Selasa, 21 April 2009

DEMONSTRASI PAPUA MERDEKA

Sebagai Pendidikan penyadaran bagi penguasa

Sering saat kita membuka koran atau majalah, kita melihat dan membaca berita-berita tentang demonstrasi. Biasanya demostrasi dilakukan sebagai tanda tuntutan atau protes atas keadaan ekonomi, social dan politik yang tidak adil akibat kebijakan. Aksi demonstrasi dapat berakhir dengan damai tapi juga dengan bentrok fisik. Situasi seperti itu seringkali terjadi terutama pada Negara-negara berkembang.
Khusus di Indonesia aksi demonstrasi secara besar-besaran dimulai sejak tahun 1998. Tema utama aksi pada saat itu adalah “penggulingan kekuasaan orde baru yang militeristik”. Masyarakat dan mahasiswa mau supaya ada perubahan di negeri ini. Dampak positifnya adalah kebusukan penguasa orde baru yang melahirkan kemiskinan dan ketidakadilan terkuak. Akhirnya semua orang boleh menyampaikan aspirasinya dengan bebas dalam bentuk apapun sejauh tidak menimbulkan konflik ataupun menentang kekuasaan negara. Dan itu dijamin dalam konstitusi Negara bahkan undang-undang di Negara ini.
Momentum ini pun telah dimanfaatkan oleh orang Papua untuk menyampaikan pikiran mereka yang selama ini dikekang karena tekanan militer tadi. Aspirasi merdeka pun mencuat di ranah Papua. Semua orang Papua mulai dari yang besar sampai yang kecil mulai mempertanyakan hak-hak mereka yang dirampas dan direkayasa selama puluhan tahun. Mereka bertanya, mengapa kami yang disebut-sebut juga sebagai warga negara Indonesia di berlakukan tidak-adil ? kenapa kami tidak pernah dihargai sebagai seorang manusia yang mempunyai hak dan kewenangan di atas tanah kami sendiri ? mengapa kami rakyat tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan kebijakan ?
Ketika pertanyaan-pertanyaan diatas disuarakan oleh rakyat dan mahasiswa, mereka mendapat tekanan dari TNI/Polri. Mereka dihanggap penghambat pembangunan bahkan dicap sebagai gerakan separatis. Sebagian dari mereka ditangkap, diproses hukum dan dipenjarakan dengan tuduhan melakukan makar1. Tanggapan secara emosional dari pemerintah terutama TNI/PoLRI ini telah menimbulkan penentangan dari masa rakyat dan mahasiswa. Kemudian yang terjadi adalah penyisiran kerumah-rumah penduduk oleh aparat yang ujungnya menimbulkan keresahan dan ketidakdamaian. Masyarakat jadi tidak bebas untuk berkarya dan menyampaikan aspirasinya. Keadaan seperti itulah yang disebut sebagai Spiral Kekerasan2.
Tekanan-tekanan yang ada tidak menyulut semangat mahasiswa untuk terus menyampaikan keinginan mereka. Justru semangat berkobar dikala tekanan-tekanan itu mereka alami. Dalam situasi seperti itu pemerintah harus bijaksana dan berpikir positif dalam menanggapinya. Sebab bukan jamannya lagi untuk mempraktekkan kekerasan dan menyembunyikan diri dari tanggungjawab. Pemerintah harus terbuka menerima rakyat untuk berdialog, bicara dari hati ke hati bukan sebagai musuh tapi sebagai anak dan bapa.

Demonstrasi Sebagai Pendidikan Bagi Penguasa
Kata orang pedidikan tidak mengenal usia. Itu berarti pendidikan itu juga tidak mengenal status sosial-politik seseorang. Entah itu kaya atau miskin, tua atau muda, kecil atau besar semua, tergantung siapa yang mau. Pendidikan bisa didapatkan secara formal tapi juga secara informal. Secara khusus demonstrasi dapat dikategorikan sebagai pendidikan informal. Walaupun demikian seringkali terjadi perbedaan pandangan antara masa masyarakat dan penguasa. Bagi masyarakat demostrasi dilakukan dengan tujuan untuk meningatkan penguasa, sebaliknya penguasa memandang aksi itu sebagai penentangan terhadap kekuasaan. Akhirnya bentrok fisik pun pasti akan terjadi akibat gesekan perbedaan pandangan tadi.
Ketika pikiran penguasa diatas terus ada dan bersarang di otak maka pemerintah menjadi jembatan atau sponsor konflik antara aparat keamanan dan masa unjuk rasa. Atau penguasa menjadi sumber ketidak damaian itu sendiri.
Jika mau dipikir sesungguhnya demonstrasi harus dianggap sebagai sebuah pendidikan penyadaran. Penyadaran terhadap kebijakan yang tidak adil juga sebagai momentum intropeksi diri. Bukan penentangan atau pengoyangan terhadap kekuasaan Negara. Ketika rakyat bicara, suara itu datang dari hati mereka. Bukan dari hati yang mengandung kebencian tapi hati yang penuh kasih. Hati yang mau bilang supaya penguasa lebih bijak dalam mengambil dan melaksanakan kebijakan. Hati yang mengajak kita untuk hidup damai dan sejahtera dalam kesejajaran.
Jadi ketika rakyat Papua minta merdeka hendaknya pemerintah mengintropeksi diri. Bercermin dan bercermin lalu bertanya mengapa masyarakat Papua minta merdeka? Bukan melakukan tindakan kekerasan. Sebenarnya aspirasi merdeka lahir hanya karena masyarakat Papua merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah sejak tahun 1962.
Lalu apa solusinya? Bagi saya yang pertama, pemerintah harus duduk dan mengoreksi dirinya. Kedua, pemerintah harus menghilangan pandangan negative terhadap orang Papua. Ketiga, pemerintah harus membuka diri berdialog dengan orang Papua, terutama rakyat akar rumput yang selalu menjadi korban kebijakan. Semoga!

By: N@ldo

DIALOG JAKARTA-PAPUA

DIALOG JAKARTA-PAPUA
Sebuah Perspektif Papua
Itulah judul dari buku yang ditulis oleh Dr.Neles Tebay. Buku ini diluncurkan pada tanggal 11 Maret 2009 yang dihadiri oleh semua elemen masyarakat yang ada di Jayapura. Banyak pihak selama ini meminta supaya ada dialog yang terjadi antara orang Papua dengan pemerintah pusat. Dialog dimaksudkan untuk mengakhiri konflik dan kekerasan yang sudah lama terjadi di tanah Papua. Dialog itu pun tidak pernah terjadi lantaran 1) Belum ada konsep dialog yang jelas, 2) Ada dua ideology yang bertentangan, yaitu Bagi orang Papua “Merdeka harga mati” sementara bagi pemerintah “NKRI harga mati”. Dari buku ini pak Neles Tebay mau mengajak Papua dan Jakarta untuk keluar dari kotak-kotak ideology tadi dan membagun dialog tentang kemanusiaan. Kedua pihak harus tampil dengan wajah baru dan mengambil posisi sebagai pemecah masalah bukan sebagai pemicu masalah. Tema kemerdekaan harus diabsenkan dari dialog karena baginya itu akan menjadi duri dalam dialog damai itu. Yang perlu dilakukan dalam dialog ini adalah mengidentifikasi masalah dan mencari solusi yang dapat diterima dan disetujui oleh kedua belah pihak. Menurut Neles Tebay isi dari buku ini hanya merupakan pandangan pribadinya juga umpan bagi semua komponen masyarakat Papua guna membangun isu dialog ini mulai dari keluarga sampai ke komunitas dimana kita hidup dan berkarya. Bukan hanya dikalangan orang asli Papua tapi juga semua orang yang hidup ditanah Papua. Ia berkeyakinan bahwa masalah tragedi kemanusiaan di Papua akan dapat diakhiri hanya dengan membangun dialog. Dialog yang dibangun dengan prinsip kasih, kebebasan, keadilan dan kebenaran.
Buku ini mencakup 15 pokok bahasan. 1) menggambarkan pentingnya dialog Jakarta-Papua guna menyelesaikan konflik Papua secara damai, 2) memperlihatkan adanya kemauan untuk berdialog dari kedua belah pihak yang bertikai, 3) mengangkat pentingnya pernyataan public orang papua bahwa isu kemrdekaan Papua tidak akan dibahas dalam dialog, 4) menekankan pentingnya pemerintah Indonesia memperlihatkan keseriusannya untuk berdialog dengan orang Papua, 5) mengangkat pentingnya kerangka acuan dialog, 6) memaparkan prinsip-prinsip dasar, 7) menguraikan tujuan dialog, 8) menekankan pentingnya partisipasi masyarakat Papua, 9) menawarkan target-target yang dapat dicapai melalui dialog Jakarta-Papua, 10) menggambarkan tahapan dialog, 11) mengidentifikasi peserta dialog, 12) mengidentifikasi fasilitator dan peranannya, 13) menyinggung pentingnya keterlibatan lembaga-lembaga ilmiah, 14) menerangkan peranan pihak ketiga, dan 15) menekankan pentingnya monitoring tindak-lanjut.

Berikut ini adalah tangapan atas buku yang disampaikan oleh tiga orang pembeda:
Dr. Sostenes Sumihe
1.Kehadiran buku “ dialog Jakarta-Papua”, karya Dr.Neles Tebay, patut disambut dengan gembira, karena memecahkan kebekuan diskusi sekitar tema yang sempat menghangat beberapa waktu lalu mengenai dialog pemerintah Indonesia dengan orang Papua mengenai konflik Papua. Kebekuan itu disebabkan oleh belum terdapat kesepakatan mengenai substansi dialog itu. Dr. Tebay mencatat: “belum ada satu konsep tertulis tentang dialog Jakarta-Papua yang dikehendaki oleh pemerintah dan orang Papua”.
2.Sesungguhnya dari pihak orang Papua substansi dialog itu sudah jelas; yaitu kekerasan atas kemanusiaan orang Papua, yang membuat orang papua mempertanyakan eksistensi dirinya dalam republic ini dan karena masalah yang pertama ini, orang Papua akan mendialogkan kemerdekaan, yang oleh Dr.Tebay justru tidak dimasukkan menjadi agenda dalam dialog tersebut.
3.Belum terlalu jelas, mengapa Dr.Tebay tidak masukan kemerdekaan itu ke dalam dialog. Apakah karena “adanaya sikap kecurigaan pada pihak pemerintah Indonesia “ ?
4.Saya melihat ada alasan principal pada Dr.Tebay tidak menjadikan kemerdekaan itu pokok dialog. Hal yang principal itu adalah masalah kemanusiaan orang Papua. Dalam butir 1.1 Dr. Tebay secara rinci mengemukakan peristiwa-peristiwa tragedy kemanusiaan orang Papua, yang mengakibatkan penderitaan, kematian serta menimbulkan luka batin yang dalam serta hilangnya rasa percaya kepada pemerintah. Bagi Dr.Tebay tragedy kemanusiaan itu adalah hal yang amat mendasar dan sekaligus menyakitkan, dan karena itu harus dihentikan. Dalam hubungan itulah ia sangat kuat menekankan, apa yang juga dikehendaki banyak pihak tentang penyelesaian konflik Papua secara damai dan bermartabat. Untuk kepentingan demikian, dialog adalah jalan pemecahan yang terbaik. Tetapi dialog ini harus berlangsung dalam prinsip 4 K, yaitu kasih, kebebasan, keadilan, dan kebenaran.
5.Dalam kerangka prinsip itu, menurut saya, Dr.Tebay merasa tema kemerdekaan harus diabsenkan dari dialog, karena akan menjadi duri dalam dialog damai, yang akan dapat menimbulkan kekerasan dan tragedy kemanusiaan baru, yang akan menambah panjang daftar orang Papua yang mati serta semakin dalam penderitaan dan luka batin orang Papua. Tragedy kemanusiaan itu dapat terjadi karena pihak pemerintah memiliki kerangka pikir “kesatuan territorial” yang dapat diduga akan diikuti dengan tindakan militerisme.
6.Patut digarisbawahi bahwa Dr.Tebay melihat dialog itu sebagai sebuah proses. Dialog itu terjadi bukan saja pada saat kedua belah pihak (pemerintah dan orang Papua)duduk bersama dan berdialog, melainkan diawali dengan pertemuan-pertemuan dan percakapan-percakapan yang intensif dari berbagai kelompok masyarakat; bahkan ini harus berlangsung sesudah dialog itu, untuk menindaklanjutinya dengan dialog dalam aksi.
7.Dalam proses tersebut, hal yang sangat strategis adalah rekomendasi Dr.Tebay mengenai “ komunikasi politik guna membangun kepercayaan (trust building) orang Papua terhadap pemerintah”. Menurut Dr.Tebay komunikasi politik ini dilakukan utusan pemerintah untuk melakukan percakapan politik dengan orang Papua dalam berbagai level. Komunikasi politik ini penting untuk menentukan masalah yang sesungguhnya yang diantara orang Papua.
8.Namun saya juga hnedak menyarankan komunikasi dan percakapan politik itu dilakukan diantara orang Papua oleh orang Papua sendiri yang dapat menjembatani perbedaan-perbedaan dan menyatukan cara pandang orang Papua atas masalahnya sendiri.
9.Komunikasi dan percakapan politik, baik yang dilakukan utusan pemerintah mamupun oleh orang Papua sendiri tersebut, akan sangat membantu proses dialog sebagai upaya mencari dan merumuskan masalah secara jernih serta solusi yang tepat dan benar yang harus diambil atas masalah itu, guna menghindari terulangnya tragedy kemanusiaan Papua di waktu yang akan datang.
10.Proses itu penting dan anagt menentukan hasil yang akan dicapai dalam dialog. Menurut Dr.Tebay hasil yang hendak dicapai dalam prose situ adalah ”Papua Tanah Damai”. Tatapi bagi saya ini menimbulkan pertanyaan: apakah hasil akhir itu yang menentukan proses, ataukah proses yang menentukan hasil akhir? Saya khawatir, kalau hasil akhir sudah ditentukan, maka proses akan direkayasa melayani pencapaian hasil yang sudah ditentukan. Maka prinsip kasih, kebebasan, keadilan dana kebenaran dalam dialog tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.
11.Dalam masalah dialog Jakarta-Papua, saya cenderung menekankan pada prosesnya. Dalam proses itu masalah masalah mendasar diurai dan substansi masalah dirumuskan. Yang paling substansial dalam proses situ adalah menemukan masalah bersama serta langkah pemecahannya. Tentu seperti ditekankan Dr.Tebay, kita merajuk prose situ dalam “ prespektif perdamaian”.
12.Pada akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa kehadiran buku Dr.Tebay menyajikan sebuah prespektif baru dalam melihat masalah konflik Papua, yaitu menempatkan masalah itu dalam prespektif kemanusiaan. Dan ketika harkat kemanusiaan manusia menjadi poros pergulatan atas masalah itu, maka catatan reflektif saya adalah, bahwa Tuhan sedang berkarya untuk membawa masalah kemanusiaan orang Papua ke titik akhir, agar orang Papua mengalami, apa yang dikatakan Dr.Tebay, “cinta kasih, kebebasan, keadilan dan kebenaran”.

Pdt. Herman Saud, S.Th
1.Pertama-tama saya menyampaikan terimakasih kepada Pastor Dr.Neles Tebay, STFT dan SKP Keuskupan Jayapura yang memberikan kepada saya kesempatan dan kepercayaan untuk ikut membahas buku: Dialog Jakarta-Papua.
2.Saya sudah membaca isi buku tentang dialog Jakarta-Papua dan sangat terkesan tentang berbagai pandangan Pastor mengenai dialog. Ada 15 pokok yang dibahas di dalam buku ini tentang dialog. Dari 15 pokok yang dibahas, saya hanya memilih tiga pokok saja, yaitu, 1) perlunya dialog, 2) alasan-alasan dialog yakni karena sumber konflik yang ada di Papua dan adanya kesediaan atau kemauan untuk berdialog, baik dari Jakarta maupun dari orang-orang Papua, 3) tujuan untuk mengadakan dialog, supaya menciptakan Papua Tanah Damai untuk menjadi tekanan pembahasan saya.
3.Setelah membaca buku ini timbul kesan, 1) bahwa pastor Neles melihat dialog masih sanagt dibutuhkan sebagai salah satu solusi terbaik untuk menuntaskan sumber konflik di Papua dengan pemerintah pusat, disamping solusi pertama yaitu OTSUS yang sudah gagal diimplementasikan. Karena itu saya memang memuji Pastor atas kesetiaan dan ketaatan memperjuangkan sesuatu yang diyakini benar, walaupun tidak begitu mudah untuk direalisasikan. Dan memang, itulah pekerjaan Pastor. 2) bahwa pastor Neles adalah salah satu diantara manusia Papua yang berseru-seru di padang guru, tetapi tidak ada orang yang mau mendengar dan menanggapinya, baik pemerintah pusat maupun orang Papua sendiri.
4.Mengamati sikap pemerintah pusat sejak kejatuhan Soekarno atau barangkali sejak integrasi Mei 1963 terhadap orang-orang Papua, maka dialog dengan pemerintah pusat tidak perlu, karena kita akan membuang waktu dan tenaga untuk itu, yang hasilnya nihil. Yang sangat perlu adalah dialog diantara masayarakat di tanah Papua sendiri karena:
a.Dari pihak pemerintah, tidak akan bersedia melakukan dialog dengan orang-orang Papua, sebab Pemerintah merasa orang Papua tidak terlalu penting. Ada alas an bagi pemerintah untuk menganggap orang papua tidak penting, a) ada kebanggaan tersendiri dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, bahwa Indonesia merdeka dari hasil perjuangan yang gigih mengusir penjajah Belanda selam 350 tahun, mengusir penjajah Jepang dengan bamboo runcing, kemampuan mengalahkan pemberontak-pemberontak dalam negeri ( Kartosuwiryo, PRRI/PERMESTA dan penumpasan G 30 S/PKI. Pengalaman sejarah yang panjang ini menjadi alasan bagi pemerintah pusat yang masih dipengaruhi oleh militer untuk tidak akan bersedia menerima suatu dialog dengan orang Papua. b) disamping pengalaman sejarah, ada juga kebanggaan mayoritas ras dan agama ikut mempengaruhi pandangan dan sikap pemerintah Pusat untuk tidak berdialog dengan orang Papua. c) bahwa kesempatan dialog telah diberikan kepada orang Papua melalui tim 100, tetapi tidak dimanfaatkan dengan baik untuk berdialog, tetapi menyatakan kemerdekaan Papua. hala ini merupakan batu sandungan besar bagi pemrintah pusat untuk mendengar dan menerima dialog dalam bentuk apapun. d) diplomasi pemerintah Indonesia diluar negeri yang masih cukup kuat yang membuat pemerintah memandang enteng masalah Papua sebagai masalah dalam negeri yang mudah diatasi dengan berbagai cara.
b.Dari pihak orang Papua, timbul pertanyaan siapa yang mewakili orang Papua. atau orang papua siapa yang mau berdialog dengan pemerintah pusat. Sebagian besar orang Papua, tidak jelas posisi dan identitas ke-Papua-annya. Mereka hanya mengeja uang dan kedudukan, sehingga muda diperdaya. Tidak ada sikap menghargai diri dan identitas sendiri. Kelompok apapun yang dibentuk di Papua ini, ujung-ujungnya juga uang, alaupun berteriak “merdeka”. Dengan sikap seperti ini, kebanyakan orang Papua tidak merasa penting dialog itu. Apalagi sekarang dengan pemekaran propinsi dan kabupaten/kota, maka rasa harga diri dan jati diri Papua sudah tidak ada. Yang ada hanya pribumi menurut suku-suku. Papua diluar negeri tentu tidak diterima pemerintah pusat.
5.Berdasarakan alas an-alasan diatas, maka menurut pendapat saya bahwa harapan untuk menciptakan dialog dengan pemerintah pusat dengan orang papua adalah sesuatu yang sangat sulit dilaksanakan. Apalagi didalam buku ini diusulkan supaya pemerintah pusat mengambil inisiatif mengadakan dialog dengan orang Papua merupakan sesuatu yang mustahil terjadi. Kecuali ada suatu kekuatan dari luar yang mendesak pemerintah pusat untuk harus berdialog dengan orang Papua. Jika tidak ada dialog maka Papua akan pisah dari NKRI, barulah pemerintah bisa tergerak untuk berdialog dengan orang Papua.
6.Bahwa dialog tetap dilaksanakan tetapi itu dilaksanakan di tanah Papua. Untuk membangun kembali kesadaran terhadap harga diri dan jatih diri sendiri sebagai orang Indonesia asli Papua, sama seperti orang Indonesia asli asal jawa, sunda,batak,NTT,NTB, Dayak, minahasa,dll. Identitas seperti inilah yang harus dibangun supaya kita bisa eksis dinegeri ini. Didalam dialog diantara sesama orang Papua itu, kita perlu menilai apakah konflik-konflik yang terjadi di Papua ini memang murni ditimbulkan oleh orang Papua karena ingin merdeka atau ada unsur-unsur rekayasa dari pihak lain. Di dalam dunai yang menglobal ini, saya mengharap sesuatu dari pemerintah pusat yang kebanyakan peneyelenggaranya sendiri tidak menegrti statusnya sebagai pemimpin pemerintah Negara, maka adalah suatu pemborosan waktu, tenaga dan dana. Sebab bagi saya kita belum memiliki pemerintah yang sungguh-sungguh konsisten memimpin dan mengayomi seluruh warga Negara dan seluruh tumpah darah Indonesia menurut UUD’45. Pemerintah kita sekarang ini pemerintah golongan dan pemerintah proyek. Jadi sangatlah sulit mengharapkan sesuatu dari pemerintah yang demikian. Alangkah baiknya rakyat Papua bekerja sendiri untuk menciptakan kebaikan bagi diri dan lingkungannya sendiri tanpa mengaharapkan banyak dari pemerintah dan tanpa melakukan hal-hal yang melanggar hukum.
7.Kemudian setelah berdialog dengan semua orang Papua, maka perlu juga dibangun dialog atau diskusi dengan saudara-saudara kita dari luar Papua yang sudah lama hadir dan hidup ditanah Papua. bagaimana membangun pemahaman bersama untuk merasa memiliki tanah Papua ini dan merasa solider dengan penduduk Papua. membangun kesadaran bahwa mereka adalah bagian dari orang-orang Papua, meskipun mereka berkulit sawo matang dan berambut lurus. Membangun kesadaran untuk memiliki dan solider diantara sesama warga masyarakat di Papua ini bagi saya sangat penting. Dan tema dialog diantara warga masyarakat adalah MENCIPTAKAN PAPUA TANAH DAMAI UNTUK DI DIAMI OLEH SETIAP WARGA NEGARA INDONESIA DAN SETIAP INSAN MANUSIA. Jikalau kita sudah mampu membangun Papua ini menjadi Tanah Damai melalui dialog antar warga masyarakat, maka suasana damai dan aman akan tercipta bagi semua orang yang diam diatas tanah ini, tanpa rasa takut dan tanpa curi terhadap satu sama lain, maka Papua sudah merdeka dari pada daerah-daerah Indonesia lain.
Budi Setyanto
Dialog Jakarta-Papua Bisakah?
Pengantar
Buku Sdr.Neles merupakan buku yang layak untuk dibaca oleh banyak orang karena: 1) buku ini membuka wacana berpikir dan sekaligus mengajak bagi setiap orang Papua dan pemerintah Indonesia untuk mencari alternative penyelesaian konflik structural yang bersifat laten dan telah berlangsung lama antara orang Papua dengan pemerintah republic Indonesia. 2) buku ini berisi masalah-masalah subbstansial yang terjadi di Papua, padat, akurasi datanya bisa dipertanggungjawabkan dan cukup muda dimengerti. 3) untuk itu secara pribadi dan institusi ICS Papua saya memberikan apresiasi dan salut kepada Sdr.Neles Tebay yang telah menyusun buku ini.
Pandangan Terkait Dengan Pentingnya Dialog Konflik Di Papua
Dialog konflik Papua memang mengharuskan prasyarat bahwa kedua belah pihak harus memahami dan sadar akan pentingnya dilaksanakan dialog, untuk ituperlu dipertanyakan hal-hal sebagai berikut: 1) apa yang menjadi keuntungan dan kerugian bagi orang Papua jika dilakukan dialog dirasa penting. 2) apakah keuntungan-keuntungan tersebut nantinya dapat dirasakan oleh kebanyakan orang Papua atau segelintir orang Papua saja. 3)adakah jaminan bahwa orang Papua akan menikmati keuntungan tersebut berlangsung lama atau permanen dari generasi ke generasi (jaminan konstitusi). 3)apakah pentingnya dialog di Papua dapat di pahami dan dimengerti secara sadar oleh seluruh orang Papua dan bukan oleh actor-aktor yang representasinya dipertanyakan. 4) apakah otsus yang baru berjalan 7 tahun sudah bisa dijadikan sebagai aspek penting untuk menentukan pentingnya dilaksanakan dialog konflik di Papua.


Pandagan Terkait Dengan Adanya Kemauan Berdialog
Dialog dalam suatu konflik membutuhkan kemauan yang kuat dari kedua belah pihak dan bisa dikatakan sebagai prasyarat mutlak untuk suksesnya dialog. Dalam konteks ini muncul beberapa pertanyaan yang harus dijawab: a) sudah kemauan berdialog bagi orang Papua telah mengkristal, dalam pengertian apakah semua elemen orang Papua menginginkan atau memiliki kemauan untuk melaksanakan dialog. Sudahkah keinginan tersebut dirumuskan secara tertulis dan perna ditawarkan kepada pihak yang hendak diajak dialog. b) demikian juga dari pemerintah sudahkah pemerintah menawarkan dialog nasional dengan orang Papua.
Pertanyaan selanjutnya bisakah indicator-indikator yang ditulis dalam buku ini dapat diakui secara konsisten oleh masing-masing pihak dan penerusnya terkait dengan kemauan berdialog seperti; Dari pihak pemerintah; 1) komitmen Presiden SBY terkait dengan pendekatan damai, kasih sayang, demokratis. 2) komitmen Menlu R.I terkait dengan niat pemerintah Indonesia mengutamakan solusi tanpa kekerasan dalam mengatasi konflik di Papua. 3) komitmen DPR R.I terkait dengan statement Theo L. Sambuaga untuk penyelesaian Papua melalui dialog nasional dan local. 4) komitmen DPD dengan statement La Ode Ida Dialog Nasional tentang Papua perlu dilaksanakan. 5) pertanyaannya bagaimana dengan komitmen Militer ? Dari masyarakat Papua; 1) statement orang Papua akan kesadaran untuk meninggalkan kekerasan dalam upaya penyelesaian konflik. 2) statement Organisasi Papua Merdeka terkait OPM berdialog dengan Indonesia. 3) lembaga-lembaga keagamaan, terkait dengan perjuangan melalui perudingan dam diplomasi dengan cara demokratis. 4) organisasi masyarakat sipil yang meminta agar dialog untuk mengakhiri konflik di Papua.
Pandangan Terkait Dialog Tidak Membahas Kemerdekaan Papua
Konflik Papua merupakan konflik politik yang bersifat structural antara pemerintah Indonesia dengan orang Papua sejumlah pertanyaan mendasar jika dialog tidak membahas isu merdeka ialah: 1) bisakah seluruh elemen orang Papua menerima dialog tanpa mempersoalkan masalah politik dasarnya (Tuntutan Kemerdekaan). 2) jika jawabnya bisa, maka pertanyaan selanjtnya bisakah penerimaan itu dijadikan dasar sebagai legitimasi representasi orang Papua secara keseluruhan. 3) bisakah penerimaan sebagaimana dimaksud diatas dapat tersosialisasi pada generasi berikut.
Pandangan Terkait Dengan Pemerintah Mesti Meyakinkan Orang Papua
1)Yakinkah pemerintah R.I akan memberikan peluang melakasanakan dialog secara serius.
2)Jika pemerintah tidak memberikan peluang berdialog, akankah orang Papua akan selalu menunggu d n beranikah orang Papua mengajak pemerintah melakukan dialog.
3)Apakah kesiapan orang Papua melakukan dialog damai mengaharuskan prasyarat untuk diyakinkan.
Hal-Hal Penting Agar Dialog Bisa Dilaksanakan
Beberapa factor penentu agar dialog ini bisa terlaksana adalah:
1)Saya sependapat dengan Sdr. Neles bahwa diantara orang Papua ada titik temu terkait dengan pandangan pentingnya dialog, adanya kaesatuan pandangan dialog untuk kemanusiaan (meninggalkan masalah politik) dan adanya rumusan/draft alternative capaian yang akan ditawarkan dalam dialog. (dilakukan pada tahap pra dialog).
2)Adanya tim penghubung yang dapat diterimma oleh kedua belah pihak, (dilakukan pada tahap mediasi)
3)Perumusan hasil dialog dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang terinci dan jelas.
4)Pengawasan pelaksanaan hasil dialog oleh tim gabungan keduabelah pihak.

Selasa, 13 Januari 2009

Wagub Panggil Bupati Puncak Jaya

Ditulis Oleh: Nabas/Papos
Rabu, 14 Januari 2009

http://papuapos.com
Alex Hesegem SE
SENTANI (PAPOS) -Wakil Gubernur Provinsi (Wagub) Papua Alex Hesegem SE, meminta kelompok TPN, OPM yang menyerang di Pos Polisi (Pospol) Tingginambut di Kabupaten Puncak Jaya segera mengembalikan barang jarahan berupa 4 pucuk senjata melalui pemerintah setempat atau melalui Gereja sebelum dilakukan penyisiran oleh TNI/Polri.

Untuk itu, Alex, akan segera memanggil Bupati Puncak Jaya untuk melakukan koordinasi terhadap peristiwa yang terjadi diwilayah tersebut dan kalau bisa pemerintah setempat yang harus mencari solusi terbaik.

Selain itu, menurut Alex, pemerintah di Provinsi akan melakukan peretemuan dengan berbagai satuan instansi untuk mengkordinasikan masalah tersebut agar cepat diatasi, sehingga tidak membuat masalah menjadi berlarut-larut.

Pasalnya bila tidak dikembalikan segera, pihak TNI Polri akan melakukan pengejaran yang dikuatirkan jangan sampai menelan korban jiwa warga masyarakat yang tidak mengetahui persoalan.

"Saya tidak mau melihat masalah ini berlarut-larut, seperti ini karena akan menimbulkan perselisihan antara masyarakat dan pemerintah," pungkasnya.(nabas)

Senin, 29 Desember 2008

Dalam Kubangan Krisis Identitas

Agus Sudibyo

Runtuhnya rezim komunis tahun 1989 membawa kawasan Eropa Timur pada
situasi "krisis identitas".

Ketika komunisme tak lagi membangkitkan rasa segan, bangsa-bangsa
bekas Uni Soviet dan Blok Timur menggali kembali identitas lamanya
berdasar sensibilitas etnis, religius, dan nasionalisme.

Krisis menyadarkan, identitas nasional bukan sesuatu yang final dan
tak dapat dipertanyakan. Meminjam perspektif non-essentialist dalam
studi tentang identitas, identitas nasional bersifat relasional,
kontekstual, terbentuk melalui aneka perubahan sosial. Identitas bukan
sesuatu yang kodrati, tetapi hasil konstruksi sosial (Woodward, 2002).
Dalam terminologi Ben Anderson, identitas nasional adalah cultural
artefacts of a particular being.

Senjang dan tidak adil

Tanpa terkecuali di sini adalah identitas nasional Indonesia. Jatuhnya
rezim Orde Baru membuka lembaran sejarah baru di mana identitas
nasional terkoyak-koyak oleh konflik etnis, agama, dan nasionalisme.
Indonesia menanggung beban tak kalah berat dibanding Uni Soviet atau
Yugoslavia dalam menghadapi krisis identitas kebangsaan.

Letupan kekerasan yang masih terjadi di Poso, aksi teror atas etnis
Tionghoa, dan ketegangan seputar isu pemekaran dan otonomi khusus
Papua memberi sinyal, krisis tak akan berakhir dalam waktu dekat.
Jelas ini bukan kabar gembira bagi mereka yang meyakini NKRI sebagai
formulasi final bagi komunitas dari Sabang sampai Merauke. Namun,
letupan-letupan kekerasan itu amat berguna untuk mengingatkan, memang
ada yang salah dengan nasionalisme kita.

Apa yang salah? Tak mudah menjawabnya. Teori Ben Anderson tentang
"komunitas-komunitas terbayang" mungkin sedikit membantu. Menurut
Anderson, bangsa dan kebangsaan sebenarnya bukan sebuah kolektivitas
politik, tetapi "khayalan" tentang kolektivitas politik. Disebut
khayalan karena sebagai bangsa, kita tidak pernah saling mengenal satu
sama lain. Pada benak tiap anggota bangsa, hidup bayangan tentang
kebersamaan dan kesetiakawanan, tanpa peduli ketidakadilan,
ketimpangan, pengisapan terus terjadi dalam kerangka kebangsaan
(Imagined Communities, Insist Press, 2001).

Kesalahan kita mungkin tidak pernah membuktikan kesalahan teori
"komunitas-komunitas terbayang". Sebaliknya, relatif mudah
memverifikasi teori ini berdasar kondisi faktual. Sinisme terhadap
nasionalisme Indonesia tak akan reda sejauh kesuksesan demi
kesuksesan, kegagalan demi kegagalan, beban demi beban, dan peluang
demi peluang sebagai bangsa belum terdistribusi dengan adil. Faktanya,
hari ini peradaban modern mudah ditemukan di sudut-sudut Jawa,
sementara banyak saudara di pelosok Papua dan Kalimantan, yang
kekayaan alamnya terus dieksploitasi "orang Jawa", masih hidup dari
meramu dan berburu.

Sebagian besar orang Papua belum pernah ke Jawa, juga sebaliknya.
Lebih dari itu, kita cenderung mempersepsi Papua sebagai sesuatu yang
berjarak, yang ada di luar kosmologi kita. Apa yang ada di benak kita
tentang Papua kurang lebih gambaran budaya yang eksotik dan
pra-modern. "Orientalisme" dalam persepsi ini membuat kita kurang
sensitif terhadap perilaku-perilaku yang tanpa disadari diskriminatif
terhadap bangsa Papua.

"Orientalisme" ini paralel dengan prasangka rasial tentang etnis
Tionghoa. Kekerasan dan teror atas etnis Tionghoa hampir selalu
terlambat diantisipasi karena kita belum benar-benar menghampiri
mereka dalam kerangka "kekitaan". Ketika satu kelompok masih
dikonstruksi sebagai "mereka" (the others), maka solidaritas, rasa
kebersamaan sulit dibangkitkan. Sebagian dari kita masih membayangkan
diri sebagai pribumi saat berhadapan dengan etnis Tionghoa, meski
tidak jelas apa beda pribumi dan nonpribumi selain warna kulit dan
bentuk mata. Seperti kata Woodward, identitas membuat kita lebih
selidik atas berbagai perbedaan daripada kesamaan- kesamaan yang ada.

Politik identitas

Dalam konteks Papua diperlukan politik identitas yang mempertimbangkan
faktor geo-politis dan geo-ekonomis. Amat tidak memadai jika politik
identitas hanya diterjemahkan dengan kehadiran presiden dalam perayaan
Natal bersama rakyat Papua, atau keputusan membuat Majelis Rakyat
Papua. Wacana pengembalian otonomi khusus muncul karena persepsi,
pemerintah tidak membuat terobosan berarti guna mengurai ketidakadilan
yang dirasakan rakyat Papua.

Rakyat Papua kian imun terhadap bujuk-rayu, janji pembangunan dan
pemerataan. Mereka takkan berhenti menuntut bukti bahwa nasionalisme
Indonesia benar-benar membuat mereka senasib dan sejajar bangsa-bangsa
di Nusantara. Bukan "nasionalisme jang menjerang-jerang, jang mengejar
kepentingannya sendiri, dan nasionalisme perdagangan jang untung atau
rugi," seperti dijanjikan Soekarno.

Namun, sejauh ini belum ada gelagat pemerintah memikirkan politik
identitas. Politik identitas atau strategi kebudayaan mungkin dilihat
sebagai kerja jangka panjang yang berbelit-belit dan tidak praktis
karena pemerintah terbiasa mendekati masalah secara pragmatis:
militeristik berbasis kekerasan.

Pendekatan yang tidak pernah menurunkan tensi kebencian dan antipati.
Hasil polling Lingkaran Survei Indonesia menunjukkan, hanya 45 persen
orang Aceh yang merasa sebagai orang Indonesia. Jika pendekatan
kekerasan tetap ditonjolkan, fakta serupa mungkin juga terjadi pada
orang Papua, Tionghoa, dan lain-lain.

Agus Sudibyo Deputi Direktur Yayasan SET Jakarta

Yakin, Otsus Sejahterakan Rakyat



*Kalla: Tangguh Bintuni Jadi Pusat Industri Petrokimia
SORONG- Meski pemberlakuan Otonomi khusus (Otsus), dinilai sebagian orang belum memberikan manfaat berarti bagi kesejahteraan rakyat Papua, namun Wakil Presiden Jusuf Kalla, yakin kalau Otsus akan mensejahterakan rakyat Papua.
Hal itu antara lain diungkapkan dalam sambutannya pada acara Temu Alumni dan Seminar Nasional Meretas Jalan Otonomi Khusus Menuju Papua Damai dan Sejahtera yang digelar oleh IKAMAPA (Ikatan Alumni Makassar Asal Papua).di Sorong kemarin.
Seperti diketahui dengan menggunakan pesawat khusus Senin (29/12) kemarin sekitar pukul 14.00 WIT Wakil Presiden HM Jusuf Kalla beserta rombongan tiba di Bandara Domine Eduard Osok (DEO) Sorong. Turut dalam rombongan wapres yaitu Ny. Mufidah Jusuf Kalla, Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numbery, Menteri Pekerjaan Umum Ir Joko Kirmanto Dipl HE, Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, istri Mendagri Evi Mardianto, Istri Menteri Pertanian Rossy Apriantono.
Wapres megakui jika pemerintah telah mengalokasikan dana terbesar untuk Papua dan Papua Baru. Dikatakan, ada hal-hal pokok dalam pelaksanaan Otsus di Papua dan Papua Barat, yaitu pemerintahan dan aspek ekonomi. Semuanya ini menuju kesejahteraan. Dalam hal pemerintahan, bagaimana kuatnya otonomi itu yang paling besar adalah otonomi khusus. Ini yang membedakan otonomi di sini dengan tempat lain.
Sedangkan aspek ekonomi, kalau dihitung-hitung anggaran tertinggi adalah untuk di Papua, dimana tahun 2007 dana Otsus Rp 29 triliun, padahal penduduknya hanya 2,9 juta. Artinya dari bayi sampai orang tua dapat Rp 10 juta/tahun.
"Kalau itu dibagi-bagikan semua, maka tidak ada kelaparan, tapi kita tidak bikin jalan, pelabuhan. Makassar saja Rp 2 juta/orang/tahun, Jawa Rp 1,5 juta/orang/tahun. Sekarang kenapa belum cukup? Karena Papua wilayahnya luas, maka kita harus sama-sama menggunakan kemampuan yang ada itu untuk kesejahteraan rakyat,"tandasnya.
Kata Wapres kemakmuran itu hasil daripada nilai tambah. Kalau kita ingin berhasil, kita sama-sama mengajak masyarakat memberikan nilai tambah, karena kalau tidak ada nilai tambah, maka kesejahteraannya konstan. Karena apapun hak yang diberikan Otsus atau apapun kalau tidak ada nilai tambah, maka perubahan yang lebih baik akan lama. Kenapa infrastruktur di kawasan timur ini lambat, karena saat itu pemikirannya kalau dibangun jalan siapa yang akan lewat. Sekarang pemikirannya harus dibalik yaitu kalau tidak dibangun bagaimana saya lewat.
Tapi ia minta jangan Otsus yang hanya bicara hak bukan kewajiban. Jangan karena tidak jadi bupati lalu bikin kabupaten baru. Kalau kita bicara kewajiban dulu, maka apa yang kita cita-citakan yaitu Papua yang maju tentu dapat kita capai. Kalau Otsus ini dilaksanakan secara konsisten akan mensejahterakan rakyat.
"Kami mengucapkan terima kasih kepada rakyat Papua yang menerima orang dari mana saja untuk mencari rejeki dan turut membangun di sini. Kultur masyarakat Papua adalah kultur yang paling sportif di dunia. Kalau diterapkan di sistem ekonomi maka tidak ada monopoli, karena ada aturan yang berjalan. Spirit sportivitas kalau dikombinasikan dengan nilai tambah dan ilmu pengetahuan untuk membangun daerah ini, sehingga apa yang dicita-citakan bersama ini dapat tercapai,"ujarnya.
Setelah menghadiri kegiatan Temu Alumni IKAMAPA, malam harinya sekitar pukul 20.00 WIT Wapres hadir dalam acara Resepsi Natal Kenegaraan Wakil Presiden Bersama Masyarakat Kabupaten Sorong di Gedung DPRD Kabupaten Sorong, Km 18.
Tangguh Pusat Industri Petrokimia
Pemerintah memproyeksikan Kabupaten Teluk Bintuni di Papua Barat menjadi pusat industri petrokimia. Rencana tersebut berkaitan dengan mulai berproduksinya proyek gas alam cair Tangguh di Kabupaten Teluk Bintuni.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, dirinya mendapat tugas khusus dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono guna menilai potensi mendirikan industri petrokimia di Tangguh. Selain memaksimalkan potensi gas, industri tersebut juga digunakan untuk mengantisipasi penurunan harga minyak internasional.
''Kita mencari nilai tambah dari gas di Tangguh. Kalau hanya jualan gas, ketika harga minyak turun, pendapatan (bagi hasil migas) pemerintah ikut turun,'' ujar Kalla ketika menjadi pembicara kunci di seminar tentang otonomi khusus Papua di Sorong, Papua Barat, kemarin (29/12).
Wakil Presiden Jusuf Kalla hari ini memang dijadwalkan berkunjung ke Teluk Bintuni untuk melepas kargo ekspor perdana gas alam cair Tangguh. Kalla juga dijadwalkan meresmikan pengeboran perdana lapangan minyak hasil kerja sama operasi Pertamina dan Petrochina di Kabupaten Sorong.
Proyek gas alam cair Tangguh adalah megaproyek yang dikerjakan konsorsium yang dipimpin perusahaan migas Inggris BP Plc. Dengan pengapalan perdana kargo gas hari ini, proyek senilai USD 5 miliar itu bisa memenuhi komitmen pengapalan gas kepada semua pembeli.
Sesuai kontrak, pembeli LNG dari Tangguh adalah CNOOC untuk pengiriman ke terminal Fujian sebesar 2,6 metrik ton per tahun. Pembeli lain adalah Sempra Energy LNG Corporation untuk pengiriman ke receiving terminal di Costa Azul, Mexico, seberat 3,7 metrik ton per tahun. Gas yang dikirim ke Sempra dipasarkan di Amerika Serikat dan Meksiko.
Gas alam dari Tangguh juga dikirimkan ke POSCO, K-Power, dan SK Corporation dari Korea Selatan. Pembeli yang juga telah antre adalah Tohoku Electric dari Jepang. Proyek LNG Tangguh akan mengolah gas yang berasal dari tiga ladang gas di Papua Barat. Yaitu, blok Berau, blok Muturi, dan blok Wiriagar.
Cadangan gas terbukti dari ketiga ladang itu adalah 14,4 triliun kaki kubik. Untuk tahap awal, Tangguh direncanakan memproduksi 7,6 metrik ton LNG per tahun dari dua unit pemurnian dan pencairan gas (train). Dengan beroperasinya lapangan gas Tangguh dan Petrochina, ujar Kalla, dana bagi hasil yang diperoleh rakyat Papua Barat dipastikan meningkat.
Sebab, sesuai UU Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat, provinsi berhak mendapatkan 70 persen alokasi dana bagi hasil yang diterima pemerintah. ''Apalagi, dana bagi hasil migas untuk Papua dan Papua Barat sangat besar. Jauh lebih besar dibandingkan dengan provinsi lain yang hanya memperoleh 15 persen dari dana bagi hasil migas yang diterima pemerintah," katanya.
Kalla yakin, tambahan dana bagi hasil migas tersebut akan mempercepat pembangunan di Papua dan Papua Barat yang infrastrukturnya sangat tertinggal dibandingkan dengan provinsi lain. Namun, sebelum dana bagi hasil tersebut terealisasi, Wapres meminta pemerintah provinsi dan DPR Papua mengoptimalkan pemanfaatan dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana otonomi khusus yang tahun ini mencapai Rp 29 triliun.
Bila dihitung dari sisi keuangan, alokasi anggaran pemerintah dibagi jumlah penduduk di Papua dan Papua Barat jauh melebihi provinsi lain. Dengan jumlah penduduk hanya 2,9 juta jiwa, setiap kepala di kedua provinsi mendapatkan alokasi dana Rp 10 juta per orang per tahun. ''Kalau dibagikan, per keluarga bisa mendapat Rp 40 juta per tahun. Bandingkan dengan Sulawesi Selatan yang hanya Rp 2 juta per kepala, atau Jawa Barat yang hanya Rp 1,5 juta per kepala,'' kata dia.
Karena itu, Wapres meminta pemerintah dan DPRD tidak hanya menuntut hak dan melupakan kewajiban otonomi khusus. Kedua lembaga diminta saling mendukung, sekaligus saling mengkritik kebijakan yang salah secara konstruktif. ''Kalau bupati terlalu lama di Jakarta, DPRD harus mengkritik. Sebaliknya, kalau DPRD terlalu rajin studi banding, bupati juga harus teriak. Semua pihak harus bekerja sebaik mungkin untuk rakyat,'' tegasnya.
Kalla juga membantah bahwa pemerintah pusat tidak adil. Sebab, dana yang ditransfer ke kedua provinsi jauh lebih besar dibandingkan dengan dana yang diterima dari royalti PT Freeport, yakni Rp 17 triliun per tahun. ''Mengapa manfaatnya belum terlihat? Itu terjadi karena wilayah Papua sangat luas dan penduduknya terpencar sehingga susah membangun infrastruktur. Lagi pula, biaya pembangunan infrastruktur di Papua dua hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan Jawa,'' terangnya.
Meski demikian, Kalla mengakui bahwa pemerintah terlambat membangun infrastruktur di Papua dan Papua Barat. Ketika itu, pemerintah berpikir tidak efisien membangun infrastruktur bila hanya melayani penduduk yang sedikit dan tersebar. Namun, pemerintah kini membalik paradigma tersebut. ''Kalau infrastruktur tidak dibangun, mereka mau lewat mana,'' jelasnya. (akh/jpnn)

Sekjen DPP - Ketua DAP Diperiksa Polda Papua

Ditulis Oleh: Islami/Papos
Senin, 22 Desember 2008

http://papuapos.comJAYAPURA (PAPOS)- Setelah Bucktar Tabuni dan Sebi Sembom, giliran Sekjen Dewan Presedium Papua (DPP) Taha AL-Hamid dan Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yaboisembut, diperiksa Polda Papua.

Pemeriksaan terhadap Taha dan Forkorus baru sebatas saksi terkait aksi demo pendukung International Parlement for West Papua (IPWP), pada 16 Oktober lalu di depan Uncen dan Eks Expo Waena.

Didampingi 31 pengacara yang tergabung dalam Persatuan Advokasi seluruh Indonesia (Peradi) di Papua, Taha Al-Hamid dan Forkorus Yaboisembut mendatangi Mapolda Papua untuk menjalani pemeriksaan.

Salah satu kuasa hukum Iwan Niode SH mengatakan, surat panggilan kepada Ketua DAP Forkorus Yaboisembut dilayangkan Minggu (21/12) sore, dan kepada Sekjen Dewan Presedium Papua Taha Al-Hamid Sabtu (20/12) kemarin.

“Hari ini (kemarin-red), Pak Taha dan Pak dipanggil Polda Papua untuk diperiksa sebagai saksi, sehubungan dengan aksi 16 Oktober 2008 lalu, hari ini kami seluruh advokasi bersama keduanya datang ke Polda untuk memenuhi panggilan itu,” ujarnya kepada wartawan disela-sela pemeriksaan di Mapolda Papua.

Menurut Iwan, kehadiran 31 orang advokat bukan hanya untuk mendukung keduanya, tetapi memberi dukungan juga kepada kedua tersangka lain yang telah terlebih dahulu ditangkap yaitu Bucktar Tabuni dan Sebi Sembom.

Kedepannya diperkirakan akan ada sekitar 70 orang advokat yang akan bergambung mendukung serta mendampingi kedua tersangka Bucktar dan Sebi, bukan hanya ditingkat Polisi melainkan hingga ke Pengadilan Negeri Jayapura, bahkan hingga tingkat kasasi.

“Seluruh advokat yang berpartisipasi dalam kasus ini, akan mendampingi Forkorus dan Taha serta kedua tersangka hingga ketingkat kasasi,” terang Iwan.

POLDA PAPUA AKAN DIGUGAT

Disisi lain kuasa hukum lainya, Paskalis Letsoin SH menyebutkan, berdasarkan kesepakatan bersama, pihaknya akan mempraperadilankan Polda Papua, karena dinilai terlalu arogatif terhadap berbagai pemeriksaan yang dilakukan selama ini.

“Jika ada hal-hal yang merugikan klien kami, maka Polda Papua akan siap dipraperadilankan atau digugat sambil melihat proses pemeriksaan yang berlangsung,” papar Paskalis.

Hari Maturbongs SH menambahkan, selaku pengacara kedua tersangka Bucktar Tabuni dan Sebi Sembom, pihaknya meminta kepada Polda Papua, agar pemeriksaan dipending untuk sementara, menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru.

“Kami harap tidak akan ada lagi penangkapan terhadap orang-orang yang dinilai melakukan tindakan makar. Sedangkan menjelang Natal dan tahun baru ini, diharapkan pemeriksaan kedua tersangka dipending, karena mereka ingin merayakan Natal,” tegasnya Maturbongs.

HADIAH NATAL

Dalam kesempatan itu juga, Ketua DAP Forkorus Yaboisembut mengungkapkan bahwa pemeriksaan dan ditangkapnya Bucktar dan Sebi oleh Polda Papua, merupakan hadiah Natal yang diberikan Polda.

“Kami tidak akan lari karena ini tanah kami, makanya kami minta agar pemeriksaan dipending hingga tahun baru nanti,” ujarnya.(islami)

Senin, 15 Desember 2008

2009, Papua Bebas Biaya Pendidikan

Khusus Untuk Pendidikan Dasar SD dan SMP

JAYAPURA - Memasuki tahun 2009 mendatang, sepertinya bakal menjadi tahun yang istimewa bagi masyarakat di Papua. Bagaimana tidak, mulai awal tahun 2009 mendatang Pemprov Papua mengeluarkan kebijakan untuk membebaskan masyarakat di Papua dari biaya pendidikan. Wakil Gubernur Alex Hesegem, SE kepada Cenderawsih Pos Senin kemarin mengungkapkan hal itu. "Iya mulai Januari tahun anggaran 2009 nanti, kita akan membebaskan orang - orang asli Papua yang miskin dari semua beban dan ongkos - ongkos pelayanan pendidikan," akunya.
Dikatakan, biaya pendidikan yang dibebaskan itu sementara ini masih difokuskan pada jenjang pendidikan dasar yakni SD dan SMP. Artinya siswa SD dan SMP ini tidka dipungut biaya sepeserpun selama duduk di jenjang pendidikan itu. Bahkan seragam hingga buku - bukunya semua dibiayai oleh pemerintah.
Hanya saja, kata Wagub pembebasan biaya pendidikan itu diutamakan pada orang asli Papua dan non Papua yang miskin di seluruh Provinsi Papua.
" Jadi bukan hanya pada orang asli Papua program ini diberlakukan tetapi juga pada anak anak non Papua dari
Keluarga miskin atau kurang mampu juga dibebaskan dari biaya pendidikan dasar ini," ujarnya.
Wagub menegaskan bahwa program ini sudah pasti akan dilekasanakan sebab sudah disampaikan di depan sidang paripurna dewan dan Pemprov juga sekarang ini sedang menghitung besaran anggaran yang disediakan untuk program ini. "Ini benar - benar akan direalisasi dalam awal tahun 2009 nanti, karena sudah diumumkan dalam sidang resmi," katanya.
Hanya saja, berapa alokasi atau bagaimana mekanisme pembagiannya dan berapa besar atau jumlah alokasi anggarannya masih akan diatur lagi dalam suatu petunjuk pelaksaanaan yang sedang disusun dan dibahas. "Tetapi yang pasti, bulan Januari ini program ini sudah harus diberlakukan karena peraturannya sudah disiapkan dalam masa sidang ini," terangnya.
Sementara ini menurut Wagub Hesegem, anggarannya akan disiapkan oleh Pemprov Papua melalui Dinas Pendidikan dan Pengajaran (P dan P). Selain itu, bagi semua kabupaten dan kota juga diwajibkan harus menyediakan anggaran secukupnya untuk mendukung dan menanggulangi Program ini melalui APBD-nya masing-masing.
"Ini adalah program besar yang membutuhkan keseriusan dan kesungguhan dalam pengelolaannya, yang ingin kita perbaiki dan tingkatkan secara signifikan adalah pelayanan pendidikan dasar bagi masyarakat miskin kita yang jumlahnya cukup besar itu," katanya.. Masyarakat miskin itu hampir sleuruhnya adalah orang asli Papua yang bermukim di kampung - kampung terpencil, rawa - rawa, gunung - gunung , lembah, pesisir dan pulau - pulau terpencil.
Di satu sisi kata Wagub Hesegem, pembebasan biaya pendidikan dasar ini harus dibarengi dengan memastikan bahwa guru - guru yang ada juga harus memadai dan benar - benar bertugas di tempatnya. "Disinilah pentingnya peranan pemerintah kabupaten dan kota untuk memastikan bahwa pelayanan ini benar - benar terwujud," tandasnya.
Ditanya bagaimana dengan biaya pendidikan SMA, Wagub Hesegem mengatakan, sementara ini berjenjang, jika nanti program untuk pendidikan dasar ini berjalan baik dan PAD Provinsi Papua terus meningkat, maka kedepannya akan Pemprov Papua akan mengupayakan pembebesan biaya pendidikan untuk SMU bahkan Perguruan Tinggi.(ta)