Kamis, 20 November 2008

TERORISME VERSUS ASPIRASI PAPUA MERDEKA

Oleh : John Fatie

Kampanye perang terhadap terorisme kini telah mewarnai percaturan politik internasional pasca tragedi 11 September 2001 yang meluluhlantakan menara kembar World Trade Center di Manhattan New York dan Pentagon di Washington DC sebagai simbol kekuatan ekonomi dan pertahanan Amerika Serikat telah meminggirkan issue issue hak asasi manusia dan demokrasi yang mana kapitalis barat - Amerika Serikat dan Sekutunya - yang selama ini mengklaim dirinya sebagai the champion of democracy and human right.

Bagi pemerintah Indonesia, tragedi 11 September, di satu sisi, dipandang sebagai suatu inhuman act maka pemerintah cepat bereaksi dengan mengeluarkan pernyataan resmi negara untuk mengecam dan mengutuk pelaku peristiwa yang menimpa negeri Uncle Sam itu dan menyatakan komitmen bulat ikut bersama-sama bangsa-bangsa lain sebagai komunitas dunia untuk memerangi tindak kejahatan terorisme. Sedangkan di lain sisi, pemerintah menyambut dampak yang ditimbulkan peristiwa itu sebagai blessing in disguise (berkat terselubung ).Di saat pemerintah Indonesia begitu sangat frustrasi dan bingung menghadapi gerakan separatisme dibeberapa wilayah di Kepulauan Nusantara ini.

Dalam kunjungan kenegaraan Presiden RI ke Washington sepekan setelah tragedi 11 September, tampa di tunggu-tunggu, Presiden Megawati Soekarnoputri meminta persetujuan pemerintah Amerika Serikat melalui State Department-nya agar Gerakan Aceh Merdeka dicap sebagai teroris dan dimasukan ke dalam daftar teroris yang disiapkan oleh State Department AS (Gema Warta, Radio Nederland, 05/07/2002,"Siapa Yang Terotis GAM atau TNI ?" ).Namun permintaan Pemerintah Indonesia itu ditampik oleh Washington. Karena Washington dan Jakarta punya perspektif yang berbeda dalam melihat masalah Gerakan Aceh Merdeka. Karena perbedaan perspektif itulah, Washington mengirim Jenderal Anthony Zinni yang dekat dengan Pemerintahan Bush ke Aceh untuk mempelajari situasi sebenarnya yang terjadi di Aceh. Hasilnya, Sang Jenderal itu merekomendasikan diadakan dialog sebagai cara yang sangat demokratis, beradab dan bermartabat dalam menyelesaikan masalah Aceh. Atas rekomendasinyalah akhirnya Pemerintah RI dan GAM, dimediasi oleh Henry Dunant Centre menandatangani The Cessation of Hostilities Agreement ( Kesepakatan Penghentian Permusuhan ) di Genewa 09 Desember 2002 ( Kompas, 10/12/2002 ).

Sikap yang sama dapat ditunjukan oleh pemerintah Indonesia saat kunjungan Perdana Menteri Australia John Howard ke Indonesia dalam rangka penandatanganan Memorandum of Understanding to Combat Terrorist antara kedua pemerintah bulan Februari 2002 yang lalu. Greg Poulgrain menyoroti kunjungan tersebut dengan artikelnya yang bertajuk Who are the Terrorists ? (The Courier Mail, 09/03/2002). Menurut Greg bahwa kedua pemerintahan menyikapi MoU tersebut dari dua perspektif yang berbeda. Bagi pemerintah Australia, memandang MoU tersebut merupakan legal instrument yang sangat bermanfaat bagi kedua negara dalam kerjasama untuk memerangi teroris Internasional, misalnya Al-Qaeda. Namun , pemerintah Indonesia dan TNI, malah mendefinisikan apa yang tertuang dalam MoU dengan bahasanya sendiri. Menurut Pemerintah dan TNI, teroris didefinisikan sama maknanya dengan akitivis Organisasi Papua Merdeka, Gerakan Aceh Merdeka maupun Republik Maluku Selatan.
Pada kesempatan penandatanganan MoU tersebut, A.M.Hendropriyono, Kepala BIN Indonesia, meminta masyarakat international untuk memberikan dukungan untuk menumpas gerakan separatis di Aceh dan Papua - kedua daerah di unjung barat dan Timur kepulauan Indonesia. Dia mempertanyakan mengapa negara-negara lain hanya mendukung Prancis dalam menghadapi separatis Corsica ,Inggris melawan separatis Irish Rebublican Army atau Spanyol melawan separatis Basque, sedangkan mereka ( negara-negara lain ) mengapa tidak memberikan dukungan terhadap Indonesia untuk menumpas gerakan separatis di Papua dan Aceh. ("Indonesia's Head of the State Intelligence Agency, A.M.Hendropriyono, asked the international community for more support to quell separatist movement in the outlying Province of Papua and Aceh. He also asked why do ( other countries )support France against Corsica, why support England against Irish Rebublican Army, why support Spain against Basque ? Why don't you support us too ?") (Greg Poulgrain,The Courier Mail,09/03/2002 ).

Ketika bom berkekuatan maha dahsyat memporak-porandakan Sari Club Bali 12/10/2002 yang menewaskan ratusan nyawa WNI dan WNA, Badan Intelejen Negara ( BIN ) atas nama pemerintah Indonesia mengarahkan telunjuknya menuding berbagai kelompok yang diduga sebagai teroris yang terlibat dalam tragedi yang memilukan itu. Organisasi Papua Merdeka ( OPM ), seperti halnya GAM dan RMS, dikategorikan sebagai salah satu dari 6 kategori, kategori nomor urut pertama, pelaku yang diindikasikan terlibat dalam peristiwa itu ( Rilis Terbatas 01/BIN/HUMAS/10-2002,15/10/2002 ).

Stigmatisasi Organisasi Papua Merdeka sebagai organisasi terorisme adalah bukan hal baru bagi Pemerintah Indonesia. Itulah cara Pemerintah Indonesia dalam mengahadapi kelompok yang berseberangan dengan negara, apa lagi yang berupaya mengancam territorial integrity dan national sovereignty. Stigmatisasi OPM sebagai organisasi terorisme adalah hal yang sangat sering dilontarkan pemerintah secara resmi maupun tidak resmi oleh penguasa dalam birokrat pemerintahan, baik legislatif, eksekutif maupun TNI-POLRI . Diplomat Senior KEDUBES RI di Canberra Australia, Imron Cotan, atas nama Pemerintah Indonesia, misalnya, dalam wawancaranya dengan ABC, Asia Pacific Programme 10/09/2002, sehubungan dengan peristiwa Penembakan di Mill 62-63 Tembagapura, menghendaki pemerintah Australia agar memasukkan Pemberontak Papua - OPM di Irian Jaya - ke dalam daftar Organsisi Teroris dan membekukan asetnya di Australia.Seperti dikutip "The Indonesian Government wants Australia to list the Papuan rebels in Irian Jaya, the OPM, as a terrorist organisation and freeze any assets the group has in Australia."

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Organisasi Papua Merdeka harus dimasukkan sebagai organisasi teroris ? Sampai hari inipun, berbagai kalangan baik di dalam maupun luar negeri masih terus memperdebatkan ketidakjelasan apa definisi teroris sebenarnya.Definisi itu hanya dibuat untuk lebih menguntungkan kepentingan si pembuat perangkat hukum itu sendiri. Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, kita harus melihatnya dari 3 perspektif: 1)perspektif aspirasi Papua Merdeka 2)perspektif penguasa Pemerintah Indonesia 3)perspektif komunitas internasional. Pertama,perspektif aspirasi Papua merdeka .Dasar dari tuntutan hak untuk menentukan nasib sendiri lepas dari NKRI berlandaskan pada 1) DUH PBB 1948 2) alinea pertama pembukaan UUD 1945 3) resolusi DK PBB No.1514 ( XV ) tentang pemberian kemerdekaan bagi bekas wilayah koloni 4) manifesto politik komite nasional Papua Barat 19 Desember 1961 5) pengakuan Presiden RI Pertama Soekarno tentang adanya negara Papua Barat yang diwujudkan pembubarannya melalui TRIKORA 19 Desember 1961 6) surat Kongres Amerika Serikat 22 Mei 1998 7) Aspirasi rakyat Papua yang disampaikan oleh Tim 100 dihadapan Presiden Habibie dan Kabinetnya 26 Februari 1999 di Instana Merdeka Jakarta 8) Resolusi Kongres Rakyat Papua II thn 2000 9) sangat menguatnya aspirasi rakyat bangsa Papua untuk memisahkan diri dari NKRI. Dan untuk mewijudkan tujuan penentuan nasib sendiri,Kongres Papua 2000 telah memberikan mandat yang jelas kepada Presidium Dewan Papua sebagai kendaraan politik perjuangan Papua merdeka sudah jelas melandaskan perjuangannya dengan azas perjuangan politik melalui dialog politik secara damai, demokratis, adil, jujur, beradab dan bermartabat pada tingkat nasional, regional dan internasional ( Beanal, 04 Juni 2000, hal.16 ). Kedua, Perspektif penguasa pemerintah Indonesia. Penguasa baik sipil maupun Militer dengan pendekatan keamanannya selalu mendewakan serta mensakralkan kebijakan territorial integrity ataupun national integrity dalam mempertahankan keutuhan NKRI. Bagi siapa dan daerah mana yang berseberangan dengan penguasa selalu ditanggapi dengan stigmatisasi separatisme, gerakan pengacau keamanan, teroris dan sederet stigmatisasi lainnya. Maka tidaklah mengherankan bahwa jawaban yang diterima oleh mereka yang berbeda pendapat tersebut adalah laras senapan dan bedil. Makmur Keliat dengan artikelnya yang bertajuk,"Siapakah Yang Berhak Memaknakan Indonesia ?"( Kompas,01/10/2001 ), menyoroti bahwa selama ini para penguasa hanya memberikan penekanan yang berlebihan pada national integrity, sehingga dapat berimplikasi pada pemahaman Indonesia dalam konteks keutuhan geografis semata. Dalam konteks ini, makna kata "Indonesia" hanya dipahami sebagai satu kesatuan teritorial yang terletak dari Sabang sampai Merauke. Kebijakan seperti ini hanya mendewakan keutuhan wilayah sehingga mengabaikan penegakkan semangat kemanusiaan, keadilan dan persaudaraan warga negaranya. Kebijakan semacam itu tentu sangat bertentangan dengan gagasan tentang bangsa. Karena bangsa tidak tampak dalam wujud nyata, tetapi hanya terungkap dalam semangat psikologis memori kolektif warganya. Jika rajutan memori kolektif itu tercerai berai maka bangsa itu akan terpecah berkeping-keping ( shattered nation ). Hal yang harus dipahami bahwa kehadiran manusia mendahului bangsa dan bukanlah sebaliknya. Manusia Papua tanpa bangsa Indonesia, tetaplah sebagai manusia Papua. Namun sangat sulit untuk membayangkan bangsa indonesia tanpa manusia Papua, Aceh, Dayak dan lain-lain. Manusia lah yang membentuk bangsa dan bangsa adalah hasil karya atau buah gagasan kreatif manusia. Dan, manusia, terlepas dari latar belakang suku, agama, budaya, stratifikasi sosial dan warna kulit adalah hasil karya mulia dari Allah. Ketiga, Perspektif komunitas internasional. Komunitas internasional, entah itu Amerika dengan sekutunya, Asia, maupun tetangga dekat Asia Tenggara dan negara-negara kepulauan Pasifik, pada faktanya, melihat bahwa aspirasi rakyat Papua untuk memperjuangkan kemerdekaannya bukanlah organisaisi teroris. Tapi adalah 1) perjuangan untuk memperoleh hak-hak yang dijamin dan diakui oleh hukum internasional maupun nasional. Namun fakta lainnya adalah bahwa Papua adalah bagian integral Indonesia 2) nedara-negara asing, khususnya Amerika dengan sekutunya, punya kepentingan bisnis dan politik di tanah Papua. Di bidang bisnis, sebut saja, Amerika dengan Freeport McMoran-nya, Inggis dengan British Petroliumnya yang mengoperasikan LNG di Bintuni. Dunia memandang Papua sebagai dapur masa depannya bagi investasi multilateral corporation untuk pengeksploitasian SDA yang dikandung di dalam perut negeri ini. Dan bagi mereka, apabila terjadi destabilisasi dan situasi keamanan kacau , katakanlah perang antara pemerintah Indonesia dan TNI terhadap aktivitas perjuangan aspirasi Papua merdeka sebagai aktivitas dan organisasi teroris, maka mereka pasti tidak nyaman mengepak sayap kepentingannya di tanah ini. Oleh karena perspektif mereka yang berbeda dengan pemerintah Indonesia seperti disebutkan di atas, dan atas kenyataan bahwa Papua masih merupakan bagian integral Indonesia, maka sebagai bangsa-bangsa yang menghargai serta menghormati sovereignty bangsa Indonesia atas Papua, mereka ( komunitas Internasional ) lebih mengharapkan dan mendorong agar dicapainya suatu penyelesaian dengan peaceful dialogue secara demokratis, adil,beradab dan bermartabat.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah solusi terbaiknya ? Pertanyaan ini harus diarahkan dan dapat berpijak pada tiga perspektif yang bertolak belakang seperti penulis sebutkan di atas. Dan satu-satunya cara yang paling baik dan tepat untuk menjembatani perbedaan tersebut adalah dialog atau perundingan-perundingan.Bangsa-bangsa yang menjunjung tinggi penghormatan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia selalu memandang dialog adalah sebuah instrument yang sangat efektif untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi bangsanya sendiri maupun antar bangsa. Berhadapan di meja perundingan adalah cara yang sangat jantan, beradab dan bermartabat.Dan bukan sebaliknya diperhadapkan dengan bedil dan laras senapan.Dialog dimaksud ,tidak bisa direduksi hanya soal mempertahankan kedaulatan RI atas Papua tetapi lebih dari itu ialah dilakukan demi kebenaran dan keadilan yang menjadi jantung bagi penghargaan terhadap hak asasi manusia.

Inisiatif untuk membawa persoalan Papua ke meja perundingan, baik secara nasional maupun internasional telah datang dari orang Papua sendiri maupun berbagai pihak di luar negeri. Hal itu kerap kali kita simak dari desakan dan seruan dari berbagai pihak agar persoalan Papua harus dikedepankan dengan peaceful dialogue. Kongress Rakyat Papua 2000, misalnya, sudah memberikan mandat kepada Presidium Dewan Papua untuk membawa persoalan Papua ke meja perundingan. Thaha Al Hamid Sekjen PDP dalam wawancaranya dengan Radio Nederland,03/12/2002,mengatakan "Jakarta selalu berseru mari berdialog, tetapi dari tahun 2000 rakyat Papua berseru mari berdialog dalam rangka meluruskan sejarah Papua, Jakarta tidak pernah merespon. Dan sebenarnya ini suatu petunjuk bahwa tidak ada suatu konsensus nasional tentang penyelesaian konflik secara damai." Menteri Luar Negeri Selandia Baru, Phil Goff, seperti diberitakan Harian New Zealand Heral,08/10/2002, pada kesempatan pertemuan Forum Dialog Pacific Barat Daya di Jokjakarta, menawarkan kesediaan pemerintahnya untuk menjadi mediator.Tawaran itu didasarkan pada catatan pengalaman Selandia Baru dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah PNG dan kelompok separatis di Bougainville. Dia mengatakan bahwa pada dasarnya pemerintahnya menyatakan kesediaannya, jika diminta, akan membantu menyelesaikan persoalan Papua. Namun pemerintah Indonesia selalu kuatir dan curiga atas keterlibatan pihak ketiga dan mengatakan bahwa persoalan yang dihadapinya adalah masalah dalam negeri Indonesia. Sumber tersebut seperti dikutip "Mr.Phil Goff cited New Zealand's record in helping Bougainville separatists to reach a settlement in Papua New Guinea. What we're basically putting on the table is New Zealand's readiness, if requested, to give assistance to help in the resolution of the situation in Papua...., however, Indonesia has always been worried about and suspicious of the third-party involvement in what it regards as essencially a domestic affairs". Tawaran lain datang juga dari Deputi Perdana Mentri yang juga menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Vanuatu Serge Vohor mengatakan bahwa bila Presiden Megawati Soekarnoputri sendiri menghendaki dilakukannya dialog, maka dia akan dengan senang hati memimpin sebuah delegasi ke Jakarta."He said he was willing to lead a delegation to Jakarta if President Megawati Soekarnoputri herself wished to continue a dialogue on the issue of West Papua (Pacific Weekly Review/PINA Nius online,08/11/2002 ). Desakan lain agar diadakan dialog juga datang dari Forum Kepulauan Pasifik, Solidaritas nasional dan Internasional untuk Papua.

Mengapa Jakarta selalu alergi dan mencurigai keterlibatan pihak ketiga dalam penyelesaian konflik dengan terus berdalih bahwa persoalan Papua adalah Indonesian domestic affairs ? Menurut penulis, di balik dalih itu, sebenarnya terkungkung perasaan takut, kuatir dan curiga karena something has been going wrong with the genuine fact and truth of the Papuan history - before and after being integrated into Unitary State of Indonesia".
Dan sekarang, Jakarta tinggal memilih, pendekatan mana, yang lebih manusiawi,beradab,dan bermartabat 1) non violence approach ataukah 2)violence/security approach. Dan kalau Jakarta masih meyakini bahwa pilihan kedualah yang paling baik, seperti yang selama ini dipraktekkan mulai dari rezim Soekarno hingga Megawati Soekarnoputri menghadapi aspirasi Papua merdeka. Maka akan tetap berlaku ungkapan "Kekerasan hanya dapat disembunyikan oleh kebohongan dan kebohongan hanya dapat dipelihara dengan kekerasan"( "Violence can only be concealed by a lie and the lie can only be maintained by violence" ).

Tidak ada komentar: