Senin, 24 November 2008

Dari Seminar Formulasi Perdasus Peradilan Adat dan Penguatan Kapasitas Peradilan Adat Papua

Hukum Adat Sangat Fleksibel, Tidak Boleh Menjadi Hukum Positif


Setelah melalui proses yang cukup panjang, kemarin lembaga Kemitraan bekerjasama dengan Pemprov Papua, DPRP, Kejati, Polda Papua, Pengadilan Tinggi Papua, MRP, UNCEN Jayapura, Dewan Adat Papua dan Lembaga Masyarakat Adat Papua
menggelar seminar terkait dengan program formulasi Perdasus Peradilan Adat dan penguatan kapasitas peradilan adat di Papua. Seperti gambaran Peradilan Adat yang tengah disusun itu dan sudah sampai dimana proses penyusunannya.

Laporan RAHMATIA
Sebuah hukum adat memang tidak seharusnya dan tidak boleh dijadikan sebagai suatu aturan Perundang-undangan, sebab hukum adat bisa sangat fleksibel. Ia juga bisa bersifat luwes dan dinamis, tak heran kalau hukum adat seringkali menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Begitu antara lain yang dikemukakan pakar hukum adat Prof Dr. MG Endang Sumiarni, SH.M.Hum menyangkut Hukum Adat pada seminar sehari tentang Peradilan Adat Papua yang berlangsung di SwissbelHotel kemarin. "Kalau dulunya menjadi hukum, maka bisa saja sekarang bukan lagi menjadi hukum, contohnya hukuman nyawa dibayar nyawa. Di zaman sekarang hukum itu tidak dipakai lagi, maka diganti dengan yang lain," katanya.
Tetapi yang paling penting bagi Ketua Program Studi S2 Universitas Atmajaya Yogyakarta ini adalah dalam pamahaman hukum adat ini, bahwa dengan Peradilan Adat dikembalikan kepada system masing-masing suku, mengingat di Papua terdiri dari berbagai macam suku. "Itu artinya kita tidak bisa meng-generalisasi system hukum adat yang ada, tetapi tetap dikembalikan kepada masing-masing suku yang ada sesuai dengan hukum adatnya masing-masing," katanya.
Dan kembali pada Rancangan Perdasus yang sekarang tengah disusun, maka disini hendaknya lebih mengatur pengakuan pemerintah tentang hukum adat yang diimpelemtasikan dalam Peradilan Adat Papua. Untuk itu, perlu diatur juga hubungan antara Peradilan Adat dengan Peradilan Negara yang ada baik itu Pengadilan, Kejaksaan dan Kepolisian. "Ini penting karena dalam pelaksanaannya nanti sebisanya antara keduanya ada sinergi," ujarnya.
Karena konkritnya putusan Peradilan Adat harus mendapat pengakuan dari peradilan negara. Hanya tergantung dari kasusnya. Artinya suatu keputusan Pengadilan Adat harus diakui oleh Kepolisian, Kejaksaan maupun Pengadilan, karena intinya Peradilan Adat adalah Peradilan perdamaian. "Jadi kalau pihak yang bersengketa sudah menerima keputusan merasa sudah memenuhi rasa keadilan maka kasus itu dianggap selesai dan itu harus diakui oleh peradilan negara baik itu kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan," terangnya.
Sebaliknya, kalau kalau kasusnya dianggap belum selesai, maka boleh saja kasus itu dilanjutkan ke peradilan negara. Dengan begitu di dalam Peradilan Adat ada prinsip umum yang sama dan mengandung kearifan lokal dengan bentuk yang berbeda - beda. "Untuk itu kalau kita membuat suatu peraturan yang merupakan bentuk peradilan yang bentuk perlindungan maka diatur juga tentang prinsip - prinsip umum," katanya.
Karena hukum adsat lahir dan tumbuh dalalm masyarakat adat itu sendiri dan hukum adat itu tidak tertulis dalalm bentuk peraturan perundang -undangan. "Jika materi hukum adat dibentuk dalam Peraturan Perundang Undangan maka itu bukan hukum adat tetapi hukum positif.
Kendati diakui suatu hukum adat yang yang tertulis diartikan sebagai hukum tercatat (yang ditulis) oleh siapapun baik warga adat, penulis ataupun oleh peneliti dan lain-lain. Atau dapat juga dibuat dalam bentuk dokumentasi tentunya yang ditulis dalam bentuk prasasti, daun lontar atau buku kuno dan itu merupakan dokumentasi turun temurun.
Endang lalu mencontohkan, di Bali setiap banjar atau desa memiliki hukum adat yangh ditulis dan disebut awek awek yang isinya mencakup hampir semu abiding hukum mulai dari lingkungan, pengelolaan air, hewan hingga kesusilaan. Papua juga bisa mencatat seperti itu.
Sementara Elfa Rori Project Manager Partnership Papua (Kemitraan) menjelaskan bahwa kegiatan yyang digelar selama tiga hari itu merupakan tindaklanjut dari proses pembuatan rancangan Perdasus. "Sambil menunggu proses di DPRP, kita diskusikan lagi," ujarnya. Dengan begitu maka dasar pelaksanaan Peradilan Adat akan lebih dalam lagi dikaji.
Karena itu, agenda yang dibahas dalam pertemuan itu antara lain, membicarakan kebijakan Pemprov Papua dan DPRP terhadap Peradilan Adat. "Kalau memang akan menjadi Perdasus, bagaimana nanti eksistensi dari MRP, ALDP dan DAP. Sebab peradilan adat dianggap penting dan strategis," katanya.
Hanya saja pertanyaannya sekarang jika nanti Peradilan Adat telah diputuskan dan ditetapkan apa langkah konkrit dari Pemprov Papua, "Ini yang perlu distressing, karena kalau kita mau bicara perlindungan maka harus konkrit perlindungan itu seperti itu. Jadi jangan samp[ai Perdasus ini berhenti sampai disini saja," tandasnya.
Sedangkan Wakil Ketua Komisi F DPR Papua Ir Weynand Watori mengakui bahwa terkait Peradilan Adat itu sejak Desember tahun 2005 lalu sebenarnya sudah ada kesepakatan yang dibuat para pejabat di Papua. Inti dari kesepakatan itu adalah agar segera dibuat suatu perdasus untuk Peradilan Adat sebagai implementasi dari UU Otsus Papua. Dan mewujudkan itu, DPRP dan Kemitraan melaksanakan suatu penjaringan aspirasi, pembahasan dan sampai saat Agustus lalu sudah rampung dan sudah disampaikan ke DPRP.
Usulan yang disampaikan itu akan menjadi hak inisiatif DPRP dan akan dibahas dalam masa sidang yang sedang berlangsung saat ini. "Sekarang porosesnya sedang berjalan dan sudah diajukan di Panitia Legislasi dan Panitia Musyawarah, jadi tinggal disahkan saja sebagai hak inisiatif dewan yang nantinya dengan SK DPRP akan disampaikan kepada gubernur untuk diproses sesuai mekanisme dan selanjutnya dikembalikan lagi ke dewan dalam bentuk Rancangan Perdasus dan selanjutnya disahkah dalam tahun ini juga," paparnya.
Sebab intinya kata Weynand dewan hanya tinggal memberikan pengakuan dan dukungan bagi penyelenggaraan Perdasus tersebut. Dalam seminar yang berlangsung tiga hari itu dihadiri sejumlah Ketua DAP dari kabupaten dan kota, sejumlah praktisi hukum di Jayapura dan beberapa LSM.*

Tidak ada komentar: