Selasa, 21 April 2009

ANTARA NAZAR DAN CALEG

(Tulisan Ini Diharapkan Menjadi Bahan Perenungan Bagi Para Pendeta dan Gembala Umat)

“Didalam dunia ada dua jalan, jalan yang sempit dan yang lebar. Jalan yang lebar jiwa mu mati tapi yang sempit hidup berglori”

Sepenggal kalimat diatas merupakan lagu yang selalu dinyayikan oleh umat tapi juga oleh para pendeta dan gembala. Apa itu dihayati dan dimaknai atau tidak adalah urusan pribadi manusia itu sendiri. Bagi saya lagu ini merupakan rambu yang selalu mengingatkan saya untuk tetap pada jalan yang sudah saya pilih untuk dilalui. Susah sengsara atau pun suka dan senang adalah hal yang harus dilalui sesuai komitmen, saat kita mengambil keputusan.
Dewasa ini ada hal ganjil yang sedang terjadi dalam tubuh gereja di dunia dan khusus di tanah Papua. Gereja dan umat dilihat sebagai tanah yang berbatu sementara panggung politik dianggap sebagai tanah yang subur untuk menambah pundi-pundi kehidupan. Akhirnya banyak pendeta dan gembala berputar haluan. Tidak mau lagi jalan di lorong yang sempit karena menyakitkan. Mereka lebih memilih jalan yang lebar dan menyenangkan untuk mencapai tujuan hidup mereka. Tapi sudah benarkah jalan yang dipilih? Entalah.
Ada sebuah pertanyaan yang selalu menjadi bahan perenungan bagi saya adalah kira-kira apa nazar mereka ketika mereka dilantik menjadi pendeta atau pun gembala sidang? Adakah nazar yang diucapkan adalah bahwa suatu saat saya akan menjadi caleg/anggota legislative ? ataukah saya akan setia melayani Tuhan dalam suka dan duka sampai akhir hayat? Jujur saja bahwa saya pribadi dan beberapa anggota jemaat menjadi bingung dan terus bertanya, inikah jalan Tuhan untuk mengapai kesejahteraan bagi hamba Tuhan di dunia modern? Sungguh pusing, tujuh keliling.
Dalam percakapan saya dengan beberapa anggota jemaat, mereka berpedapat bahwa tidak setuju dengan keputusan yang diambil oleh para pendeta dan gembala itu. Bagi mereka keputusan itu merupakan tindakan pengkhianatan terhadap Tuhan tapi juga umat. Namun demikian ada sebagian yang mendukung keputusan hamba-hamba Tuhan tadi. Mereka berkata bahwa jika gereja dan umat tidak bisa mencukupi kebutuhan para hamba Tuhan ini sesuai dengan kebutuhan manusia sekarang, ya! wajar saja. Merekakan juga ingin bahagia dan sejahtera. Pada bagian lain ada beberapa hamba Tuhan yang menyatakan alasan mereka untuk terjun ke dunia politik adalah 1) aspirasi umat tidak pernah diperjuangkan oleh anggota legislative yang ada, sehingga kita harus menyuarakan suara kenabian disana. Kita tidak bisa lakukan itu dari luar saja tapi kita pun harus masuk kedalam system untuk mempengaruhi system yang tidak adil itu. 2) lebih kepada masalah ekonomi keluarga. Banyak anak dan banyak kelurga namun belum bisa memenuhi kebutuhan mereka dengan baik, sementara biaya hidup semakin melangit.
Memang suatu kenyaatan yang tak dapat dipungkiri adalah biaya hidup di Negara ini semakin meningkat. Mereka yang mapan menerima keadaan itu dengan santainya, sebaliknya rakyat miskin hidup dalam kegelisahan dan kekuatiran. Sikap santai yang ditunjukan oleh manusia kelas atas adalah wajar karena mereka sendiri adalah pemainnya. Akibat dari itu para pendeta dan gembala jemaat yang berada pada taraf masyarakat kelas menengah kebawah memilih dunia politik sebagai jalan untuk menyamaratakan kedudukan dengan mereka yang berada dikelas atas. Tapi hanya itukah jalan untuk mencapai kesejahteraan dan kedudukan yang sederajat?
Kini para hamba Tuhan ini di perhadapkan pada dua pilihan. Berpegang pada nazar yang telah diucapkan kepada Tuhan atau memilih menjadi caleg/anggota legislative. Atau memilih jalan yang sempit dengan penderitaan atau yang lebar tapi ujungnya maut sesuai lagu diatas. Terserah!
Tuhan telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih. Tapi kebebasan itu disertai dengan tanggungjawab. Negara pun memberikan kebebasan dan hak kepada setiap warganya untuk berpartisipasi dalam segala aspek kehidupan termasuk dunia politik. Tapi bagi saya seorang pendeta/gembala hendaknya tidak terlibat secara langsung kesana. Mereka harus membuat jarak antara pelayanan dan politik. Hal ini supaya kita menjadi teladan yang baik bagi umat juga tidak membingungkan mereka. Seorang pendeta/gembala selayaknya menjadi pendorong semangat bagi umatnya. Mengajak anggota jemaatnya untuk berpartisipasi dalam dunia politik sambil mendidik mereka dalam hal moral. Seorang pendeta/gembala harus mengambil posisi independen dalam bersuara kenabian bukan menjerumuskan diri. Kiranya pendeta/gembala tidak melacurkan diri kesana guna menjaga kepercayaan umat dan wibawanya.
Barangkali ada pendeta/gembala yang sudah terlibat kesana tidak setuju dengan pendapat saya diatas, tapi saya punya hak untuk menyampaikan ini. Toh! NKRIkan Negara demokrasi, setiap orang punya kebebasan untuk menyampaikan pikirannya (bukan bembela diri). Oleh sebab itu saya senang kalau ada yang protes tapi juga setuju dengan saya. Karena bagi saya perbedaan pendapat adalah sebuah anugerah Tuhan yang patut di syukuri. Syaloom

N@ldo dari jalan-jalan sepih di tanah Papua

Tidak ada komentar: