Selasa, 21 April 2009

DEMONSTRASI PAPUA MERDEKA

Sebagai Pendidikan penyadaran bagi penguasa

Sering saat kita membuka koran atau majalah, kita melihat dan membaca berita-berita tentang demonstrasi. Biasanya demostrasi dilakukan sebagai tanda tuntutan atau protes atas keadaan ekonomi, social dan politik yang tidak adil akibat kebijakan. Aksi demonstrasi dapat berakhir dengan damai tapi juga dengan bentrok fisik. Situasi seperti itu seringkali terjadi terutama pada Negara-negara berkembang.
Khusus di Indonesia aksi demonstrasi secara besar-besaran dimulai sejak tahun 1998. Tema utama aksi pada saat itu adalah “penggulingan kekuasaan orde baru yang militeristik”. Masyarakat dan mahasiswa mau supaya ada perubahan di negeri ini. Dampak positifnya adalah kebusukan penguasa orde baru yang melahirkan kemiskinan dan ketidakadilan terkuak. Akhirnya semua orang boleh menyampaikan aspirasinya dengan bebas dalam bentuk apapun sejauh tidak menimbulkan konflik ataupun menentang kekuasaan negara. Dan itu dijamin dalam konstitusi Negara bahkan undang-undang di Negara ini.
Momentum ini pun telah dimanfaatkan oleh orang Papua untuk menyampaikan pikiran mereka yang selama ini dikekang karena tekanan militer tadi. Aspirasi merdeka pun mencuat di ranah Papua. Semua orang Papua mulai dari yang besar sampai yang kecil mulai mempertanyakan hak-hak mereka yang dirampas dan direkayasa selama puluhan tahun. Mereka bertanya, mengapa kami yang disebut-sebut juga sebagai warga negara Indonesia di berlakukan tidak-adil ? kenapa kami tidak pernah dihargai sebagai seorang manusia yang mempunyai hak dan kewenangan di atas tanah kami sendiri ? mengapa kami rakyat tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan kebijakan ?
Ketika pertanyaan-pertanyaan diatas disuarakan oleh rakyat dan mahasiswa, mereka mendapat tekanan dari TNI/Polri. Mereka dihanggap penghambat pembangunan bahkan dicap sebagai gerakan separatis. Sebagian dari mereka ditangkap, diproses hukum dan dipenjarakan dengan tuduhan melakukan makar1. Tanggapan secara emosional dari pemerintah terutama TNI/PoLRI ini telah menimbulkan penentangan dari masa rakyat dan mahasiswa. Kemudian yang terjadi adalah penyisiran kerumah-rumah penduduk oleh aparat yang ujungnya menimbulkan keresahan dan ketidakdamaian. Masyarakat jadi tidak bebas untuk berkarya dan menyampaikan aspirasinya. Keadaan seperti itulah yang disebut sebagai Spiral Kekerasan2.
Tekanan-tekanan yang ada tidak menyulut semangat mahasiswa untuk terus menyampaikan keinginan mereka. Justru semangat berkobar dikala tekanan-tekanan itu mereka alami. Dalam situasi seperti itu pemerintah harus bijaksana dan berpikir positif dalam menanggapinya. Sebab bukan jamannya lagi untuk mempraktekkan kekerasan dan menyembunyikan diri dari tanggungjawab. Pemerintah harus terbuka menerima rakyat untuk berdialog, bicara dari hati ke hati bukan sebagai musuh tapi sebagai anak dan bapa.

Demonstrasi Sebagai Pendidikan Bagi Penguasa
Kata orang pedidikan tidak mengenal usia. Itu berarti pendidikan itu juga tidak mengenal status sosial-politik seseorang. Entah itu kaya atau miskin, tua atau muda, kecil atau besar semua, tergantung siapa yang mau. Pendidikan bisa didapatkan secara formal tapi juga secara informal. Secara khusus demonstrasi dapat dikategorikan sebagai pendidikan informal. Walaupun demikian seringkali terjadi perbedaan pandangan antara masa masyarakat dan penguasa. Bagi masyarakat demostrasi dilakukan dengan tujuan untuk meningatkan penguasa, sebaliknya penguasa memandang aksi itu sebagai penentangan terhadap kekuasaan. Akhirnya bentrok fisik pun pasti akan terjadi akibat gesekan perbedaan pandangan tadi.
Ketika pikiran penguasa diatas terus ada dan bersarang di otak maka pemerintah menjadi jembatan atau sponsor konflik antara aparat keamanan dan masa unjuk rasa. Atau penguasa menjadi sumber ketidak damaian itu sendiri.
Jika mau dipikir sesungguhnya demonstrasi harus dianggap sebagai sebuah pendidikan penyadaran. Penyadaran terhadap kebijakan yang tidak adil juga sebagai momentum intropeksi diri. Bukan penentangan atau pengoyangan terhadap kekuasaan Negara. Ketika rakyat bicara, suara itu datang dari hati mereka. Bukan dari hati yang mengandung kebencian tapi hati yang penuh kasih. Hati yang mau bilang supaya penguasa lebih bijak dalam mengambil dan melaksanakan kebijakan. Hati yang mengajak kita untuk hidup damai dan sejahtera dalam kesejajaran.
Jadi ketika rakyat Papua minta merdeka hendaknya pemerintah mengintropeksi diri. Bercermin dan bercermin lalu bertanya mengapa masyarakat Papua minta merdeka? Bukan melakukan tindakan kekerasan. Sebenarnya aspirasi merdeka lahir hanya karena masyarakat Papua merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah sejak tahun 1962.
Lalu apa solusinya? Bagi saya yang pertama, pemerintah harus duduk dan mengoreksi dirinya. Kedua, pemerintah harus menghilangan pandangan negative terhadap orang Papua. Ketiga, pemerintah harus membuka diri berdialog dengan orang Papua, terutama rakyat akar rumput yang selalu menjadi korban kebijakan. Semoga!

By: N@ldo

Tidak ada komentar: