWP dan dugaan tindakan makar serta dugaan melawan petugas keamanan.

Padahal aksi demo itu sama sekali tidak mendapat ijin, namun tetap dilaksanakan

saksi tanpa menghiraukan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan buah dari pemaksaan kehendak tersebut kampus Uncen di Perumnas III Waena sempat dipalang oleh massa Panitia nasional untuk IPWP yang diketuai oleh Buchtar Tabuni.

Bahkan setelah dibubarkan aparat keamanan, massa beralih berkumpul dan berorasi di Ekspo Waena dan berencana melakukan long marth ke Jayapura, untuk menyampaikan aspirasi di gedung DPRP.

Aksi itu disinyalir mengadung tindakan makar dan saksi juga dianggap melawan aparat keamanan sebagai aparat penegak yang sah di NKRI. Pemanggilan Bucthar ini, kata Agus, bukan sebagai pelaku melainkan untuk dimintai keterangan sebagai saksi atas rentetan kejadian itu.

Disinggung adakah saksi lain yang akan dipanggil, Agus, belum bisa membocorkan siapa lagi saksi berikut yang dipanggil Polisi. memastikan, namun pengembangan kasus ini memerlukan saksi-saksi tambahan agar pemeriksaan obyektif.

"Pastinya ada yang akan dipanggil selain Buchtar, tapi kami belum bisa memberitahukan siapa dia. Yang jelas, kami butuh banyak saksi," tegasnya.(feri)

Selasa, 21 Oktober 2008



Hasil IPWP London Diumumkan

Sikap Represive Aparat Disesalkan

JAYAPURA - Gagal melakukan demo guna menyampaikan dukungan peluncuran Kaukus International Perlemen for West Papua (IPWP) 15-18 Oktober lalu di London, Inggris tidak menyurutkan IPWP Papua untuk tetap menyuarakan asprasi tersebut.
Dalam press confrence di Sekertariat Dewan Adat Papua (DAP), Selasa (21/10), Ketua IPWP Papua Buchtar Tabuni didampingi Sekertaris IPWP Viktor F Yeimo, Koordinator umum Peluncuran IPWP Sebi Sambom, Koordinator Lapangan Elly Sirwa dan Ketua Tim Legislasi AMPTP Albert Wanimbo didampingi puluhan massa pendukungnya akhirnya mengumumkan hasil IPWP di London, Inggris yang sudah ada di tangan mereka.
4 lebar hasil IPWP dalam Bahasa Inggris itu diterjemahkan oleh Viktor F Yeimo. Isi dari hasil IPWP di London memuat beberapa poin yaitu pertama, mendesak setiap negara di Eropa untuk tidak melakukan hubungan dengan Indonesia sampai Indonesia memberikan ruang kebebasan yang damai bagi masyarakat Papua. Kedua, meminta agar ada peninjau dari pihak International menyangkut masalah di Papua. Ke-tiga, mendesak PBB untuk mendengarkan salah satu penasehat dari pengadilan Internasional dibawah hukum Internasional.
Ke-empat, seluruh kekayayaan alam di Papua digunakan sepenuhnya untuk masyarakat Papua. Ke-lima, desak Sekjend PBB untuk mereview kembali tentang aturan PBB menyangkut proses bebas memilih di Papua (menyangkut Pepera). Ke-enam, mengirim tim peninjau untuk melihat pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.
Ke tujuh, meminta pemerintah Indonesia untuk membebaskan Filep Karma, Yusak Pakage dan semua tahanan politik dengan segera serta membuka akses jurnalis internasional ke Papua. Ke-delapan, mendesak agar dihentikan segala bentuk illegal loging oleh Indonesia di Papua yang dapat mengakibatkan perubahan iklim serta memonitor perjanjian mineral di Papua hingga ICJ memberikan kelayakan.
Menurut Victor, Peluncuran Kaukus yang dihadiri oleh sejumlah parlemen International di Inggris dan Eropa ini intensif dilakukan mulai pukul 15.00 - 16.30 waktu London yang dihadiri oleh dua anggota Perlemen Inggris Andrew Smith dam Lord Harries. Tidak itu saja, Vintor juga mengklaim bahwa peluncuran tersebut mendapat dukungan dari seluruh parlemen di Inggris, Eropa Amerika, para senator di Australia, New Zealand, Vanuatu, dan Papua New Guinea.
"Dari pertemuan itu juga dihadiri oleh Benny Wenda -mahasiswa, Mrs Melinda Janki dari International Human Rights Law Expert, Jeremmy Corbyn dan Opik dari Parlemen UK," papar Victor membacakan hasil tersebut.
Sementara ketika disinggung kecaman anggota DPR RI, Theo L Sambuaga terkait sponsor yang dilakukan pihak asing dalam parlemen tersebut, Koordinator umum peluncuran IPWP Sebi Sambom mengatakan bahwa Indonesia jangan ikut campur urusan negara lain yang sedang membahas permasalahan di Papua, karena saat ini Indonesia tidak bisa mengintervensi negara maju." Itu hanya komentar orang politik yang sedang dalam posisi sulit," lanjut Sebi.
Ia juga menyayangkan sikap aparat dalam aksi demo damai di Jl Irian Jayapura, Senin (20/10). Menurutnya, dari sikap represive aparat saat mengamankan dan membawa pendemo menggambarkan pada dunia bahwa di Papua memang terjadi penekanan militer terhadap masyarakat Papua Barat. Padahal menurut pria berambut gimbal ini, demokrasi itu memiliki undang-undang dan bagaimana menyampaikan pendapat dimuka umum mereka telah pahami.
" Jangan memberikan teror mental yang akhirnya menimbulkan ketakutan pada masyarakat. Kami melihat tentara dan polisi yang membangun konflik dari ketakutan tersebut," jelas Sebi.
Sementara itu, Ketua IPWP Papua Buchtar Tabuni juga menyayangkan sikap anggota DPRP yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Alasannya, saat mereka akan menyampaikan aspirasi, ternyata tidak satupun wakil rakyat berada di tempat. " Kami sudah memberitahukan sebelumnya bahwa kami akan datang tanggal sekian untuk menyampaikan pendapat, tetapi ternyata tidak ada siapa-siapa," sesal Buchtar.
Sikap semacam ini yang dianggap tidak memihak rakyat sehingga kedepannya Buchtar Cs sepakat untuk memboikot Pemilu." Kami juga akan menyurati semua mahasiswa Papua yang kuliah di Jawa, Bali, Sumatrea, Sulawesi untuk kembali menyusun kekuatan serta boikot Pemilu.
Buchtar menyampaikan bahwa dengan sikap tegas yang akan mereka ambil l itu sama artinya tidak ada legitimasi terhadap pemerintah Indonesia yang membenarkan bahwa rakyat Papua adalah bagian dari Indonesia."Papua bisa dikatakan bagian dari NKRI jika rakyat ikut memilih. Jika tidak, yah sama saja ada penolakan terhadap legalitas daerah itu," tegas Buchtar.
Pria dengan gaya khas kacamata hitam dan pakaian loreng model Army ini juga mengomentari soal penanganan para pendemo kemarin.
Dengan gagalnya penyampaian aspirasi langsung ke DPRP nampaknya membuat IPWP Papua merancang strategi lain. Buchtar Tabuni dan Victor menegaskan bahwa yang difokuskan saat ini bukan lagi menghadap DPRP, melainkan melakukan sosialisasi untuk seluruh masyarakat Papua Barat melalui parlemen yang telah dibentuknya.
" Jika Papua ( DPRP, red) tidak mau menerima ini, kami akan sampaikan di parlemen kami sendiri. Soal hasil ini akan kemana nantinya urusan parlemen," tandas keduanya seraya mengatakan bahwa mereka akan kembali mengambil sikap menyurat ke Jakarta dan PBB, tanpa menjelaskan lebihjauh meteri surat yang akan dikirim tersebut.(ade)

Kapan Papua Membangun?

Ditulis Oleh: Yorrys Th Raweyai
Rabu, 22 Oktober 2008

http://papuapos.com
Yorrys Th Raweyai
Rakyat Aceh patut berbahagia dengan apa yang terjadi dalam setahun terakhir ini, utamanya menyangkut resolusi damai dan politik ketatanegaraan terkait kasus Aceh. Khususnya dalam hubungan propinsi tersebut dengan Jakarta.

TEPAT satu tahun yang lalu, satu terobosan bernama Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dan GAM ditandatangani di Helsinki setelah sebelumnya dilakukan 5 kali perundingan informal.

Bagai lokomotif kereta api, MoU mampu menarik rangkaian gerbong perubahan yang manfaatnya segera dapat dirasakan oleh warga Aceh, yakni penghentian kekerasan, penyerahan senjata GAM dan penarikan pasukan TNI/Polri non-organik dari Aceh, amnesti dan kompensasi untuk mantan anggota GAM, dan terakhir pengesahan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UU PA) yang akan menjadi pengawal proses lebih lanjut.

Ratusan ribu warga yang memadati halaman Masjid Baiturrahman Banda Aceh memperingati setahun MoU beberapa waktu lalu mengekspresikan kebahagiaan yang juga ikut kita rasakan.

Meskipun masih terdapat kekurangan di sana-sini, namun situasi Aceh berangsur membaik tahap demi tahap. Akhir tahun ini provinsi ini akan menggelar pilkada-hampir bersamaan untuk propinsi dan kabupaten-kabupaten-yang akan menjadi momentum politik terpenting bagi Aceh di masa depan. Eksponen GAM kemungkinan akan mengikuti momentum tersebut, dan hal ini akan menjadi batu ujian bagi resolusi damai di Aceh.

Dengan semua prestasi membanggakan ini, tidak salah sebutan beberapa kalangan setahun lalu bahwa MoU Helsinki telah menjadi kado bagi untuk ulang tahun Indonesia yang ke-60 (tahun 2005). Dan jika kita mengikuti perkembangan Aceh selama setahun ini, tidak salah pula menyebut bahwa hingga peringatan proklamasi kemerdekaan RI yang ke-61 di tahun 2006 ini, kado masih berasal dari Aceh.

Ingatan kita melayang ke belahan NKRI yang paling timur, wilayah penerima otonomi khusus yang lain, yakni Papua. Sama dengan Aceh, wilayah inipun memiliki masa lalu yang kelam.

Namun berbeda dari Aceh yang telah menunjukkan perubahan yang signifikan, proses penataan Papua nampaknya lebih banyak jalan di tempat. Hubungan Jakarta dan Papua masih didominasi oleh mis-interpretasi dan distrust yang sangat mengganggu pemulihan dan pembangunan Papua.

Saat disahkannya UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua pada tanggal 21 November 2001, masyarakat Papua menyambut masa depannya dengan suka cita. Namun dalam perjalanannya, bayangan indah itu seolah sirna secara perlahan. Otonomi khusus dijalankan setengah hati sehingga menafikan kaidah lex-specialis yang mendasarinya.

Hal ini masih diperparah oleh minimnya dialog antara Jakarta dan Papua. Masing-masing berdiri pada posisinya sendiri dengan persepsinya sendiri-sendiri. Jakarta dan Papua ibarat dua kelompok manusia yang sibuk bermonolog dan saling mencurigai niat satu sama lain.

Moratorium Politik Papua

Kentalnya nuansa politik adalah salah satu penghalang utama dari pelaksanaan Otsus dan pembangunan kembali Papua. Nuansa politik ini berkembang di kedua pihak, Jakarta dan Papua, bahkan menjangkiti seluruh stake holder.

Pemerintah pusat misalnya masih menyimpan ketakutan tentang bahaya separatisme Papua dan sangat sering terjebak dalam ketakutannya sendiri.

Di sisi lain berbagai kalangan pemimpin Papua, termasuk DPRP dan MRP, terlalu sering menggunakan kaca mata politik mencurigai setiap langkah pemerintah pusat. Kondisi ini- lah sesungguhnya yang membuat kemacetan pelaksanaan Otsus selama ini.

Nuansa politik yang terlalu kental juga menyebabkan minimnya produk Perdasi/Perdasus. Padahal Perdasi/ Perdasus adalah instrumen yang seharusnya menjabarkan implementasi UU Otsus.

Akibatnya pemerintah daerah tidak memiliki aturan yang memadai dalam melaksanakan pembangunan dalam kerangka UU Otonomi khusus. Pemerintah daerah merasa tidak memiliki panduan yang cukup sekaligus standar evaluasi pelaksanaan pembangunan. Tidak mengherankan apabila kebocoran dana Otsus diperkirakan sangat besar. Faktanya, sejak pelaksanaan UU Otsus kesejahteraan masyarakat Papua tidak mengalami peningkatan berarti.

Dari sinilah pentingnya semua pihak menurunkan tensi politik dalam setiap langkahnya. Moratorium politik dibutuhkan agar setiap pihak dapat mengurus tugasnya masing-masing secara benar dan bertanggungjawab.

Depdagri dapat mengelola urusan nasionalnya, Pemda Papua dapat berkonsentrasi mengelola pembangunan yang bisa menyentuh rakyat, DPRP dapat memfokuskan diri pada pembuatan rancangan Perdasi dan Perdasus, sekaligus mengawasi kinerja Pemda, MRP segera meningkatkan kinerjanya dalam meng- kaji dan menyetujui Perdasi dan Perdasus.

Adalah sangat ironis kita menyaksikan move politik demikian gencar dilakukan, sementara sektor-sektor pembangunan terbengkalai. Dana Otsus senilai 12 triliun rupiah yang dibagi-bagi kepada pemerintahan provinsi dan kabupaten tanpa mempertimbangkan urgensi pembangunan, dan lebih didominasi oleh biaya birokrasi dan aparatur pemerintah.

Di masa depan seluruh stakeholder Papua harus dapat memastikan bahwa sebagian besar dana Otsus dapat menyentuh langsung kepentingan rakyat Papua.

Pandangan

Terhadap hal ini, penting dikutip di sini pandangan Gubernur Papua Barnabas Suebu yang kurang lebih terdiri dari dua hal. Pertama, yang lebih dibutuhkan di Papua saat ini adalah sebuah audit atau evaluasi menyeluruh atas penyelengggaraan Otonomi Khusus di Papua selama ini.

Audit ini tentunya bukan hanya ditujukan kepada pejabat dan birokrat di Papua, tetapi juga di Jakarta (Departemen Dalam Negeri). Melalui audit inilah kita bisa mengetahui sejauhmana capaian Otsus selama ini dan dimana letak penyimpangannya.

Kedua, seluruh stake holder menyangkut masalah Papua harus bersedia duduk bersama baik dalam kerangka evaluasi Otsus maupun revisi Otsus (seandainya diperlukan). Stake holder ini adalah: pemerintah pusat (Depdagri), DPR, DPD, Pemda Papua, Pemda Irjabar, DPRP, DPRD Irjabar, MRP, DAP, representasi pemimpin agama, LSM, dan unsur perguruan tinggi di Papua. Kesediaan untuk duduk bersama akan menguji sejauhmana seluruh stake holder dapat membangun trust dan kebersamaan.

Pandangan Barnabas untuk melibatkan banyak pihak dalam membicarakan masalah Papua sudah selayaknya diperhatikan karena ketidakpercayaan sudah mulai menyebar, bukan saja antara masyarakat Papua dengan pemerintah Pusat, tetapi juga antara masyarakat Papua sendiri.

Dengan melibatkan seluruh stake holder Papua, rasa keprihatinan atas kondisi masyarakat Papua dapat dibangkitkan. Pada saat itu pembangunan yang sesungguhnya dimulai.(disadur dari Suara Pembaharuan)