Senin, 29 Desember 2008

Dalam Kubangan Krisis Identitas

Agus Sudibyo

Runtuhnya rezim komunis tahun 1989 membawa kawasan Eropa Timur pada
situasi "krisis identitas".

Ketika komunisme tak lagi membangkitkan rasa segan, bangsa-bangsa
bekas Uni Soviet dan Blok Timur menggali kembali identitas lamanya
berdasar sensibilitas etnis, religius, dan nasionalisme.

Krisis menyadarkan, identitas nasional bukan sesuatu yang final dan
tak dapat dipertanyakan. Meminjam perspektif non-essentialist dalam
studi tentang identitas, identitas nasional bersifat relasional,
kontekstual, terbentuk melalui aneka perubahan sosial. Identitas bukan
sesuatu yang kodrati, tetapi hasil konstruksi sosial (Woodward, 2002).
Dalam terminologi Ben Anderson, identitas nasional adalah cultural
artefacts of a particular being.

Senjang dan tidak adil

Tanpa terkecuali di sini adalah identitas nasional Indonesia. Jatuhnya
rezim Orde Baru membuka lembaran sejarah baru di mana identitas
nasional terkoyak-koyak oleh konflik etnis, agama, dan nasionalisme.
Indonesia menanggung beban tak kalah berat dibanding Uni Soviet atau
Yugoslavia dalam menghadapi krisis identitas kebangsaan.

Letupan kekerasan yang masih terjadi di Poso, aksi teror atas etnis
Tionghoa, dan ketegangan seputar isu pemekaran dan otonomi khusus
Papua memberi sinyal, krisis tak akan berakhir dalam waktu dekat.
Jelas ini bukan kabar gembira bagi mereka yang meyakini NKRI sebagai
formulasi final bagi komunitas dari Sabang sampai Merauke. Namun,
letupan-letupan kekerasan itu amat berguna untuk mengingatkan, memang
ada yang salah dengan nasionalisme kita.

Apa yang salah? Tak mudah menjawabnya. Teori Ben Anderson tentang
"komunitas-komunitas terbayang" mungkin sedikit membantu. Menurut
Anderson, bangsa dan kebangsaan sebenarnya bukan sebuah kolektivitas
politik, tetapi "khayalan" tentang kolektivitas politik. Disebut
khayalan karena sebagai bangsa, kita tidak pernah saling mengenal satu
sama lain. Pada benak tiap anggota bangsa, hidup bayangan tentang
kebersamaan dan kesetiakawanan, tanpa peduli ketidakadilan,
ketimpangan, pengisapan terus terjadi dalam kerangka kebangsaan
(Imagined Communities, Insist Press, 2001).

Kesalahan kita mungkin tidak pernah membuktikan kesalahan teori
"komunitas-komunitas terbayang". Sebaliknya, relatif mudah
memverifikasi teori ini berdasar kondisi faktual. Sinisme terhadap
nasionalisme Indonesia tak akan reda sejauh kesuksesan demi
kesuksesan, kegagalan demi kegagalan, beban demi beban, dan peluang
demi peluang sebagai bangsa belum terdistribusi dengan adil. Faktanya,
hari ini peradaban modern mudah ditemukan di sudut-sudut Jawa,
sementara banyak saudara di pelosok Papua dan Kalimantan, yang
kekayaan alamnya terus dieksploitasi "orang Jawa", masih hidup dari
meramu dan berburu.

Sebagian besar orang Papua belum pernah ke Jawa, juga sebaliknya.
Lebih dari itu, kita cenderung mempersepsi Papua sebagai sesuatu yang
berjarak, yang ada di luar kosmologi kita. Apa yang ada di benak kita
tentang Papua kurang lebih gambaran budaya yang eksotik dan
pra-modern. "Orientalisme" dalam persepsi ini membuat kita kurang
sensitif terhadap perilaku-perilaku yang tanpa disadari diskriminatif
terhadap bangsa Papua.

"Orientalisme" ini paralel dengan prasangka rasial tentang etnis
Tionghoa. Kekerasan dan teror atas etnis Tionghoa hampir selalu
terlambat diantisipasi karena kita belum benar-benar menghampiri
mereka dalam kerangka "kekitaan". Ketika satu kelompok masih
dikonstruksi sebagai "mereka" (the others), maka solidaritas, rasa
kebersamaan sulit dibangkitkan. Sebagian dari kita masih membayangkan
diri sebagai pribumi saat berhadapan dengan etnis Tionghoa, meski
tidak jelas apa beda pribumi dan nonpribumi selain warna kulit dan
bentuk mata. Seperti kata Woodward, identitas membuat kita lebih
selidik atas berbagai perbedaan daripada kesamaan- kesamaan yang ada.

Politik identitas

Dalam konteks Papua diperlukan politik identitas yang mempertimbangkan
faktor geo-politis dan geo-ekonomis. Amat tidak memadai jika politik
identitas hanya diterjemahkan dengan kehadiran presiden dalam perayaan
Natal bersama rakyat Papua, atau keputusan membuat Majelis Rakyat
Papua. Wacana pengembalian otonomi khusus muncul karena persepsi,
pemerintah tidak membuat terobosan berarti guna mengurai ketidakadilan
yang dirasakan rakyat Papua.

Rakyat Papua kian imun terhadap bujuk-rayu, janji pembangunan dan
pemerataan. Mereka takkan berhenti menuntut bukti bahwa nasionalisme
Indonesia benar-benar membuat mereka senasib dan sejajar bangsa-bangsa
di Nusantara. Bukan "nasionalisme jang menjerang-jerang, jang mengejar
kepentingannya sendiri, dan nasionalisme perdagangan jang untung atau
rugi," seperti dijanjikan Soekarno.

Namun, sejauh ini belum ada gelagat pemerintah memikirkan politik
identitas. Politik identitas atau strategi kebudayaan mungkin dilihat
sebagai kerja jangka panjang yang berbelit-belit dan tidak praktis
karena pemerintah terbiasa mendekati masalah secara pragmatis:
militeristik berbasis kekerasan.

Pendekatan yang tidak pernah menurunkan tensi kebencian dan antipati.
Hasil polling Lingkaran Survei Indonesia menunjukkan, hanya 45 persen
orang Aceh yang merasa sebagai orang Indonesia. Jika pendekatan
kekerasan tetap ditonjolkan, fakta serupa mungkin juga terjadi pada
orang Papua, Tionghoa, dan lain-lain.

Agus Sudibyo Deputi Direktur Yayasan SET Jakarta

Tidak ada komentar: