Selasa, 21 April 2009

DIALOG JAKARTA-PAPUA

DIALOG JAKARTA-PAPUA
Sebuah Perspektif Papua
Itulah judul dari buku yang ditulis oleh Dr.Neles Tebay. Buku ini diluncurkan pada tanggal 11 Maret 2009 yang dihadiri oleh semua elemen masyarakat yang ada di Jayapura. Banyak pihak selama ini meminta supaya ada dialog yang terjadi antara orang Papua dengan pemerintah pusat. Dialog dimaksudkan untuk mengakhiri konflik dan kekerasan yang sudah lama terjadi di tanah Papua. Dialog itu pun tidak pernah terjadi lantaran 1) Belum ada konsep dialog yang jelas, 2) Ada dua ideology yang bertentangan, yaitu Bagi orang Papua “Merdeka harga mati” sementara bagi pemerintah “NKRI harga mati”. Dari buku ini pak Neles Tebay mau mengajak Papua dan Jakarta untuk keluar dari kotak-kotak ideology tadi dan membagun dialog tentang kemanusiaan. Kedua pihak harus tampil dengan wajah baru dan mengambil posisi sebagai pemecah masalah bukan sebagai pemicu masalah. Tema kemerdekaan harus diabsenkan dari dialog karena baginya itu akan menjadi duri dalam dialog damai itu. Yang perlu dilakukan dalam dialog ini adalah mengidentifikasi masalah dan mencari solusi yang dapat diterima dan disetujui oleh kedua belah pihak. Menurut Neles Tebay isi dari buku ini hanya merupakan pandangan pribadinya juga umpan bagi semua komponen masyarakat Papua guna membangun isu dialog ini mulai dari keluarga sampai ke komunitas dimana kita hidup dan berkarya. Bukan hanya dikalangan orang asli Papua tapi juga semua orang yang hidup ditanah Papua. Ia berkeyakinan bahwa masalah tragedi kemanusiaan di Papua akan dapat diakhiri hanya dengan membangun dialog. Dialog yang dibangun dengan prinsip kasih, kebebasan, keadilan dan kebenaran.
Buku ini mencakup 15 pokok bahasan. 1) menggambarkan pentingnya dialog Jakarta-Papua guna menyelesaikan konflik Papua secara damai, 2) memperlihatkan adanya kemauan untuk berdialog dari kedua belah pihak yang bertikai, 3) mengangkat pentingnya pernyataan public orang papua bahwa isu kemrdekaan Papua tidak akan dibahas dalam dialog, 4) menekankan pentingnya pemerintah Indonesia memperlihatkan keseriusannya untuk berdialog dengan orang Papua, 5) mengangkat pentingnya kerangka acuan dialog, 6) memaparkan prinsip-prinsip dasar, 7) menguraikan tujuan dialog, 8) menekankan pentingnya partisipasi masyarakat Papua, 9) menawarkan target-target yang dapat dicapai melalui dialog Jakarta-Papua, 10) menggambarkan tahapan dialog, 11) mengidentifikasi peserta dialog, 12) mengidentifikasi fasilitator dan peranannya, 13) menyinggung pentingnya keterlibatan lembaga-lembaga ilmiah, 14) menerangkan peranan pihak ketiga, dan 15) menekankan pentingnya monitoring tindak-lanjut.

Berikut ini adalah tangapan atas buku yang disampaikan oleh tiga orang pembeda:
Dr. Sostenes Sumihe
1.Kehadiran buku “ dialog Jakarta-Papua”, karya Dr.Neles Tebay, patut disambut dengan gembira, karena memecahkan kebekuan diskusi sekitar tema yang sempat menghangat beberapa waktu lalu mengenai dialog pemerintah Indonesia dengan orang Papua mengenai konflik Papua. Kebekuan itu disebabkan oleh belum terdapat kesepakatan mengenai substansi dialog itu. Dr. Tebay mencatat: “belum ada satu konsep tertulis tentang dialog Jakarta-Papua yang dikehendaki oleh pemerintah dan orang Papua”.
2.Sesungguhnya dari pihak orang Papua substansi dialog itu sudah jelas; yaitu kekerasan atas kemanusiaan orang Papua, yang membuat orang papua mempertanyakan eksistensi dirinya dalam republic ini dan karena masalah yang pertama ini, orang Papua akan mendialogkan kemerdekaan, yang oleh Dr.Tebay justru tidak dimasukkan menjadi agenda dalam dialog tersebut.
3.Belum terlalu jelas, mengapa Dr.Tebay tidak masukan kemerdekaan itu ke dalam dialog. Apakah karena “adanaya sikap kecurigaan pada pihak pemerintah Indonesia “ ?
4.Saya melihat ada alasan principal pada Dr.Tebay tidak menjadikan kemerdekaan itu pokok dialog. Hal yang principal itu adalah masalah kemanusiaan orang Papua. Dalam butir 1.1 Dr. Tebay secara rinci mengemukakan peristiwa-peristiwa tragedy kemanusiaan orang Papua, yang mengakibatkan penderitaan, kematian serta menimbulkan luka batin yang dalam serta hilangnya rasa percaya kepada pemerintah. Bagi Dr.Tebay tragedy kemanusiaan itu adalah hal yang amat mendasar dan sekaligus menyakitkan, dan karena itu harus dihentikan. Dalam hubungan itulah ia sangat kuat menekankan, apa yang juga dikehendaki banyak pihak tentang penyelesaian konflik Papua secara damai dan bermartabat. Untuk kepentingan demikian, dialog adalah jalan pemecahan yang terbaik. Tetapi dialog ini harus berlangsung dalam prinsip 4 K, yaitu kasih, kebebasan, keadilan, dan kebenaran.
5.Dalam kerangka prinsip itu, menurut saya, Dr.Tebay merasa tema kemerdekaan harus diabsenkan dari dialog, karena akan menjadi duri dalam dialog damai, yang akan dapat menimbulkan kekerasan dan tragedy kemanusiaan baru, yang akan menambah panjang daftar orang Papua yang mati serta semakin dalam penderitaan dan luka batin orang Papua. Tragedy kemanusiaan itu dapat terjadi karena pihak pemerintah memiliki kerangka pikir “kesatuan territorial” yang dapat diduga akan diikuti dengan tindakan militerisme.
6.Patut digarisbawahi bahwa Dr.Tebay melihat dialog itu sebagai sebuah proses. Dialog itu terjadi bukan saja pada saat kedua belah pihak (pemerintah dan orang Papua)duduk bersama dan berdialog, melainkan diawali dengan pertemuan-pertemuan dan percakapan-percakapan yang intensif dari berbagai kelompok masyarakat; bahkan ini harus berlangsung sesudah dialog itu, untuk menindaklanjutinya dengan dialog dalam aksi.
7.Dalam proses tersebut, hal yang sangat strategis adalah rekomendasi Dr.Tebay mengenai “ komunikasi politik guna membangun kepercayaan (trust building) orang Papua terhadap pemerintah”. Menurut Dr.Tebay komunikasi politik ini dilakukan utusan pemerintah untuk melakukan percakapan politik dengan orang Papua dalam berbagai level. Komunikasi politik ini penting untuk menentukan masalah yang sesungguhnya yang diantara orang Papua.
8.Namun saya juga hnedak menyarankan komunikasi dan percakapan politik itu dilakukan diantara orang Papua oleh orang Papua sendiri yang dapat menjembatani perbedaan-perbedaan dan menyatukan cara pandang orang Papua atas masalahnya sendiri.
9.Komunikasi dan percakapan politik, baik yang dilakukan utusan pemerintah mamupun oleh orang Papua sendiri tersebut, akan sangat membantu proses dialog sebagai upaya mencari dan merumuskan masalah secara jernih serta solusi yang tepat dan benar yang harus diambil atas masalah itu, guna menghindari terulangnya tragedy kemanusiaan Papua di waktu yang akan datang.
10.Proses itu penting dan anagt menentukan hasil yang akan dicapai dalam dialog. Menurut Dr.Tebay hasil yang hendak dicapai dalam prose situ adalah ”Papua Tanah Damai”. Tatapi bagi saya ini menimbulkan pertanyaan: apakah hasil akhir itu yang menentukan proses, ataukah proses yang menentukan hasil akhir? Saya khawatir, kalau hasil akhir sudah ditentukan, maka proses akan direkayasa melayani pencapaian hasil yang sudah ditentukan. Maka prinsip kasih, kebebasan, keadilan dana kebenaran dalam dialog tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.
11.Dalam masalah dialog Jakarta-Papua, saya cenderung menekankan pada prosesnya. Dalam proses itu masalah masalah mendasar diurai dan substansi masalah dirumuskan. Yang paling substansial dalam proses situ adalah menemukan masalah bersama serta langkah pemecahannya. Tentu seperti ditekankan Dr.Tebay, kita merajuk prose situ dalam “ prespektif perdamaian”.
12.Pada akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa kehadiran buku Dr.Tebay menyajikan sebuah prespektif baru dalam melihat masalah konflik Papua, yaitu menempatkan masalah itu dalam prespektif kemanusiaan. Dan ketika harkat kemanusiaan manusia menjadi poros pergulatan atas masalah itu, maka catatan reflektif saya adalah, bahwa Tuhan sedang berkarya untuk membawa masalah kemanusiaan orang Papua ke titik akhir, agar orang Papua mengalami, apa yang dikatakan Dr.Tebay, “cinta kasih, kebebasan, keadilan dan kebenaran”.

Pdt. Herman Saud, S.Th
1.Pertama-tama saya menyampaikan terimakasih kepada Pastor Dr.Neles Tebay, STFT dan SKP Keuskupan Jayapura yang memberikan kepada saya kesempatan dan kepercayaan untuk ikut membahas buku: Dialog Jakarta-Papua.
2.Saya sudah membaca isi buku tentang dialog Jakarta-Papua dan sangat terkesan tentang berbagai pandangan Pastor mengenai dialog. Ada 15 pokok yang dibahas di dalam buku ini tentang dialog. Dari 15 pokok yang dibahas, saya hanya memilih tiga pokok saja, yaitu, 1) perlunya dialog, 2) alasan-alasan dialog yakni karena sumber konflik yang ada di Papua dan adanya kesediaan atau kemauan untuk berdialog, baik dari Jakarta maupun dari orang-orang Papua, 3) tujuan untuk mengadakan dialog, supaya menciptakan Papua Tanah Damai untuk menjadi tekanan pembahasan saya.
3.Setelah membaca buku ini timbul kesan, 1) bahwa pastor Neles melihat dialog masih sanagt dibutuhkan sebagai salah satu solusi terbaik untuk menuntaskan sumber konflik di Papua dengan pemerintah pusat, disamping solusi pertama yaitu OTSUS yang sudah gagal diimplementasikan. Karena itu saya memang memuji Pastor atas kesetiaan dan ketaatan memperjuangkan sesuatu yang diyakini benar, walaupun tidak begitu mudah untuk direalisasikan. Dan memang, itulah pekerjaan Pastor. 2) bahwa pastor Neles adalah salah satu diantara manusia Papua yang berseru-seru di padang guru, tetapi tidak ada orang yang mau mendengar dan menanggapinya, baik pemerintah pusat maupun orang Papua sendiri.
4.Mengamati sikap pemerintah pusat sejak kejatuhan Soekarno atau barangkali sejak integrasi Mei 1963 terhadap orang-orang Papua, maka dialog dengan pemerintah pusat tidak perlu, karena kita akan membuang waktu dan tenaga untuk itu, yang hasilnya nihil. Yang sangat perlu adalah dialog diantara masayarakat di tanah Papua sendiri karena:
a.Dari pihak pemerintah, tidak akan bersedia melakukan dialog dengan orang-orang Papua, sebab Pemerintah merasa orang Papua tidak terlalu penting. Ada alas an bagi pemerintah untuk menganggap orang papua tidak penting, a) ada kebanggaan tersendiri dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, bahwa Indonesia merdeka dari hasil perjuangan yang gigih mengusir penjajah Belanda selam 350 tahun, mengusir penjajah Jepang dengan bamboo runcing, kemampuan mengalahkan pemberontak-pemberontak dalam negeri ( Kartosuwiryo, PRRI/PERMESTA dan penumpasan G 30 S/PKI. Pengalaman sejarah yang panjang ini menjadi alasan bagi pemerintah pusat yang masih dipengaruhi oleh militer untuk tidak akan bersedia menerima suatu dialog dengan orang Papua. b) disamping pengalaman sejarah, ada juga kebanggaan mayoritas ras dan agama ikut mempengaruhi pandangan dan sikap pemerintah Pusat untuk tidak berdialog dengan orang Papua. c) bahwa kesempatan dialog telah diberikan kepada orang Papua melalui tim 100, tetapi tidak dimanfaatkan dengan baik untuk berdialog, tetapi menyatakan kemerdekaan Papua. hala ini merupakan batu sandungan besar bagi pemrintah pusat untuk mendengar dan menerima dialog dalam bentuk apapun. d) diplomasi pemerintah Indonesia diluar negeri yang masih cukup kuat yang membuat pemerintah memandang enteng masalah Papua sebagai masalah dalam negeri yang mudah diatasi dengan berbagai cara.
b.Dari pihak orang Papua, timbul pertanyaan siapa yang mewakili orang Papua. atau orang papua siapa yang mau berdialog dengan pemerintah pusat. Sebagian besar orang Papua, tidak jelas posisi dan identitas ke-Papua-annya. Mereka hanya mengeja uang dan kedudukan, sehingga muda diperdaya. Tidak ada sikap menghargai diri dan identitas sendiri. Kelompok apapun yang dibentuk di Papua ini, ujung-ujungnya juga uang, alaupun berteriak “merdeka”. Dengan sikap seperti ini, kebanyakan orang Papua tidak merasa penting dialog itu. Apalagi sekarang dengan pemekaran propinsi dan kabupaten/kota, maka rasa harga diri dan jati diri Papua sudah tidak ada. Yang ada hanya pribumi menurut suku-suku. Papua diluar negeri tentu tidak diterima pemerintah pusat.
5.Berdasarakan alas an-alasan diatas, maka menurut pendapat saya bahwa harapan untuk menciptakan dialog dengan pemerintah pusat dengan orang papua adalah sesuatu yang sangat sulit dilaksanakan. Apalagi didalam buku ini diusulkan supaya pemerintah pusat mengambil inisiatif mengadakan dialog dengan orang Papua merupakan sesuatu yang mustahil terjadi. Kecuali ada suatu kekuatan dari luar yang mendesak pemerintah pusat untuk harus berdialog dengan orang Papua. Jika tidak ada dialog maka Papua akan pisah dari NKRI, barulah pemerintah bisa tergerak untuk berdialog dengan orang Papua.
6.Bahwa dialog tetap dilaksanakan tetapi itu dilaksanakan di tanah Papua. Untuk membangun kembali kesadaran terhadap harga diri dan jatih diri sendiri sebagai orang Indonesia asli Papua, sama seperti orang Indonesia asli asal jawa, sunda,batak,NTT,NTB, Dayak, minahasa,dll. Identitas seperti inilah yang harus dibangun supaya kita bisa eksis dinegeri ini. Didalam dialog diantara sesama orang Papua itu, kita perlu menilai apakah konflik-konflik yang terjadi di Papua ini memang murni ditimbulkan oleh orang Papua karena ingin merdeka atau ada unsur-unsur rekayasa dari pihak lain. Di dalam dunai yang menglobal ini, saya mengharap sesuatu dari pemerintah pusat yang kebanyakan peneyelenggaranya sendiri tidak menegrti statusnya sebagai pemimpin pemerintah Negara, maka adalah suatu pemborosan waktu, tenaga dan dana. Sebab bagi saya kita belum memiliki pemerintah yang sungguh-sungguh konsisten memimpin dan mengayomi seluruh warga Negara dan seluruh tumpah darah Indonesia menurut UUD’45. Pemerintah kita sekarang ini pemerintah golongan dan pemerintah proyek. Jadi sangatlah sulit mengharapkan sesuatu dari pemerintah yang demikian. Alangkah baiknya rakyat Papua bekerja sendiri untuk menciptakan kebaikan bagi diri dan lingkungannya sendiri tanpa mengaharapkan banyak dari pemerintah dan tanpa melakukan hal-hal yang melanggar hukum.
7.Kemudian setelah berdialog dengan semua orang Papua, maka perlu juga dibangun dialog atau diskusi dengan saudara-saudara kita dari luar Papua yang sudah lama hadir dan hidup ditanah Papua. bagaimana membangun pemahaman bersama untuk merasa memiliki tanah Papua ini dan merasa solider dengan penduduk Papua. membangun kesadaran bahwa mereka adalah bagian dari orang-orang Papua, meskipun mereka berkulit sawo matang dan berambut lurus. Membangun kesadaran untuk memiliki dan solider diantara sesama warga masyarakat di Papua ini bagi saya sangat penting. Dan tema dialog diantara warga masyarakat adalah MENCIPTAKAN PAPUA TANAH DAMAI UNTUK DI DIAMI OLEH SETIAP WARGA NEGARA INDONESIA DAN SETIAP INSAN MANUSIA. Jikalau kita sudah mampu membangun Papua ini menjadi Tanah Damai melalui dialog antar warga masyarakat, maka suasana damai dan aman akan tercipta bagi semua orang yang diam diatas tanah ini, tanpa rasa takut dan tanpa curi terhadap satu sama lain, maka Papua sudah merdeka dari pada daerah-daerah Indonesia lain.
Budi Setyanto
Dialog Jakarta-Papua Bisakah?
Pengantar
Buku Sdr.Neles merupakan buku yang layak untuk dibaca oleh banyak orang karena: 1) buku ini membuka wacana berpikir dan sekaligus mengajak bagi setiap orang Papua dan pemerintah Indonesia untuk mencari alternative penyelesaian konflik structural yang bersifat laten dan telah berlangsung lama antara orang Papua dengan pemerintah republic Indonesia. 2) buku ini berisi masalah-masalah subbstansial yang terjadi di Papua, padat, akurasi datanya bisa dipertanggungjawabkan dan cukup muda dimengerti. 3) untuk itu secara pribadi dan institusi ICS Papua saya memberikan apresiasi dan salut kepada Sdr.Neles Tebay yang telah menyusun buku ini.
Pandangan Terkait Dengan Pentingnya Dialog Konflik Di Papua
Dialog konflik Papua memang mengharuskan prasyarat bahwa kedua belah pihak harus memahami dan sadar akan pentingnya dilaksanakan dialog, untuk ituperlu dipertanyakan hal-hal sebagai berikut: 1) apa yang menjadi keuntungan dan kerugian bagi orang Papua jika dilakukan dialog dirasa penting. 2) apakah keuntungan-keuntungan tersebut nantinya dapat dirasakan oleh kebanyakan orang Papua atau segelintir orang Papua saja. 3)adakah jaminan bahwa orang Papua akan menikmati keuntungan tersebut berlangsung lama atau permanen dari generasi ke generasi (jaminan konstitusi). 3)apakah pentingnya dialog di Papua dapat di pahami dan dimengerti secara sadar oleh seluruh orang Papua dan bukan oleh actor-aktor yang representasinya dipertanyakan. 4) apakah otsus yang baru berjalan 7 tahun sudah bisa dijadikan sebagai aspek penting untuk menentukan pentingnya dilaksanakan dialog konflik di Papua.


Pandagan Terkait Dengan Adanya Kemauan Berdialog
Dialog dalam suatu konflik membutuhkan kemauan yang kuat dari kedua belah pihak dan bisa dikatakan sebagai prasyarat mutlak untuk suksesnya dialog. Dalam konteks ini muncul beberapa pertanyaan yang harus dijawab: a) sudah kemauan berdialog bagi orang Papua telah mengkristal, dalam pengertian apakah semua elemen orang Papua menginginkan atau memiliki kemauan untuk melaksanakan dialog. Sudahkah keinginan tersebut dirumuskan secara tertulis dan perna ditawarkan kepada pihak yang hendak diajak dialog. b) demikian juga dari pemerintah sudahkah pemerintah menawarkan dialog nasional dengan orang Papua.
Pertanyaan selanjutnya bisakah indicator-indikator yang ditulis dalam buku ini dapat diakui secara konsisten oleh masing-masing pihak dan penerusnya terkait dengan kemauan berdialog seperti; Dari pihak pemerintah; 1) komitmen Presiden SBY terkait dengan pendekatan damai, kasih sayang, demokratis. 2) komitmen Menlu R.I terkait dengan niat pemerintah Indonesia mengutamakan solusi tanpa kekerasan dalam mengatasi konflik di Papua. 3) komitmen DPR R.I terkait dengan statement Theo L. Sambuaga untuk penyelesaian Papua melalui dialog nasional dan local. 4) komitmen DPD dengan statement La Ode Ida Dialog Nasional tentang Papua perlu dilaksanakan. 5) pertanyaannya bagaimana dengan komitmen Militer ? Dari masyarakat Papua; 1) statement orang Papua akan kesadaran untuk meninggalkan kekerasan dalam upaya penyelesaian konflik. 2) statement Organisasi Papua Merdeka terkait OPM berdialog dengan Indonesia. 3) lembaga-lembaga keagamaan, terkait dengan perjuangan melalui perudingan dam diplomasi dengan cara demokratis. 4) organisasi masyarakat sipil yang meminta agar dialog untuk mengakhiri konflik di Papua.
Pandangan Terkait Dialog Tidak Membahas Kemerdekaan Papua
Konflik Papua merupakan konflik politik yang bersifat structural antara pemerintah Indonesia dengan orang Papua sejumlah pertanyaan mendasar jika dialog tidak membahas isu merdeka ialah: 1) bisakah seluruh elemen orang Papua menerima dialog tanpa mempersoalkan masalah politik dasarnya (Tuntutan Kemerdekaan). 2) jika jawabnya bisa, maka pertanyaan selanjtnya bisakah penerimaan itu dijadikan dasar sebagai legitimasi representasi orang Papua secara keseluruhan. 3) bisakah penerimaan sebagaimana dimaksud diatas dapat tersosialisasi pada generasi berikut.
Pandangan Terkait Dengan Pemerintah Mesti Meyakinkan Orang Papua
1)Yakinkah pemerintah R.I akan memberikan peluang melakasanakan dialog secara serius.
2)Jika pemerintah tidak memberikan peluang berdialog, akankah orang Papua akan selalu menunggu d n beranikah orang Papua mengajak pemerintah melakukan dialog.
3)Apakah kesiapan orang Papua melakukan dialog damai mengaharuskan prasyarat untuk diyakinkan.
Hal-Hal Penting Agar Dialog Bisa Dilaksanakan
Beberapa factor penentu agar dialog ini bisa terlaksana adalah:
1)Saya sependapat dengan Sdr. Neles bahwa diantara orang Papua ada titik temu terkait dengan pandangan pentingnya dialog, adanya kaesatuan pandangan dialog untuk kemanusiaan (meninggalkan masalah politik) dan adanya rumusan/draft alternative capaian yang akan ditawarkan dalam dialog. (dilakukan pada tahap pra dialog).
2)Adanya tim penghubung yang dapat diterimma oleh kedua belah pihak, (dilakukan pada tahap mediasi)
3)Perumusan hasil dialog dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang terinci dan jelas.
4)Pengawasan pelaksanaan hasil dialog oleh tim gabungan keduabelah pihak.

Tidak ada komentar: